Bakteri Usus Bisa Sebabkan Autis
- REUTERS/ Pilar Olivares
VIVA.co.id – Para peneliti dari Baylor College of Medicine, Amerika Serikat mencari penyebab gangguan spektrum autisme (ASD) atau kelainan seperti Mereka menemukan, kelainan autis bisa disebabkan oleh satu yang menyebabkan gangguan pada otak.
Dilansir Tech Times, Senin, 20 Juni 2016, salah satu peneliti, Mauro Costa Mattioli menjelaskan, riset hubungan antara pengaruh bakteri di otak dan ini baru terbukti pada tikus.
"Apakah itu akan efektif pada manusia, kita belum tahu, tapi itu adalah cara yang sangat menarik yang mempengaruhi otak dari usus," kata dia.
Mattioli mengatakan penelitian ini terinspirasi dari penelitian sebelumnya, yang menyatakan penyakit obesitas seorang ibu saat hamil menjadi faktor risiko anak lahir dengan kelainan autis.
Maka dari itu, untuk ‘memancing’ tikus yang dijadikan eksperimen terkena obesitas, peneliti memberi 60 ekor tikus hamil dengan makanan lemak tinggi. Hingga melahirkan, keturunan mereka dibiarkan bersama induknya selama tiga minggu.
Sebulan setelah kelahiran, peneliti menemukan keturunan tikus-tikus obesitas tersebut menunjukkan perilaku yang mengarah pada autisme. Seperti tidak berinteraksi dan menghabiskan waktu sendiri, bahkan memakan kotorannya sendiri.
Ketika sudah ada sinyal keturunan tikus mengalami kelainan, peneliti menyisihkan mereka bergaul dengan tikus normal lainnya, juga membuat mereka diet lemak tinggi. Setelah sebulan, perilaku tikus-tikus itu kembali normal dan berinteraksi dengan tikus lainnya.
“Hubungan antara perubahan perilaku dan bakteri usus ditemukan, kami mendeteksi satu spesies bakteri, Lactobacillus reuteri, yang mana bakteri itu menurun sembilan kali lipat pada tikus yang diberi diet lemak tinggi,” para peneliti menyimpulkan.
Saat eksperimen berlangsung, peneliti menambahkan perlakuan, yakni kontrol jumlah dan jenis usus ketika diberi makanan lemak tinggi dan ketika diet.
Peneliti mengatakan Lactobacillus reuteri ini meningkatkan pelepasan hormon oksitosin. Hormon ini dikenal menjadi faktor penting penentu perilaku sosial dan terlibat dalam kasus autisme.
Peneliti mengimbau penelitian awal ini bisa menjadi acuan untuk terapi alami bagi penderita autis.