Indonesia Raja Ketiga Sepeda Motor di Dunia

Ketua AISI Gunadi Shinduwinata.
Sumber :
  • Rendra Saputra/VIVA

VIVA.co.id – Kendaraan roda dua belakangan menjadi alat transportasi favorit di Tanah Air. Populasinya terus membengkak dari tahun ke tahun. Hal ini terjadi karena mudahnya masyarakat untuk memiliki sepeda motor dengan berbagai program kemudahan yang ditawarkan pabrikan maupun perusahaan pembiayaan.

Namun, siapa sangka, di balik populasinya yang terus meningkat, angka penjualan sepeda motor di Tanah Air rupanya kini tengah melempem. Berbagai faktor ditengarai menjadi penyebab turunnya penjualan kendaraan roda dua di Indonesia.

Diprediksi, tahun ini pasar roda dua masih stagnan, atau bisa juga dibilang bakal jalan di tempat. Beragam jurus jitu tentu wajib dipersiapkan sebagai “peluru panas” untuk mendongkrak penjualan yang biarpet.

VIVA.co.id berkesempatan mewawancarai Ketua Asosiasi Industri Sepedamotor Indonesia (AISI), Gunadi Sindhuwinata, untuk mengetahui apa yang tengah digodok asosiasi guna melahirkan terobosan baru di tengah pasar yang lesu.

Poin utama adalah penguatan ekspor sepeda motor Indonesia ke negara-negara maju. Saat ini, negara maju diketahui tengah demam sepeda motor dengan kapasitas kecil. Situasi ini akan menjadi ceruk potensial bagi Indonesia untuk mendulang kesempatan.

Gunadi juga sempat menyinggung seputar dampak dari “meledaknya” sepeda motor di Indonesia. Saat ini, angka kecelakaan yang melibatkan pengendara sepeda motor memang cukup besar. Yang mencengangkan, sekira 40 persen korban kecelakaan tak memiliki Surat Izin Mengemudi (SIM).

Berikut petikannya:

Bagaimana perkembangan otomotif roda dua saat ini di Tanah Air?

Kalau dilihat perkembangan dua tahun ini, memang pasar saat ini sedang berhenti berkembang. Angkanya cuma 6,48 juta unit (2015), di mana sebelumnya 6,7 juta unit (2014). Kondisi ini karena terpengaruh oleh pertumbuhan ekonomi yang boleh dikatakan tidak begitu tinggi, daya beli pun jadinya tidak terdongkrak. Tapi kalau melihat kebutuhan, masih besar.

Saat ini, penjualan kita lihat, didukung oleh kegiatan aplikasi, termasuk Uber dan sebagainya. Ini kan menarik sekali. Mereka masuk investasi sendiri, masuk ke dalam jaringan aplikasi, bisa masuk income sendiri. Meski demikian, bukan berarti kita tanpa peningkatan.

Kapan pasar kembali bergairah?

Saya optimistis, perkembangan perbaikan ekonomi jalan terus. Setidaknya second half, pertengahan kedua semester tahun ini. Tetapi untuk sepeda motor masih butuh waktu, mungkin peningkatan penjualan motor pengaruhnya terjadi pada permulaan tahun depan.

Saya lihat dari berita yang kita simak, perbaikan ekonomi di Tiongkok sudah mulai tampak. Ini berpengaruh, sebab semua bergantung pada pertumbuhan itu. Ini akan semakin menarik, akan terjadi pemerataan pertumbuhan, khususnya Asia Tenggara. Dengan target pertumbuhan ekonomi kita sekira 5,6 persen, sebenarnya Indonesia dalam keadaan di atas lain-lainnya di Asia Tenggara.

Rencana Bank Indonesia seputar suku bunga dan lain-lain juga tentunya banyak menimbang produk konsumsi, termasuk kegiatan manufaktur dan industri juga akan berkembang, seperti tambang atau apalah. Semua akan terkait.

Kenapa target penjualan tahun ini sedikit, AISI main aman?

Target penjualan 6,5 juta unit saya kira itu realistis. Sebenarnya, boleh dikatakan kekuatan pasar Indonesia itu bisa menembus 10 jutaan. Dahulu pernah penjualan delapan jutaan unit. Kebutuhan masyarakat kita akan sepeda motor masih tetap berkembang. Cuma yang menjadi pengaruh terhadap pasar ya itu, suku bunga, perkembangan ekonomi, serta penguatan rupiah terhadap dolar.

