Rasa Melayani PNS Masih Lemah
- VIVA.co.id/Muhamad Solihin
VIVA.co.id – Salah satu tuntutan mendesak masyarakat saat reformasi bergulir adalah menghilangkan korupsi, kolusi dan nepotisme dalam lembaga pemerintah. Kemudian Presiden Abdurahman Wahid saat memerintah membentuk Komisi Ombudsman Indonesia di 10 Maret 2000, lewat Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2000.
Kini, setelah 16 tahun lembaga itu berdiri, kondisi Indonesia tak jauh berubah. Korupsi terus terjadi, kolusi dan nepotisme masih saja ditemukan, terutama menyangkut layanan publik di lembaga pemerintah. Dari pengakuan Ketua Ombudsman RI Amzulian Rifai, yang baru dilantik 12 Februari 2016 lalu, perbaikan layanan publik di Indonesia memang berjalan lambat.
Kepada VIVA.co.id, Azmulian merasa buruknya layanan publik tidak terlepas dari kurangnya laporan masyarakat yang masuk ke Ombudsman, termasuk buruknya melayani aparatur negara. Dia juga merasa, sebagai lembaga negara, masih sedikit masyarakat yang tahu mengenai tugas pokok dan wewenang lembaga pengawas layanan publik ini.
Lalu, bagaimana strategi komisioner Ombudsman sekarang untuk mendekatkan lembaga ini ke masyarakat? Termasuk menunjukan ke publik, lembaga ini punya kerja konkret. Berikut petikan wawancara yang dilakukan di kantor Ombudsman, Jalan HR Rasuna Said, Kavling C19, Setiabudi, Jakarta Selatan, pada Rabu, 27 April 2016.
Bagaimana Anda melihat Ombudsman saat ini?
Institusi negara itu harus berwibawa, selama ini harus diakui, Ombudsman itu boleh dikatakan bukan hanya belum berwibawa, tapi juga belum begitu dikenal, oleh karena itu kita berupaya bagaimana supaya Ombudsman ini bisa lebih berwibawa.
Alasan tidak berwibawa?
Kalau diperhatikan sekarang pelayanan publik di negara kita ini boleh dikatakan cukup menyedihkan, pelayanan publik itu diskriminatif. Diskriminatif itu kadang-kadang melihat siapa yang dilayani, apakah dia orang punya kekuasaan, apakah dia orang kaya, kan itu seringkali yang terjadi.
Dan secara teori, negara yang pelayanan publiknya jelek, bisa dipastikan tingkat korupsinya tinggi. begitu kira-kira. Oleh karena itu kalau kita bicara pelayanan publik yang baik, kemudian kesejahteraan yang paling baik, itu negara-negara Skandinavia. Kalau kita perhatikan sejarah negara mereka, mereka itu ketika pertama kali membentuk negara itu Ombudsman. Karena mereka harus meyakinkan bahwa seluruh masyarakat itu harus mendapatkan layanan publik yang terbaik.
Kalau kita lihat riset layanan publik, itu adalah yang terbaik di dunia 4 negara itu skandinavia, ini di The Rule of Law Index 2015. Di mana Indonesia? Kalau tidak salah urutan 60-an.
Itu indeks layanan publik bidang hukum saja?
Tidak, The Rule of Law Index ini juga selain hukum, mengenai layanan publik juga. Di Undang-undang 37/2008 itu, kita ini muaranya menciptakan layanan publik demi itu, negara hukum yang demokratis. Ujungnya begitu.
Tidak mungkin ada hukum yang tidak diskriminatif, tanpa layanan publik yang baik. Kalau layanan publik tidak baik, dapat dipastikan ada persoalan dengan diskriminasi, persoalan dengan penegakan hukumnya.
Bagaimana kondisi Indonesia secara umum?
Secara kasat mata bisa dilihat di Indoneisa sekarang, babak belur kita semua. Saya yakin kalau sisi seremonial kita bagus, coba saja lihat semua institusi. misalnya hari ulang tahun, ada apa, ajang penghargaan, pasti bagus. Tapi kan di dalam pelaksanaannya cukup menyedihkan.
Hampir semua lembaga berarti?
Betul, hampir semuanya, istilah saya tuh masyarakat kita ini kalau tahu dia sama Tuhan, dia melapor sama Tuhan. Betul, itu saking enggak tahunya lagi melapor sama siapa.
Lalu bagaimana Ombudsman melihat ini?
Selama ini kita tidak menghitung kalau surat tembusan, misalnya dia melapor pada presiden, ditembuskan pada 10 institusi, termasuk Ombudsman. Artinya bukan alamat yang dituju, selama ini kalau kita tidak dihitung, saya bilang sama teman-teman, salah, mestinya walaupun tembusan, kita klarifikasi juga.
