Koordinasi Polisi-Jaksa Buruk, Puluhan Ribu Kasus Menguap
- VIVAnews/Dwifantya
VIVA.co.id – Puluhan ribu perkara hilang sepanjang tahun 2012-2014, dan ratusan ribu lainnya hanya tersimpan. Hal tersebut terungkap dari hasil penelitian LBH Jakarta dan Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Dua lembaga itu menemukan hal tersebut setelah melakukan riset selama delapan bulan.
"Kita mendapatkan data dari Kepolisian sebanyak 1,144,108 perkara. 645,780 perkara diproses mulai dari P-21, SP 3 hingga didamaikan. 386,766 dilengkapi Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) dan diterima Kejaksaan dalam lingkup pidana umum," kata peneliti LBH Jakarta, Ichsan Zikry di kantor LBH Jakarta, Kamis, 21 Juli 2016.
Ichsan menambahkan, dari 645,780 perkara diproses, ditemukan 255,618 perkara yang disimpan. Dan 44,273 perkara hilang dalam kurun waktu 2012-2014. Perkara yang disimpan dan hilang ini disebabkan penyidik, yaitu polisi, tidak memberitahukan perkara kepada penuntut umum atau jaksa.
"Ini dapat diartikan sebagai perkara yang disidik tanpa dilakukan check and balance. Tanpa SPDP penyidik akan kehilangan pengawasan dari penuntut umum," paparnya.
Minimnya pengawasan ini yang akan berdampak negatif dalam proses hukum. "Tanpa Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) penyidik bisa melakukan kesewenang-wenangan. Salah tangkap, jual beli kasus hingga korupsi di pengadilan," ujarnya.
Sementara itu peneliti dari MaPPI FH UI, Adery Ardhan menambahkan, hilangnya puluhan ribu perkara ini disebabkan oleh tidak efektifnya pola koordinasi antara Kepolisian dan Kejaksaan, dalam hal ini penyidik dan penuntut umum.
"Tidak adanya keterlibatan aktif penuntut umum dalam tahap penyidikan mengakibatkan sering adanya gap. Ini menyebabkan banyaknya berkas perkara bolak balik dan memakan waktu panjang. Ini juga yang bisa menyebabkan berkas perkara hilang entah di mana," ujarnya.
(mus)