Istiqlal Bisa Jadi Kiblat Peradaban Umat Islam Dunia
- VIVA.co.id/Muhamad Solihin
VIVA.co.id – Namanya mulai dikenal publik saat menjadi Wakil Menteri Agama (Wamenag). Posisi Wamenag itu ia sandang setelah sebelumnya menduduki jabatan Dirjen Bimas Islam di Kementerian Agama. Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta ini menjadi Wamenag pertama sejak kementerian tersebut berdiri.
Pria kelahiran Ujung-Bone, Sulawesi Selatan, 23 Juni 1959 ini dikenal sebagai sosok intelektual yang moderat. Selain itu, mantan komisioner Komnas Perlindungan Perempuan ini juga dikenal terbuka, toleran dan concern dengan isu perempuan.
Awal tahun ini, pria bernama lengkap Prof Dr Nasaruddin Umar ini dikukuhkan sebagai Imam Besar Masjid Istiqlal, Jakarta. Nasaruddin mengatakan, jabatan yang diembannya kali ini merupakan amanah yang cukup berat. Ia berharap bisa melaksanakan amanah tersebut dengan baik
Kepada VIVA.co.id, Nasaruddin mengatakan telah memiliki beberapa misi yang akan dia lakukan nantinya. Misi tersebut berkaitan dengan citra yang harus terpancar dari Masjid Istiqlal. Pertama, Masjid Istiqlal harus menyimbolkan negara dengan ciri keislaman moderat dan bercorak rahmatan lil alamin. Selain itu, Masjid Istiqlal juga harus menjadi lambang persatuan dan kesatuan umat Islam. Masjid Istiqlal juga harus menjadi simbol toleransi antarumat beragama dan menjadi paru-paru spiritual Indonesia.
Demikian petikan wawancara yang dilakukan VIVA.co.id dengan pria yang hangat ini. Wawancara dilakukan di ruangan Imam Besar Masjid Istiqlal.
Bisa diceritakan bagaimana Anda bisa menjadi Imam Besar Masjid Istiqlal?
Saya betul-betul tidak tahu, bermimpi pun tidak, kalau saya bisa dipilih atau diminta menjadi Imam Besar Masjid Istiqlal.
Bagaimana prosesnya?
Saat itu saya sedang dalam perjalanan ke Bandung untuk ceramah. Tiba-tiba saya ditelepon, bahwa saya akan dilantik sebagai Imam Besar Masjid Istiqlal. Saya kaget, sebab ga ada pemberitahuan sebelumnya baik melalui surat maupun email.
Lalu?
Akhirnya saya diminta ketemu Menteri Agama. Waktu ketemu Pak Menteri, saya bilang bagaimana ini ceritanya saya sampai diminta menjadi Imam Besar Masjid Istiqlal. Sebab Istiqlal ini kan masjid negara, simbol negara, terbesar di Asia Tenggara, terbesar ketiga di dunia.
Apa jawaban Menag?
Menag bilang ia sudah sounding ke samping ke bawah atas, semuanya mendukung Pak Nasar. Namun, saya tetap merasa bukan orang yang paling tepat menjadi imam besar. Karena, masih banyak senior-senior saya, masih banyak ulama-ulama lain yang lebih kompeten untuk menduduki posisi itu.
Mengapa Anda merasa posisi Imam Besar itu berat?
Karena kalau di luar negeri, imam besar masjid itu bukan hanya imam tapi juga pemimpin umat, jadi representasi umat Islam. Memang saya juga pernah jadi imam besar di Amerika, tahun 2004-2005. Pulang dari sana saya kembali ke Masjid Sunda Kelapa.
Bukankah Anda sudah sering mengelola masjid?
Iya. Selain Masjid Sunda Kelapa, sebelum ke Amerika saya juga terlibat di Masjid At-tiin, Taman Mini. Kembali ke UIN Jakarta jadi pembantu rektor disitu, pembantu rektor empat, kemudian pembantu rektor 3, mengelola masjid kampus juga. Jadi itu pengalaman-pengalaman kecil dari masjid ke masjid. Setelah menjadi wakil menteri agama dan dirjen Bimas Islam kemenag, Istiqlal ini tidak asing buat saya. Sebab ketika saya masih dirjen dulu selama enam tahun, Istiqlal memang ada di bawah dirjen Bimas Islam. Anggarannya, pembinannya di bawah direktorat saya pada waktu itu kemudian naik menjadi wamenag anggarannya juga tetap kita pertahankan.
Kenapa?
Karena kalau kita mengharapkan dana dari dalem masjid yang 12 hektare ini dengan lantai empat ditambah basement dengan karyawannya 300 an orang pasti tidak cukup. Sementara ini kan jadi lambang negara, simbol negara, kalau ini kumuh Indonesia malu.
Berat mana menjadi imam besar dibanding jadi dirjen dan wamenag?