Ada fenomena menarik, motor digandrungi di Indonesia. Padahal, di negara produsen seperti Amerika dan Jepang masyarakatnya lebih pilih naik angkutan publik. Apa tanggapan Anda?

Begini, kita mesti melihat kedua-duanya baik pertumbuhan sepeda motor, dan kendaraan bermotor roda empat. Kalau negara maju, kemampuan daya beli besar, mereka bisa saja beli kendaraan, tetapi di sana transportasinya bagus, jadi buat apa capek-capek. Jadi kendaraan bermotor cuma menjadi kendaraan yang hanya dibutuhkan sewaktu-waktu.

Tetapi, ada yang menarik terkait ekspor kita. Ada tren baru, di mana di negara maju, kini masyarakatnya mulai membeli motor dengan kapasitas mesin kecil. Ini rasional, karena mereka membutuhkannya untuk kebutuhan jarak dekat. Tentunya itu menjadi celah buat kita untuk mendorong ekspor sepeda motor Indonesia ke negara maju. Di dunia, pasar sepeda motor kini mulai bangkit lagi.

Indonesia peringkat ke berapa penjualan sepeda motor di dunia?

Republik Rakyat China pertama dengan 20 juta unit. Kedua India dengan 15 jutaan, sedangkan Indonesia ketiga (6,4 juta). Di Tiongkok, penjualan mobil dua tahun belakangan 20-23 juta unit. Sementara itu, penjualan motor di China yang dahulu 23 juta unit kini menjadi 20 juta unit. Pergeseran terjadi karena adanya tren penurunan di sana, karena ada peningkatan ekonomi masyarakat mereka. Di mana, banyak orang yang mulai beralih dari roda dua ke roda empat.

Di Indonesia, harga mobil kan masih mahal, sedangkan pendapatan masyarakat Indonesia kuatnya di kendaraan motor. Maka itulah keyakinan saya, jika pasar sepeda motor masih bisa berkembang 10-15 tahun ke depan. Soalnya, untuk membeli mobil, masyarakat juga harus mengalami peningkatan pendapatan yang signifikan.

Motor tua banyak masih beredar di jalanan. Ada wacana yang bergulir untuk dibuatkan regulasi pembatasan usia. Anda setuju?

Saat ini, populasi sepeda motor di Indonesia 85 juta unit. Dari jumlah masyarakat Indonesia yang sekira 250 jutaan jiwa, artinya satu banding tiga. Problemnya, dari 85 juta unit ini, registrasinya ditumpuk terus, termasuk sepeda motor yang sudah tak dipergunakan masih teregristrasi. Artinya terjadi penumpukan data.

Soal pembatasan usia sepeda motor, janganlah. Kalau (motornya) sehat kenapa? Yang penting mereka harus sehat, kalau tidak silakan minggir, motor kamu sudah tak layak untuk hidup. Mobil klasik juga masih banyak yang jalan. Kalau dimasalahkan dari sisi gas buang, kan bisa dilakukan dengan peningkatan kualitas bensinnya yang bagus, dengan begitu gas buangnya jadi bagus.

Intinya pembatasan usia jangan dilakukan, enggak perlu selama dia sehat silakan saja.

Ketua AISI Gunadi Shindhuwinata/Foto: Rendra Saputra/VIVA.co.id

Soal investasi sepeda motor, apakah terus masuk?

Kalau sepeda motor sementara tidak. Kapasitas produksi kita saat ini cukup mencapai 10 juta unit. Disesuaikan juga dengan daya serap pasar. Kita pernah mencapai delapan juta. Kecuali nanti kalau penjualan kita sudah bisa di atas itu, tentu kapasitas produksi akan ditingkatkan, dan tentunya baru membutuhkan investasi baru. Perencanaannya juga tak secepat kilat, karena butuh waktu dua tahun.

Berbeda dengan mobil yang kini didorong dengan model Low Cost and Green Car (LCGC). Kapasitas produksi tentu harus disesuaikan, dua kali lipat. Misalkan dari satu juta unit menjadi dua juta unit. Lalu, penambahan investasi perakitan, suku cadang juga. Sebagai gambaran, investasi yang masuk dari roda empat di Indonesia US$7 miliar selama empat tahun.

Kalau motor sudah mencapai itu (angka investasi), karena kapasitas yang 10 juta unit diimbangi dengan kandungan lokal yang cukup tingi. Kandungan lokal 85 persen itu bukan main lho, karena juga melibatkan teknologi, dan sumber daya manusia yang banyak.

