Asumsi Makro 2017, Rupiah Diproyeksi Rp13.900 per dolar
- ANTARA/Akbar Nugroho Gumay
VIVA.co.id – Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro memaparkan pokok-pokok pembicaraan pendahuluan rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara (RAPBN) 2017, saat rapat paripurna ke-27 Dewan Perwakilan Rakyat Masa Persidangan V Tahun Sidang 2015-2016.
Dalam pokok-pokok pembicaraan tersebut, Bambang memaparkan, asumsi dasar ekonomi makro pada tahun anggaran 2017 mendatang. Mulai dari pertumbuhan ekonomi, laju inflasi, nilai tukar rupiah, tingkat surat pembiayaan negara tiga bulan, harga minyak, lifting minyak, dan lifting gas.
Pada tahun anggaran 2017, pertumbuhan ekonomi dipatok berada di kisaran 5,3 persen sampai dengan 5,9 persen. Bambang menyebutkan, target tersebut dinilai sudah realistis, mengingat situasi ekonomi global yang masih menunjukkan perlambatan.
“Ada proses pemulihan di negara-negara maju yang belum optimal, serta perlambatan ekonomi di beberapa negara berkembang,” kata Bambang dalam paparannya di Sidang Paripurna, Jakarta, Jumat 20 Mei 2016.
Sementara itu, untuk laju inflasi pada tahun 2017 mendatang, berada di kisaran tiga sampai dengan lima persen. Pemerintah, kata Bambang, bersama para pemangku kepentingan terkait akan tetap menjaga stabilitas harga, yang selama ini menjadi kunci pengendalian inflasi.
Untuk asumsi kurs mata uang rupiah, pemerintah menargetkan posisi mata uang Garuda di kisaran Rp13.650 sampai dengan Rp13.900 per dolar Amerika Serikat. Pertimbangan ini sudah mencakup, berbagai risiko yang berpotensi memberi tekanan terhadap laju rupiah.
“Membaiknya kondisi fundamental ekonomi dan komitmen pemerintah dorong investasi, diharapkan bisa mendorong stabilitas kurs rupiah,” katanya.
Selain itu, harga minyak mentah dunia diproyeksikan berada di kisaran US$35-US$-45 per barel. Ini, karena adanya lonjakan permintaan, namun tidak disertai pasokan cadangan minyak yang mencukupi. Sementara, untuk lifting minyak, dipatok di kisaran 740-760 ribu barel per hari.
“Untuk lifting gas, 1,05 juta-1,15 juta barel (setara minyak). Ini, karena adanya penurunan produksi secara alamiah di lapangan minyak dan gas Indonesia. Eskplorasi juga terkendala harga yang rendah,” ungkapnya. (asp)