Ngeri, Kartel Pengusaha Daging Ayam Rugikan Negara Rp300 T
- VIVAnews/Tri Saputro
VIVA.co.id – Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) melansir data mencengangkan. Menurut lembaga pengawas persaingan usaha ini, para pengusaha di Indonesia telah menjadi kartel yang masuk dalam tahap extra ordinary crime, atau kejahatan luar biasa.
Kepala Bagian Humas KPPU, Dendy R Sutrisno menuturkan, meski telah menjadi kartel 'membahayakan', namun sialnya pemerintah dan para penegak hukum tidak mau menyentuhnya. Alasannya, bisa bermacam-macam.
Di satu sisi, banyak pihak, termasuk para penegak hukum yang tidak paham konspirasi para pengusaha. Di sisi lain, terjadi pembiaran, karena konspirasi dengan kelompok pengusaha pelaku kartel.
Sialnya lagi, kartel yang dilakukan sekelompok pengusaha itu justru sektor yang menyangkut hajat hidup orang banyak, termasuk bahan pokok yang menjadi kebutuhan sehari-hari. Kerugiannya sangat fantastis.
"Kartel daging ayam misalnya, kerugian (negara) bisa mencapai Rp300 triliun lebih per tahun," kata Dendy, saat ditemui di Denpasar, Bali, Rabu 11 Mei 2016.
Menurutnya, jumlah itu baru dari sektor yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Belum lagi sektor-sektor lainnya. Sayangnya, upaya penyelamatan uang negara itu belum diketahui publik.
Sebab, kata Dendy, lembaganya tak sepopuler Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi Pemilihan Umum dan lembaga negara lainnya.
"Siapa yang menyangka, jika kartel daging ayam bisa mencapai kerugian hingga Rp300 triliunan per tahun. Itu baru satu sektor. Belum lagi, sektor lainnya yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Pembongkaran mafia daging ayam itu dilakukan oleh KPPU, tetapi tidak banyak diketahui publik," ucapnya.
***
Selain daging ayam, Dendy menyebut ada beberapa sektor usaha lainnya yang telah menjadi kartel. Di antaranya adalah daging sapi, bawang merah, bawang putih, ban mobil ring 14 dan 15, layanan pesan singkat SMS oleh beberapa operator telekomunikasi, industri farmasi, serta banyak sektor lainnya yang menguasai hajat hidup orang banyak.
Untuk daging ayam misalnya, harga di peternak setelah diteliti hanya antara Rp10 ribu sampai Rp15 ribu per kilogram. Sementara itu, harga di tingkat pasar modern dan pasar tradisional melonjak menjadi Rp30 ribu sampai Rp40 ribu.
"Di sini, sudah terjadi disparitas harga yang begitu tinggi. Bahkan, pemerintah pernah meminta untuk melakukan pengafkiran (pemusnaan dini) enam juta ekor ayam di Indonesia, karena terjadi kelebihan stok daging ayam. Baru dilakukan sekitar dua juta ekor, sudah terjadi kesulitan bagi ternak untuk mendapatkan bibit ayam," papar dia.
Dari hasil penelitian dan pengawasan yang dilakukan lembaganya, jumlah uang senilai Rp300 triliun per tahun itu, ternyata hanya dikuasai oleh lima hingga enam pengusaha daging ayam saja di Indonesia.
"Saat ini, kasus hukum kartel ayam sedang dilanjutkan. Sementara, yang sudah diputuskan baru soal ban mobil, tetapi sedang kasasi," kata Dendy. (asp)