Beda Defisit APBN Era SBY dan Jokowi
- ANTARA FOTO/Prasetyo Utomo
VIVA.co.id – Era Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) memang menarik untuk diperhatikan lebih lanjut. Kebijakan dua Presiden dalam merancang Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) sungguh menarik untuk dicermati.
Keduanya, terlihat memiliki cara berbeda dalam hal menentukan postur anggaran dalam upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan mengurangi angka kemiskinan.
Pada era SBY, postur APBN terlihat ditekankan pada upaya menjaga daya beli masyarakat tetap terjaga dengan memberikan stimulus, atau subsidi, agar pertumbuhan ekonomi tetap tinggi. Zaman tersebut cukup dikenal sebagai zaman commodity boom, di mana kondisi ekonomi juga ikut ditopang oleh meningkatnya harga komoditas internasional.
Saat itu, pemberian stimulus pemerintah dilakukan dengan subsidi energi, khususnya pada Bahan Bakar Minyak (BBM) dan listrik, sehingga secara postur APBN kurang efektif dan menyebabkan defisit semakin besar.
Saat zaman itu pula, defisit APBN cukup dikhawatirkan sejumlah ekonom, karena harga minyak dunia dapat mencapai di atas US$ 100 per barelnya. Hal itu pula dinilai menjadi penyebab ruang fiskal pemerintah menjadi sangat sempit dan sulit melakukan manuver untuk kembali meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Di periode itu pula, penerimaan dari sisi pajak sulit untuk mencapai target. Dan, pada akhir 2014, postur APBN yang dibuat oleh SBY, pada akhirnya pun diakui kurang efisien, ketika ekonomi global mulai melambat.
Sementara itu, di era Pemerintahan Jokowi, postur APBN tiba-tiba langsung diubah dengan menekankan pada peningkatan belanja modal, khususnya pada infrastruktur untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan melepas subsidi BBM seolah-olah mengikuti harga pasar.
Namun, sayang langkah tersebut kurang berjalan baik, akibat kondisi ekonomi yang tiba-tiba berputar 180 derajat, di mana harga minyak dunia menyentuh harga terendahnya, yaitu US$20 per barel. Dan, harga komoditas internasional yang selama era SBY menyelamatkan ekonomi, tiba-tiba runtuh akibat pelemahan ekonomi negara tujuan utama ekspor Indonesia, yaitu Tiongkok.
Akibat kondisi tersebut, pemerintah dilanda kekhawatiran baru, yaitu target penerimaan negara diperkirakan lebih rendah dari target yang ditetapkan, sedangkan belanja negara yang diandalkan tetap harus dipertahankan demi menjaga pertumbuhan ekonomi.
Atas kondisi itu pula, akhirnya pemerintah terlihat kembali mengandalkan pelebaran defisit untuk menutupi kekurangan itu. Defisit tersebut memang diakui sangat terbatas, yaitu tiga persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), di tengah ekspansifnya rencana pemerintah mempercepat pertumbuhan ekonomi.