Selanjutnya...Mesti ada motor versi murah?

***

Bagaimana soal ekspor kita?

Ekspor kita bagus, meningkat 520 persen dari tahun kemarin. Di semester pertama tahun ini 70 ribu unit, kalau dikalikan empat (semester) 280 ribu unit. (Peningkatan) 650 persen juga dari tahun lalu.

Kita beruntung ada pasar baru yang bisa digarap dan semuanya (pabrikan) menggarap. Kita kalau melihat pasar ekspor mengagumkan. Sebagai contoh, Suzuki ekspor ke Jerman, Belgia, Inggris, Belanda, negara-negara maju semua. Sementara itu, teman-teman lain ekspor ke Turki, Iran, ada yang Filipina dan sebagainya. Ini kan Eropa plus Asia Pasifik. Amerika Latin juga.

Kalau mobil ada versi murah LCGC, apa motor di Indonesia juga butuh versi murahnya?

Seharusnya enggak perlu. Kalau motor versi murah tentu cc-nya juga kecil, seperti 50cc. Jika itu dilakukan, macet di jalanan makin lebih parah. Pertanyaannya, apakah cc kecil mampu berakselerasi yang cukup di jalanan, apalagi jika harus dinaiki dua orang. Motor itu kan harus ada hitung-hitungannya, seperti level ketepatan daya angkutnya juga.

Lalu, kenapa India bisa jual motor versi murah?

Harga motor di India murah-murah karena infrastrukturnya. Kita jauh dengan mereka, kita jauh lebih bagus lah. Pertanyaannya, apakah masyarakat Indonesia mau dijejali motor seperti itu (murah), dengan spesifikasi ala kadarnya.

Mungkin ada sebagian masyarakat yang menginginkannya, harganya separuhnya. Tapi apakah harga segitu warted, itu masalahnya. Kalau toh kita mau masuk ke sana, mungkin ada satu strategi yang lebih besar, apakah kita mau mulai jamah kendaraan motor yang digerakkan oleh listrik misalnya.

Secara mendasar kita melihat itu sebagai satu solusi, tetapi memang bukan jawaban. Yang pasti konvensional tetap jalan.

Apakah akan ada kemungkinan merek baru yang hadir di Indonesia?

Bisa saja, tentu menjadi tantangan buat mereka. Tetapi mereka mesti bersaing ketat. Apakah pasar 100 ribu unit (sisa), apa mungkin? Soalnya kita (merek-merek yang sudah ada) sudah 85 persen kandungan lokalnya.

Seperti apa motor yang dibutuhkan orang Indonesia?

Yang pasti kita tidak butuh motor gede. Transportasi dan infrastruktur tidak memadai. Artinya lebih ke pemakaian efektif. Skutik itu masih akan jadi primadona, sampai ada dari mereka (pabrikan) yang memikirkan ada sepeda motor lain. Kalau dari unsur kegunaan, motor bebek dan skutik itu masih dominan. Bebek juga masih diminati, sebab di daerah tertentu yang banyak tanjakannya, motor bebek bisa diandalkan.

Thailand masih bisa disebut saingan Indonesia?

Thailand itu sekarang ekspornya enggak besar. Ekspornya ke negara tetangga saja. Mereka kini sudah memiliki kompetitor baru, Vietnam. Padahal, dahulu ekspornya motor bekas (ke Vietnam), sekarang motor baru. Habis itu mereka (Vietnam) akan bikin sendiri. Itu salah satu masalah kenapa ekspornya tidak naik, pasar tak selamanya tradisional, Vietnam pasti lama kelamaan pikir bikin motor sendiri.

Beberapa waktu lalu, saat ditantang oleh Pak Jokowi, bisa enggak ekspor naik jadi 300 persen sampai 2019, kita bilang siap lah.

Banyak yang menyebut bahan bakar di Indonesia kualitasnya kurang bagus, tentu akan memengaruhi performa sepeda motor. Apakah pabrikan siap apabila premium dihapuskan?

Jangan ke sana, itu isu politis. Sebenarnya begini, kami siap dengan perangkat engineering menjamah Euro3 atau lebih tinggi dari itu. Tapi kan, sekarang bahan bakar tidak ada, geser ke sana-ke sini akhirnya? Saya lihat bagus upaya pemerintah yang kini membuka pasar pengilangan minyak oleh swasta, itu mungkin suatu jawaban juga.