Menjadi Imam Besar Masjid Istiqlal bagi saya lebih berat bebannya dibanding menjadi dirjen bahkan wamenag. Tanggung jawab moril Imam Besar Masjid Istiqlal lebih besar daripada menteri agama. Kalau menteri agama semua ada aturannya, ada konstitusinya. Sementara Masjid Istiqlal sangat otonom. Masjid ini juga menjadi representase lahir batinnya masyarakat Indonesia. Kita tidak boleh main-main. Kita harus mengarahkan umat ini ke depan seperti apa.
Maksudnya?
Itu yang pernah saya sampaikan usai pelantikan saat ditanya apa obsesi saya selama menjadi imam besar. Saya bermimpi menjadikan Masjid Istqlal menjadi kiblat peradaban umat islam, bukan hanya Indonesia, bukan hanya asia tenggara juga tapi dunia. Kalau di Makkah menjadi kiblat ibadah umat Islam. Nah, kalau di Istiqlal bisa menjadi kiblat peradaban umat Islam.
Apakah hal itu memungkinkan?
Memenuhi syarat kok. Umat Islam terbesar ada di Indonesia, di Asia Tenggara terbesar juga di Indonesia. Indonesia juga jauh dari konflik yang namanya Israel dan Timur Tengah. Indonesia itu negara mayoritas Islam pertama yang mempraktekkan demokrasi sampai dengan pemilihan kepala negara secara langsung. Mana ada negara Islam yang seperti kita ini. Sesekuler apapun Turki Indonesia lebih terbuka dalam rangka memilih kepala negaranya.
Selain itu?
Kekayaan alam Indonesia luar biasa. Di bawah, di atas ada minyak dalam bentuk sawit, di bawah sawit ada batubara, di bawah batubara ada minyak, gas dan seterusnya. Lautnya terkaya di dunia. Luas wilayahnya juga. Dan paling penting lagi bonus populasi. Usia produktifnya Indonesia kini justru paling bagus, bandingkan dengan Eropa dan Amerika. Mereka itu awet tua. Kita Indonesia populasinya sekitar 60 persen masih usia produktif, bandingkan dengan Amerika 60 persenan usia pensiunan. Kita di Indonesia bonus populasinya betul-betul satu hal yang sangat menjanjikan. Karenaitu saya terobesesi betul bagaimana menjadikan Masjid Istiqlal ini sebagai peradaban dunia Islam moderat. Bagaimana menjadikan Masjid Istiqlal menjadi simbol umat Islam Indonesia yang mengesankan dan menjadi pusat peradaban. Bagaimana menjadikan Masjid Istiqlal ini menjadi tempat melahirkan produk-produk Islam yang selama ini kita menjadi konsumen.
Produsen?
Saya ingin umat Islam menjadi produsen pikirannya sendiri. Selama ini pemikiran islam, pemikiran apapun, bahkan IT kita menjadi konsumen. Kita itu umat Islam menjadi konsumen tersebesar saat ini. Kenapa tidak jadi negara produsen. Nah negara produsen itu tidak harus melahrkan teknik atau mesin-mesin, persenjataan dan lain sebagainya. Tapi, pikiran pun bisa menjadi salah satu bentuk how to produce, produktivitas umat Islam Indonesia.
Maksudnya memproduksi pemikiran?
Iya. Masa kita belajar Islam ke Kanada, Amerika, Inggris, Prancis. Mestinya mereka itu belajar Islam itu ya ke Indonesia. Ini kan terbalik. Jadi bagaimana sampai kapan kita akan jadi konsumen pemikiran buat orang lain. Saya melihat sangat potensial Indonesia ini bisa menemukan jati dirinya yang sangat istimewa.
Istimewa?
Separuh muslim scholar Indonesia itu berasal Timur Tengah, Mesir, Sudan, Suriah, Libya, Lebanon. Separuhnya lagi dari Eropa juga ada Inggris, Belanda, Prancis, Belgia ditambah Amerika dan Kanada. Mereka itu semua pulang ke Indonesia. Timur Tengah itu sangat kaya dengan materi, tapi miskin metode. Tapi di Barat sangat kaya dengan metode tapi tidak memadai materinya. Jadi Indonesia menjadi muara perjumpaan studi di Timur dan Barat.
Jadi Indonesia bisa melahirkan sintesa raksasa menjembatani epistimologi keilmuan Barat dan epistimologi keilmuan Timur. Muaranya nanti di Indonesia, jadi madzhab Indonesia. Madzhab Indonesia itu nanti mengambil apa yang positif dari Barat, mencegah apa yang kurang bagus, dan mengambil apa yang positif dari Timur Tengah dan mengeyampingkan apa yang tidak kondusif dengan bangsa kita. Sehingga di sini ada tiga komponen, pertama adalah komponen lokalnya, arus pemikiran muslim scolars jebolan dari Barat dan Timur Tengah. Kombinasi antara Barat dan Timur Tengah, Dunia Barat, Timur Tengah dan lokal akan melahirkan madzhab Indonesia, akan melahirkan kibalat peradaban baru dalam dunia islam. Ini obesesi saya di Masjid Istiqlal ini.
