Alasan Ini Bikin Petani Pinjam ke Rentenir

Ketua Dewan Komisioner OJK Muliaman D Hadad
Sumber :
  • VIVAnews/Ikhwan Yanuar

VIVA.co.id – Akses permodalan masih menjadi kendala para petani untuk mendapatkan dana dari lembaga keuangan formal. Padahal, kontribusi mereka terhadap pertumbuhan ekonomi, atau Produk Domestik Bruto (PDB) sangatlah besar.

Menurut Ketua Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Muliaman D. Hadad, hambatan akses permodalan tersebut memicu para petani untuk meminjam dana dari renternir. Hal itu, dapat menjadi jebakan para petani sendiri, yang akhirnya akan menemui kesulitan pembayaran, lantaran tingginya bunga dari renternir.

"Mereka susah untuk mendapat pembiayaan dari lembaga keuangan formal dan akhirnya pinjam ke rentenir dengan bunga tinggi," tutur dia, saat acara seminar ‘Inovasi Rantai Nilai Sektor Agro dalam Mendukung Implementasi Financial Inclusion untuk Petani’ di Balai Kartini, Jakarta, Senin 23 Mei 2016.

Menurutnya, selama ini dengan lahan pertanian yang relatif kecil dan tidak memiliki sertifikat, menyebabkan para petani sulit mendapatkan pembiayaan formal yang jauh lebih efisien dibandingkan meminjam dengan renternir.

"Sebanyak 56 persen, atau sekitar 14,6 juta rumah tangga usaha pertanian, hanya memiliki lahan kurang dari 0,5 hektare. Ini sangat menyedihkan. Karena, luasan yang marjinal ini jauh di bawah skala keekonomian," ujarnya.

Muliaman mengungkapkan, berdasarkan data dari ISEI, sektor agro, atau pertanian memiliki peran cukup penting dalam perekonomian Indonesia. Kontribusi sektor ini terhadap PDB Indonesia mencapai 13,6 persen. Artinya, menjadi tertinggi kedua, setelah sektor industri pengolahan yang kontribusinya terhadap PDB Indonesia mencapai 20,8 persen. 

Sementara itu, lebih dari separuh PDB sektor industri pengolahan tersebut, kata Muliaman, adalah berbasis pertanian. "Selain itu, sektor pertanian juga merupakan penyerap terbesar tenaga kerja, yaitu sekitar 35 persen dari total tenaga kerja," ujarnya.

Muliaman menambahkan, apabila sektor pertanian ini dipandang secara holistik dari hulu ( on farm) hingga hilir (down stream industries) dalam suatu rantai nilai, maka kontribusinya terhadap PDB secara agregat lebih besar lagi, mencapai sekitar 55 persen. 

Ia menambahkan, jika rantai nilai komoditas pertanian yang jenis dan jumlahnya beragam, baik tanaman pangan, tanaman perkebunan, hortikultura, dan peternakan dapat dikembangkan dengan menggunakan teknologi dan dukungan sistem logistik modern, tidak hanya PDB Indonesia saja yang semakin meningkat.

"Kesejahteraan para petani dan pelaku ekonomi pedesaan lainnya pun akan semakin meningkat," kata dia.

Namun, Muliaman menyayangkan, dari total 26,1 juta rumah tangga usaha pertanian di seluruh Indonesia, 56 persen di antaranya (atau 14,6 juta rumah tangga usaha pertanian) memiliki lahan kurang dari 0,5 hektare. 

Dengan kesulitan permodalan itu akan menghambat petani untuk bisa menggunakan input-input pertanian yang berkualitas maupun untuk menerapkan teknologi baru. Apabila, kendala-kendala itu tidak diatasi secara serius, produktivitas dan daya saing komoditas pertanian nasional akan mengalami stagnasi. "Sehingga, kesejahteraan rumah tangga usaha pertanian semakin sulit untuk ditingkatkan," ujarnya.

Karena itu, ISEI menyarankan, agar akses para petani terhadap sumber-sumber permodalan formal sudah saatnya untuk diperlebar. "Saat ini, kita berterima kasih kepada pemerintah yang telah mengembangkan KUR (Kredit Usaha Rakyat) yang juga dibuka aksesnya kepada petani. Tapi mestinya, skema pembiayaan lainnya juga dipermudah," ujarnya. (asp)