Misalnya anda melapor ke menteri agraria, karena enggak yakin menteri metindaklanjuti, anda tembuskan ke 10 alamat, termasuk Ombudsman. Nah periode saya, walaupun tembusan kita ikut nimbrung di situ. Artinya kalau itu ke menteri agraria, kita kirim surat ke menteri agraria, sehubungan dengan tembusan yang kami terima, sudah ditindaklanjuti belum?
Kan kita khawatirkan institusi yang dilaporkan itu memang tidak mengambil tindakan, misalnya surat kepada anda tapi tembusan kepada saya juga, kemudian saya tanyakan mungkin laporan itu jadi ditindaklanjuti, karena merasa, ini banyak orang tahu.
Selama ini, Anda melihat apa penyebab buruknya layanan publik?
Pelayanan publik ini, menurut saya tidak akan pernah berubah kalau tidak punya sense untuk melayani tidak ada. Memang lemah, apalagi kalau anda bicara pegawai negeri sipil, lebih parah lagi. Saya juga jadi PNS sejak '88, ini sekarang hanya berhenti sementara, setelah ini tentu saja saya kembali lagi jadi PNS.
Tadi Anda menyinggung soal diskriminasi di bidang hukum, selama ini dikenal dengan mafia peradilan?
Saya katakan orang bicara mafia peradilan, memang baru? Saya dulu menyusun tesis saya di Australia, Melbourne University of Law School, itu tahun 95 itu sudah ada. Tapi waktu saya tulis masalah mafia peradilan, profesor saya marah. 'Hey kau jangan omong hakim kayak gitu', dia enggak percaya, tapi setelah saya bawa artikel yang menulisnya adalah menteri kehakiman, Oetojo Oesman menyatakan d isitu dalam bahasa Inggris, “50 percent Indonesian judges taking bribery”, katanya. Waktu itu '95. Ini yang mengatakan menteri kehakiman saya bilang, baru dia percaya, ada persoalan dengan peradilan kita.
Apa penyebabnya?
Memang persoalannya sekarang di Indonesia ini sepertinya semakin banyak kontak, orang per orang yang berurusan, kans orang untuk korupsi, pungli itu semakin tinggi. Oleh karena itu salah satu cara sebenarnya memanfaatkan teknologi. Kalau teknologi digunakan, contoh, kereta api, dulu kita beli tiket kereta api langsung ke loket, ya kan. Kemudian anda baca itu ada spanduk dimana-mana, jangan membeli tiket lewat calo, dikasih hadiah kalau tangkap calo. Tapi calonya bolak balik, berdiri di bawah spanduk ini dia menawarkan tiket. Sekarang dia memanfaatkan teknologi, apa yang terjadi? Bisa beli tiket di Alfamart, Indomaret, itu memanfaatkan teknologi.
Sama ketika pengadilan memanfaatkan teknologi, misalnya kita dalam persidangan, setelah hakim membacakan putusannya, itu online bisa didapatkan. Ini kan kita mendapatkan putusan hakim saja terkadang susah. Putusan hakim tentang kita sendiri, lama pula. Nyogok juga kadang-kadang. sama juga ketika kita bicara sertifikat tanah, saya pernah tulis, bagaimana saya katakan terjadi yang namanya pungli hirarkis.
Seperti apa itu?
Pungli itu bukan sepenuhnya kesalahan BPN, anda mau mengurus sertifikat, di situ melibatkan RT, melibatkan lurah, camat, ternyata apa yang terjadi itu minta uang semua itu. Nah, itu baru tahap pertama. Tahap keduanya kan turun dokumen asli, yang anda minta lagi tanda tangan camat, camatnya sudah menentukan lagi itu, saya minta sekian katanya, kita tidak menuduh seluruh camat seperti itu, ya tapi ini terjadi di lapangan, yang mungkin tidak terjangkau oleh kementerian di Jakarta.
Belum lagi kemudian jabatan-jabatan tertentu yang karena mutasi promosi itu ada kaitannya dengan uang pelicin. Bertambah parahlah dia kalau untuk dapat jabatan dia harus membayar. Mungkin kalau tidak ada perubahan yang drastis signifikan, tidak akan lebih baik negara kita ini.
Tanpa kewenangan penindakkan, apakah rekomendasi dijalankan?
Nah, saya setuju misalnya rekomendasi itu beberapa pihak meremehkan, tapi pengalaman saya sejauh ini, respon mereka cepat ketika minta klarifikasi, jadi enggak benar juga. Mungkin yang mendengungkan itu, jadi seperti ini, kalau anda melaporkan ke Ombudsman anda berharap rekomendasinya berpihak pada anda, ketika rekomendasi tidak sesuai, anda ngomong 'wah tidak berwibawa Ombudsman itu', itu kan disiarkan dimana-mana.