Anda ingin Istiqlal menjadi simbol toleransi dan persatuan dan kesatuan. Bisa Dijelaskan?
Sebagai representasi masjid negara dan negara kita ini berdasarkan pancasila. Dan pancasila itu sangat menjunjung tinggi HAM, demokrasi, kesetaraan gender, kemudian juga menghargai pluralitas, bhinnneka tunggal ika. Jadi kultur masyarakat yang terbuka ini itu harus menjadi cerminan yang harus ada di Istiqlal. Memang kami tegas di Istiqlal ini tidak akan kami ijinkan untuk menjadi arena politik praktis. Parpol manapun, oposisi ataupun parpol yang berkuasa tidak boleh menjadikan Masjid Istiqlal melakukan praktek politik praktis. Biarlah masjid ini menjadi oase semua parpol, semua madzhab, milik semua ormas, semua umat islam, bahkan milik bangsa.
Jadi saya terobesesi menjadikan Masjid Istiqlal ini sebagai masjid untuk semua. Jadi kita tidak boleh klaim, bahwa Masjid Istiqlal adalah masjidnya NU, masjidnya Muhammadiyah. Cuma untuk yang memberikan khotbah jumat kita harus selektif, karena saya tidak ingin menjadikan milik satu madzhab, milik satu golongan. Tapi bagaimana Masjid Istiqlal ini masjid untuk semua.
Terkait toleransi?
Kami mempraktekkan toleransi sejati di sini. Contohnya pada hari raya Idul Fitri, Idul Adha penuh sesak di sini, sampai ke depan-depan, meluber sampai ke jalan raya. Tetangga kita di sini adalah Katedral, halaman parkirnya kami pinjam dan memang dipinjamkan untuk digunakan parkir jemaah Masjid Istiqlal. Tapi pada saat yang berbeda suatu saat katedral itu ada event yang penting parkirnya tidak ada itu juga bisa menggunakan lapangan parkir kami. Jadi kalau ada tamu Katedral yang ingin masuk Istiqlal ya kami welcome.
Dari segi penempatan, lokasi Istiqlal sangat strategis, berada di samping istana, di samping alun-alun, di samping Pasar Baru, dan dikerumuni oleh rumah-rumah ibadah lain. Jadi kehadiran Masjidi Istiqlal di tengah majemuknya Jakarta itu satu contoh Istiqlal ini harus menjadi masjid moderat. Tidak tepat kalau Masjid Istiqlal ini menjadi aliran keras, atau aliran berat. Biarkanlah Istiqlal menemukan dirinya, menemukan bentuknya, seperti bentuknya Indonesia, jadi miniatur Indonesia adalah Istiqlal.
Selain itu?
Istiqlal harus menjadi lambang kebanggaan. Istiqlal harus memasyaratkan ide-ide baru. Istiqlal harus selalu menawarkan sesuatu yang baru, dan Istiqlal harus selalu dekat dengan masyarakat. Aneh kalau masyarakatnya tidak dekat dengan masjid. Karena itu saya sering mengatakan, kalau seandainya Istiqlal cepat rusak karena dipakai itu lebih baik daripada mengkilap tapi tak pernah dipakai. Itu menjadi falsafah saya. Makanya seluruh ruang-ruang yang kosong di atas itu ada studi-studi, mau belajar ngaji, mau belajar bimbingan tesis, kitab, kimia, bilologi, tadarusan Al Quran silahkan. Istiqlal sebentar lagi akan kami buka 24 jam.
Masjid Istiqlal ini adalah ruang besar untuk umat Islam mazhab manapun juga, aliran manapun juga. Karena masjid ini tidak boleh ekslusif hanya menerima sunni saja. Salafi juga boleh, yang penting Anda jangan bawa bom, jangan membuat kekacauan. Semua orang boleh, orang nonIslam saja boleh, bule saja boleh masuk, masak orang Islam tidak bisa masuk.
Bagaimana Anda melihat Ramadan di Indonesia?
Ramadan di Indonesia paling spesifik di seantero dunia Islam. Ada seorang Amerika menyelesaikan studinya di Arab Saudi, meneliti Ramadan di Indonesia sebagai basis researchnya. Kenapa? Satu-satunya negara yang paling semarak merayakan bulan ramadan adalah Indonesia.
Apa bedanya Ramadan di Indonesia dengan di negara lain?
Banyak. Setiap lokal masyarakat itu punya tradisi Ramadan. Yang paling menonjol di Jakarta ya ngabuburit. Tiba-tiba ada pasar kaget untuk menjual buah-buahan, cendol. Pemandangan seperti itu sulit ditemui di luar negeri. Syiar dan semaraknya ramadan itu luar biasa di Indonesia.
Apa pesan Idul Fitri dari Masjid Istiqlal?
Mari mengontrol diri sendiri, lakukanlah muhasabah, sehebat apapun mubaligh, pimpinan, orangtua, mau menasehati kita tapi kalau dalam diri kita sendiri sudah terkontaminasi itu susah menjadi orang baik.
(ren)