Bekas Penjual Kue Ini Pemilik Grup Bisnis yang Berkembang
- Romys Binekasri
VIVA.co.id – Sosok Muhammad Hadi Nainggolan, dulu mungkin belum banyak dikenal masyarakat di Tanah Air. Namun, jika melihat sosoknya kini, mungkin Anda tak akan pernah percaya jika belasan tahun lalu, Hadi kecil merupakan bocah penjual kue. Dia kerap berkeliling kampung membantu sang ibu untuk menafkahi keluarganya.
Hadi dibesarkan di Desa Rimo, Kabupaten Aceh Singkil, Provinsi Aceh. Sang ayah berasal dari Tapanuli Utara, Provinsi Sumatera Utara, sedangkan ibu Hadi berasal Aceh Singkil, Nanggroe Aceh Darussalam. Ayah Hadi adalah salah seorang pegawai di perusahaan perkebunan kelapa sawit swasta yang cukup besar di masa Orde Baru.
Sejak berusia sembilan tahun, pria yang akrab di sapa Bang Hadi ini sudah berdagang menjual kue dan es. Kalau pagi habis salat subuh, dia jualan kue keliling kampung hingga pukul 07.00 WIB, sebelum berangkat ke sekolah.
Siang hari sepulang sekolah, ia berjualan es dalam termos. Jalan hidup ini terpaksa ia lakoni setelah sang ayah sakit stroke sehingga tak bisa bekerja.
“Karena keterbatasan ekonomi ini, rutinitas ini saya tempuh setiap hari sehabis salat Subuh,” kata Hadi.
Jika Minggu, ia membantu sang ibu berjualan rempah-rempah dan hasil bumi di pasar. Tanggung jawab yang ia pikul semakin besar setelah sang ayah meninggal dunia saat dirinya kelas enam SD.
“Pengalaman hidup saya waktu kecil seharusnya diisi bermain. Tapi, seperti ini takdir hidup saya yang telah digariskan Allah SWT dan justru ini membuat saya menjadi mandiri,” ujar pria kelahiran 25 April 1983 tersebut.
Ketika mulai memasuki masa SMP dan SMA, Hadi terus berdagang. Bahkan, dari hasil menabung dari membantu ibunya berjualan, Hadi bisa membeli kios sendiri di pasar saat duduk di bangku Madrasah Aliyah Muhammadiyah di kampung halaman ibunya.
Lulus Madrasah Aliyah, Hadi menempuh studi di Fakultas Pertanian Universitas Islam Sumatera Utara, Medan. Sambil kuliah, ia membuka bisnis desain grafis dan percetakan. Ia bahkan sempat memiliki properti dan kendaraan dari bisnis percetakannya.
Namun, dalam bisnis desain grafis dan percetakan ini, Hadi mengakui mengalami jatuh bangun beberapa kali. Begitu juga dengan bisnis properti dan event organizer yang sempat ia bangun, semua akhirnya gulung tikar.
"Ya namanya juga usaha dan sambil terus belajar tentu human error tinggi," kata dia.
Tak sampai di situ, Hadi yang bangkit masih memiliki obsesi lebih besar untuk meraih kesuksesan dengan mencari suasana baru di luar Aceh dan Sumatera Utara. Akhirnya pada 2011, dia memutuskan untuk menutup semua bisnis dan menjual seluruh asetnya di Medan.
Merantau ke Surabaya, Jawa Timur dan Banjarmasin, Kalimantan Selatan adalah kota yang dipilihnya untuk menapaki langkah baru bisnisnya. Di Banjarmasin, ia bertemu dengan mitra asal Singapura dan akhirnya menekuni bisnis batu bara bersama koleganya. Sayangnya, komoditas batu bara akhirnya melorot, dia kembali gulung tikar.
“Dari situ saya berpikir bahwa kita harus merancang bisnis yang lebih bisa bertahan lama,” tutur Hadi.
Akhirnya, mulai 1 Januari 2013, Hadi memutuskan merantau ke Ibu Kota Jakarta. Di sini lah ia secara bertahap berhasil membangun tiga kelompok usaha. Pertama, Daun Agro Group yang bergerak di bidang usaha agrobisnis, khususnya perdagangan kelapa kopra. Bahan bakunya dari Nusa Tenggara Timur yang didistribusikan oleh penyalur di Surabaya.
Selain itu, ia menyediakan jasa konsultan perencanaan perkebunan sesuai basic pendidikan yang ia miliki. “Usaha ini ada di beberapa daerah di Indonesia," tuturnya.