Pernah mengalami sendiri?
Ini saya menerima beberapa kali surat Ombudsman itu, minta bubarkan saja, tidak ada gunanya, tapi dalam waktu bersamaan, saya pernah jadi pembicara, di Manado baru-baru ini. Seorang guru besar di UGM, dosen di FISIP, sangat berterima kasih dengan Ombudsman, karena status guru besarnya itu enggak turun-turun, dia sudah bolak-balik, dia laporkan ke Ombudsman.
Satu-satunya yang menyelamatkan dia jadi guru besar ya Ombudsman. Kan ada nih, sekarang misalnya Jaksa Agung menghentikan kasus BW (Bambang Widjojanto) menggunakan apa? Rekomendasi Ombudsman, menghentikan kasus Abraham Samad, begitu juga Novel Baswedan.
Baru kemarin kita ketemu Jaksa Agung, walaupun beliau enggak ngomong langsung, satu-satunya yang jadi cantelan dalam tanda kutip yang "aman" itu rekomendasi Ombudsman, dia pakai itu. Nah, hanya kan yang enak itu adalah mengungkapkan yang tidak baiknya, ya kan. Masa kita mau memuaskan semua pihak.
Maksudnya seperti apa?
Kadang-kadang, orang juga memanfaatkan Ombudsman untuk kepentingan pribadinya, misalnya nih, kepala daerah dibilang menghambat investasi tidak mau mengeluarkan izin, setelah dicek ke lapangan, bagaimana mau mengeluarkan izin, kalau memang dia tidak layak diberikan izin. Lantas dia menggunakan kekuasaan untuk menekan kita, ya kita tidak bisa ditekan dong.
Memang Ombudsman dipakai untuk pembenaran saja, nanti dulu. Jadi kita selalu obyektif, kita panggil para pihak, tidak bisa memfitnah seseorang, kan seperti yang kita lakukan. Saya setuju persoalannya tidak sederhana, complicated ya, tapi menurut saya itulah kenapa kami ditunjuk memimpin lembaga ini, kami harus kuat, harus optimis.
Tapi tanpa kewenangan penindakkan, bagaimana memberikan desakan agar rekomendasi dijalankan?
Strategi saya, ada tiga. Satu, kita akan kejar terhadap suatu rekomendasi, misalnya kita rekomendasikan gubernur X, 60 hari dia tidak jalankan kita kejar lagi, kalau tidak kita lapor presiden, ke DPR dan kita akan undang media. Memang risikonya berhadapan, apa boleh buat, ada beberapa yang kita rencanakan seperti itu dalam waktu dekat. Saya yakin bisa jadi ramai, karena obyeknya juga ada di Jakarta ini.
Kalau saya nilai pada level pimpinan sepertinya bagus semua, ada kemauan kuat untuk memperbaiki, tapi persoalan di bawah itu yang begitu rumit. Pasti nanti menyangkut gaji yang kecil, macam-macam, fasilitas yang lemah.
Anda melihat itu sebagai masalah utama, atau hanya alasan pegawai tingkat bawah saat tidak maksimal memberikan layanan?
Jadi saya pikir begini, kalau anda bicara gaji, kalau menurut saya relatif lebih bagus, jauh dong. Sekarang orang baru golongan IIIA saja gajinya sudah diatas Rp3-4 juta, kan lumayan. Saya dulu gaji pertama saya itu Rp88 ribu, tahun 89. Masih ngeri-ngeri sedap juga zaman itu.
Terlepas dari itu, kedua memang harus kita akui, materialisme itu sudah sampai merasuk sukma kita, artinya apa? Semua mau pakai mobil yang bagus, semua mau punya rumah enggak cukup satu, itu materialisme semua.
Kedua dia di dalam mutasi promosi jabatan perlu biaya, perlu nyogok. Lihat institusinya itu mutasi promosinya membutuhkan dana, dia perlu mengumpulkan duit. Jangan-jangan walaupun tidak seluruh, tapi ada institusi hukum itu yang mutasi promosinya, bahkan pendidikan pun itu perlu duit.
Indikasi itu ditemukan Ombudsman?
Oh iya.
Berdasarkan laporan?
