Ancaman Robohnya Keuangan Negara

Anggota Komisi XI DPR RI Heri Gunawan
Sumber :

VIVA.co.id –  Anggota Komisi XI DPR RI, Heri Gunawan mengatakan, per Maret 2016 total utang pemerintah pusat sudah mencapai Rp3.272 triliun, terdiri dari: Pinjaman sebesar Rp750,16 triliun dan Surat Utang Negara (SUN) sebesar Rp2.521,66 triliun. Posisi tersebut sangat berisiko menjebak nilai tukar rupiah ke posisi paling dalam.

"Jika ditinjau lebih jauh, bunga utang sudah melebihi subsidi, terutama BBM yang selama ini dianggap oleh pemerintah sebagai beban paling besar pada belanja APBN," ujarnya di Senayan, Senin 6 Juni 2016.

Atas hal tersebut, ia memberikan beberapa pandangan sebagai berikut:

1. Pemerintah harus mencari jalan keluar lain dalam menutup pembiayaan defisit APBN yang di tahun 2016 sebesar 2,2 persen. Apalagi total utang pemerintah pusat sudah mencapai lebih dari Rp3000 triliun.

2. Tidak ada dampak yang signifikan utang terhadap pengelolaan defisit APBN yang lebih baik. Tahun 2015 saja, realisasi defisit APBNP mencapai Rp292,1 triliun (2,93 persen dari PDB)---meleset dari target sebesar 1,9 persen dari PDB. Lalu, apa relevansi utang selama ini.

3. Kalau dihitung-hitung, proporsi pinjaman luar negeri lebih dari 90 persen dari total pinjaman pemerintah pusat. Itu terdiri dari pinjaman bilateral, multilateral, dan bank komersil. Ini tentu akan terus menggerus penerimaan hasil ekspor kita yang masih relatif stagnan, rasio utang terhadap penerimaan ekspor yang masih di atas 50 persen, dan juga cadangan devisa yang saat ini ada di posisi mengkhawatirkan dikisaran USD107 miliar.

4. Kita bisa mengerti bahwa rasio utang terhadap PDB sebesar 30 persen masih terbilang relatif rendah jika dibandingkan dengan beberapa negara tetangga. Tapi, mestinya, ruang tersebut harusnya bisa dimanfaatkan untuk pembiayaan program-program pembangunan. Tapi, yang jadi masalah utang kian menumpuk, sementara di sisi lain proyek-proyek pemerintah belum menunjukkan progresifitas yang signifikan.

5. Sektor yang hari in masih jadi "anak tiri" adalah sektor pertanian-peternakan-kehutanan-perikanan sebagai sektor trategis yang hingga detik ini hanya menyumbang 15,4 persen atas PDB. Penyebabnya, sektor ini salah urus (lemahnya SDM, investasi, distribusi, teknologi dan koordinasi) sehingga produktifitasnya menurun. Padahal, tenaga kerja di sektor ini sangat dominan (di atas 50 persen). Mestinya, ruang utang itu ditujukan untuk pertumbuhan sektor-sektor strategis seperti ini. Sehingga, utangnya tidak sia-sia. Ditengah lesunya daya beli masyarakat, sangat ironis.

6. Di tengah ancaman defisit APBN yang makin besar itu, pemerintah mesti berhati-hati untuk mengambil pilihan berhutang. Lebih-lebih, dominasi Surat Utang Negara (SUN) dalam utang pemerintah masih besar, yaitu sekitar 77 persen dari total utang. Banjirnya aliran dana asing yang masuk ke pasar modal dan keuangan, khususnya ke instrumen surat utang negara (SUN), sedikit-banyak akan memberi risiko bagi keuangan nasional. Ujungnya, ekonomi nasional bisa roboh.

7. Lebih dari itu, penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) yang mencapai lebih dari Rp2.000 triliun menjadi pintu masuk kepemilikan asing terhadap kekayaan nasional. Karenanya, pemerintah harus berhati-hati dan menempatkan posisinya pada komitmen melindungi kepentingan nasional dari dampak buruk kepemilikan asing yang bisa disebut bubble itu.

8) Selanjutnya, pemerintah mesti memberi perhatian pada posisi ULN yang masih didominasi oleh ULN jangka panjang. ULN berjangka panjang pada akhir triwulan I 2016 mencapai USD277,9 miliar atau 87,9 persen dari total ULN. Angka itu naik 7,9 persen (tahun ke tahun). Ini pasti jadi masalah dalam jangka panjang apalagi bunganya dalam bentuk bunga komersil.

9. Untuk diketahui, posisi ULN sektor publik sebesar USD151,3 miliar (47,9 persen dari total ULN), sementara ULN sektor swasta mencapai USD164,7 miliar (52,1 persen dari total ULN). Posisi ULN yang masih didominasi oleh ULN sektor swasta sebesar 52,1 persen dari total ULN itu harus diwaspadai. Karenanya, pemerintah mesti merancang skenario antisipasi yang sungguh-sungguh atas komposisi debitur utang tersebut. Lebih-lebih, utang sektor swasta itu terkonsentrasi di sektor keuangan, industri pengolahan, pertambangan, serta listrik, gas dan air bersih yang sangat rentan.  (Webtorial)