Ini Strategi UKM Hadapi Pasar Bebas ASEAN

Ilustrasi Usaha Kecil Menengah.
Sumber :
  • VIVAnews/Fernando Randy

VIVA.co.id – Deputi Menteri Bidang Pembiayaan Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) RI, Choirul Djamhari mengungkapkan, posisi Indonesia sejak awal sudah tidak menguntungkan dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). 

Tingkat kemudahan berbisnis di Indonesia, disebutnya, bukan berada pada posisi pertama di antara negara-negara ASEAN lainnya, melainkan berada pada tingkat ke-120.

"Pekerjaan kita berat. Tidak ada satu pun dari anggota MEA ini yang bersedia kalah menjadi pecundang. Kita harus berusaha keras, karena tidak ada yang namanya magic formula," kata Choirul di Jakarta, Senin 27 Juni 2016.

Dia menjabarkan, ada beberapa faktor yang membuat ekonomi Indonesia belum siap menghadapi perdagangan bebas tersebut. Pertama, berlangsungnya pelemahan ekonomi global. Kedua, inflasi dan fluktuasi harga makanan yang bergejolak, sebagai dampak dari La Nina, dan kegiatan selama Ramadan dan Idul Fitri.

Ketiga, pasar keuangan global yang terus bergejolak, terkait dengan risiko kenaikan bunga Federal Reserve dan implikasi dari Britan Exit (Brexit) yang baru saja terjadi. 

Keempat, pertumbuhan kredit yang melambat dan menurunnya kinerja korporasi. Kelima, penerimaan negara dikhawatirkan tidak seperti yang ditargetkan, karena belum adanya kepastian tentang tax amnesty.

"Indonesia membutuhkan usaha serius untuk berbenah diri, yang dapat dilakukan dengan dua cara offensive dan defensif. Ada juga dari segi bebas korupsi, efisiensi sistem pemerintahan, public utility. Indonesia masih berjuang keras untuk dapat menurunkan ratingnya (kemudahan berbisnis). Kemudahan berbisnis Indonesia belum menjanjikan," ucapnya.

Menurut dia, ada beberapa langkah strategis yang dilakukan koperasi Indonesia untuk dapat berperan aktif dalam MEA. Yaitu, peningkatan daya saing ekonomi, peningkatan laju ekspor,  reformasi regulasi, dan perbaikan infrastruktur.

Kemudian, pengembangan pusat UMKM berbasis website (online), reformasi kelembagaan, dan pemerintah. Ketujuh, peningkatan partisipasi semua unsur negara. Sementara itu, reformasi iklim investasi juga harus dilakukan untuk dapat memperkuat pondasi ekonomi dan penguatan ketahanan ekonomi nasional.

"Intinya, kita sampai pada tindakan notmatif untuk menghadapi MEA ini tidak mungkin dilaksanakan keseluruhan oleh pemerintah. Kesiapan daerah sangat diperlukan untuk memungkinkan kita bisa berpartisipasi MEA," sebutnya. (asp)