Kedua, ia merupakan founder dan chief executive officer (CEO) Langit Digital Group. Usaha ini adalah yang paling menjanjikan secara komersial dari tiga kelompok usaha yang ia miliki. Terdiri atas PT Langit Trans Digital, PT Langit Taktix Digital, dan PT Langit Medika Solusindo, yang bergerak dalam bidang information technology (IT), e-commerce, crowdsourcing, content digital marketing, dan agency digital advertising.
Selain itu, ada satu perusahaan lagi akan diluncurkan. Sebuah perusahaan yang fokus pada e-commerce (jual beli online) pada Juni 2016. Namun, e-commerce yang akan ia luncurkan lebih bersifat spesifik pada produk-produk tertentu.
“Karena, itu justru memiliki peluang lebih besar kepada pasar. Kalau situs belanja online terlalu general produknya yang ditawarkan, orang akan malas,” kata pria berdarah campuran Tapanuli Utara dan Aceh Singkil tersebut.
Kelompok usaha yang ketiga ialah Graha Inspirasi. Hadi juga sebagai founder sekaligus CEO. Graha Inspirasi didirikan pada 2014. Ide mendirikan Graha Inspirasi tersebut merupakan kelanjutan dari salah satu impiannya ketika mendirikan Moslem Entrepreneur Coaching di Kota Medan, Sumatera Utara pada 2009.
Salah satu impian yang belum terwujud adalah membuat sebuah sentra kegiatan "creative hub" berbagai komunitas untuk bertukar ide, belajar bersama, saling mendukung, berbagi ilmu, dan bersinergi dalam proses pengembangan bisnis dan usaha serta kreativitas diri.
Impian tersebut menjadi kenyataan ketika Hadi bertemu dengan Riwandari Juniasti di Jakarta, yang akhirnya menjadi mitra untuk bersama-sama mendirikan Graha Inspirasi. “Awalnya ini ditujukan sebagai kegiatan sosial, namun kemudian berkembang menjadi usaha yang menjanjikan,” tutur Hadi.
Graha Inspirasi saat ini memiliki tiga perusahaan, PT Graha Inspirasi Indonesia, PT Inspirasi Muda Indonesia, PT Wahana Inspirasi Indonesia yang bergerak dalam bidang Creative and Community hub, Service Office, Coworking, Virtual Office, Legal Business Service, dan Strategic Planning Innovation.
Hadi mengungkapkan, fokus bisnis Graha Inspirasi ini ada lima. Pertama, menyediakan jasa persewaan ruangan kantor di tujuh tempat, mulai Kalimalang, Pancoran, Rawamangun, Senen, dan beberapa tempat lain. Kedua, virtual office yang merupakan kantor bersama. Ini bagi pelaku usaha yang belum mampu menyewa ruang kantor sendiri.
Ketiga, coworking space atau kantor harian bagi pelaku usaha yang belum mampu sewa kantor ataupun virtual office. Keempat, jasa pembuatan legalitas badan hukum usaha di wilayah DKI Jakarta. Kelima, jasa pelatihan entrepreneur bagi kawula muda.
“Yang terakhir ini bisa saja tak dipungut biaya jika ada sponsornya,” kata Hadi.
Saat ditanya apa impian terbesarnya dalam dunia bisnis, ia bermimpi punya 50.000 orang karyawan saat memasuki usia 40 tahun.
"Bayangkan jika saya punya 50.000 karyawan dan satu orang karyawan rata-rata bisa menghidupi 3 orang itu, artinya saya bisa berkontribusi nyata membantu 150.000 orang di negeri ini," kata Hadi.
Di samping itu, Hadi tak selalu mengisi hari-harinya dengan aktivitas bisnis. Ia aktif di beberapa organisasi dan komunitas, dari sebagai co-founder Komunitas Memberi, local president Junior Chamber International (JCI) Jakarta tahun 2016 dam sekretaris Forum Dialog BPP Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi).
Kemudian, dia juga menjabat sekretaris jenderal Perhimpunan Pengusaha Jasa Kantor Bersama Indonesia (Perjakbi), wakil sekretaris jenderal DPP Badan Komunikasi Pemuda Remaja Masjid Indonesia (BKPRMI), dan beberapa organisasi lainnya. Kini jerih payah Hadi tak sia-sia.
Sebagai mantan penjual kue keliling saat masih bocah belasan tahun lalu, orang mungkin tak akan pernah mengira bocah tersebut kini telah menjelma menjadi pengusaha muda yang sukses. Dari usahanya, ia bisa meraup untung Rp400-600 juta per bulan.