Yang pasti, masyarakat saat ini memang milihnya (bahan bakar) yang murah, kan tentu memengaruhi engine-nya. Memang, satu sisi mengeluarkan uang lebih murah, tetapi merugikan terhadap kinerja mesin, perawatan juga nantinya makin mahal.

Sejauh mana skutik genjot pasar roda dua di Tanah Air?

Ini menarik, sebenarnya skuter matik awalnya masuk (ke Indonesia) karena bagian dari fashion, tapi ternyata kena (diminati). Ini dianggap lebih nyaman buat konsumen, baik dari desain secara keseluruhan, dari sisi nyaman penggunaannya, tanpa oper gigi dan sebagainya. Dahulu pasar enggak mau, tapi sekarang masyarakat malah suka. Skutik juga telah mengundang peningkatan pembeli wanita, besar juga.

Tetapi, ada sisi buruk, banyak anak belum cukup umur sudah mulai mengendarai motor karena dianggap mudah menggunakannya. Tanggapan Anda?

Sebenarnya ini kembali ke penegakan hukum, bagaimana penegakan hukum bisa lebih baik. Sebab kekonsistenan hukum ini kurang. Kita sadari umur 12 tahun kini sudah banyak yang naik motor, ngebut, tanpa helm. Dari fisiknya saja sudah lebih lemah, selain itu ketangkasan berkendara juga kurang. Akhirnya, dia dikendalikan motornya, bukan dia yang mengendalikan motornya.

Anda tahu, kecelakaan sepeda motor, setiap pengendara wajib memperhatikan fungsi-fungsinya, selain itu pengendara harus tangkas. Kalau usia belasan memang belum bisa. Ngerem yang benar saja tidak bisa.

Fakta menyebutkan, 40 persen pengendara yang mengalami kecelakaan tidak punya SIM. Selain itu, 70 sekian orang meninggal setiap harinya gara-gara kecelakaan lalu lintas, paling besar disumbang sepeda motor.

Ketua AISI Gunadi Shindhuwinata/Foto: Rendra Saputra/VIVA.co.id

Lalu, apa yang digenjot AISI untuk menekan korban fatal akibat kecelakaan sepeda motor?

Di sebuah forum di Jerman, yang juga sudah saya sampaikan ke Menteri Jonan (Menteri Perhubungan, Ignasius Jonan) isu mengenai keselamatan lalu lintas saat ini tengah disorot banyak negara.

Maka itu, dalam merancang peningkatan keselamatan di jalan raya, harus ada yang ditingkatkan. Seperti disc brake. Kami katakan Anti-lock Braking System (ABS) bakal jadi tren ke depan. ABS sangat menolong. Pertimbangan remnya jadi lebih nyaman, kita coba untuk promosikan.

Kalau semua pakai ABS, apakah harga motor jadi mahal?

Tentunya harga motor akan lebih mahal, tapi nanti akan kita akan cari formulasi dengan pabrikan.

Terkait lampu motor menyala terus, apakah sudah bisa jadi kewajiban?

Begini, kalau itu merupakan kewajiban. Untuk produsen tidak ada masalah untuk itu. Waktu peraturan itu digulirkan, memang sempat pro-kontra, karena pengendara memiliki kewajiban untuk menyalakan, semua harus on. Kami kemudian mengatur juga bagaimana caranya untuk itu.

Tetapi intinya, lebih ke kesadaran yang harus timbul dari pengendara. Nyalanya sendiri memang satu keharusan. Sebab, mata kita memang tak bisa menangkap satu perubahan dengan cepat. Dengan lampu banyak menolong, karena bisa melihat pergerakan sepeda motor di belakang atau depannya.

Bagaimana soal kesadaran lalu lintas masyarakat Indonesia?

Perlu diperhatikan, di negara-negara maju kesadaran mereka tinggi. Cuma sayangnya orang kita tidak tahu persis kewajibannya di jalan raya seperti apa. Misalnya, bukan menyalakan lampu kecil malah menyalakan lampu hazard, itu kan sangat mengganggu.

Saya kalau lewat jalan-jalan kecil, banyak melihat pengendara mengabaikan keselamatan, pakai  celana pendek, tak pakai helm, kan membahayakan pengendara lain juga.

Artinya begini, secara pendidikan, edukasi pun kita harus bikin program kurikulum. Bukan pendidikan lalu lintas dan jalanan masuk saja ke mata pelajaran Bahasa Indonesia, tetapi dimasukkan satu bab soal itu.