Ada laporan seperti itu, bukan kita ngomong dibuat-buat, memang ada laporan seperti itu, bahkan kita sampaikan ke pimpinan tertingginya, kita sampaikan walaupun itu bentuknya surat yang tanpa identitas. Tapi sangat patut diduga itu sudah jujur, lengkap sekali, karena kalau dia menyebutkan identitasnya ya apalagi institusinya yang kuat, anda bisa celaka. Tapi kita percaya, kita sampaikan ke pimpinan tertingginya itu benar, kita yakin betul ini.
Pernah dapat tekanan?
Iya, pernah beberapa waktu lalu ada yang seperti itu.
Seperti apa?
Ya tentu ada sajalah, tapi kadang-kadang orang itu lupa, orang karena tidak mengenal Ombudsman. Di pasal 10 Undang-undang 37/2008 itu jelas, Ombudsman itu punya kekebalan, kita sempat punya insiden sedikit dengan pegawai KSP (Kantor Staf Presiden), itu kita juga dalam tanda kutip sempat diancam juga, saya dengar mereka menggalang kelompok tertentu. Terus saya tulis di suatu harian imunitas Ombudsman, saya tulis, karena kita tidak bisa diintervensi, diperiksa, tidak bisa diadili.
Berkaitan dengan tugas?
Tentu enggak bisa dong, jangan nanti kita komentar kemudian pencemaran nama baik, tak bisa seperti itu. Anda lihat misalnya, KY (Komisi Yudisial) dikriminalisasi, bahkan KPK. Kalau misalnya seorang anggota ketua Komisi Yudisial berkomentar tentang perilaku hakim, jadi tersangka, kan aneh republik ini.
Saya misalnya pelayanan publik suatu waktu tentang kementerian tertentu lantas saya dikriminalisasi juga, oh saya lawan. dan pasal 10 sudah memberikan perlindungan itu, dan tidak semua lembaga memiliki perlindungan itu. Kami memiliki, beruntung.
Bagaimana mengoptimalkan kinerja komisioner?
Jadi kami ini 7 orang itu dibagi habis, substansinya kita punya 7 tim, tim satu dengan 1 ombudsman pengampu. Ketua dan wakil ketua tidak masuk ke tim itu karena ada pekerjaan lain dan dia bisa masuk ke semua tim. Kemudian, disamping substansi, Ombudsman dibagi per wilayah. Misalnya wilayah empat provinsi, siapa yang pegang. Itu dibagi habis 7 itu.
Jadi disamping membina substansi, dia juga membina atas wilayah, karena yang kita urus kan Indonesia, luas sekali, kalau tidak ada perwakilan waduh repot kita, karena perwakilan inilah kita semua daerah, semua kementerian.
Selanjutnya... Institusi paling banyak dikeluhkan
Dari semua laporan yang masuk, keluhan masyarakat paling tinggi institusi mana?
Sejauh ini memang laporan terbanyak itu menyangkut Pemda, kebetulan saja seperti itu.
Ruang lingkupnya?
Umumnya seperti itu, perlakuan diskriminatif, penundaan pelayanan, hal seperti itu, semuanya yang menyangkut kewenangan pemerintah daerah. Umumnya merasa ada diskriminasi, penundaan pelayanan, lama, berlarut-larut, enggak jelas.
Apakah anda melihat buruknya layanan publik itu bisa terjadi karena perilaku masyarakat juga?
Tentu, masyarakat juga punya andil, tapi kalau kita bicara siapa yang punya tanggung jawab, pemerintah dong. Okelah masyarat punya kontribusi kesalahan, tapi siapa yang paling bertanggung jawab meng-cut-nya, pemerintah! Coba anda tegas mau nyogok enggak bisa. Anda enggak setuju kita enggak layani.
Saya kasih contoh tadi kereta api, anda mau pangkatnya apa pun, kalau sudah tidak dapat tempat duduk mau apa? Kan bisa. tapi kalau anda cerita misalnya IMB, kadang-kadang sebelah sini tak dapat, sebelah situ dapat, orang akan lihat gimana ini? Katanya dari sepadan sungai harus sekian, ini kok lewat hal seperti itu, diskriminatif seperti itu. Umumnya apa, ya nyogok.
Ada contohnya?
Anda bertanyalah pada orang yang ngurus IMB se-Indonesia ini, dan yang bergerak di bidang properti, pasti dia kalau jujur dia akan bilang berapa dia satu lokasi bayar. Oh kita Rp200 juta ini, dan pasti enggak pakai kuitansi.
Anda mau melawan, bagaimana dengan lokasi lain? karena orang urusan properti pasti tidak hanya satu lokasi. Kemudian urusan sama PLN, minta meteran, pasti jawabnya antres terus itu, enggak ada. Pas anda gunakan channel tertentu ada, pasang ledeng, juga gitu nanti. Anda misalnya ikut aturan, sebulan belum dipasang, dua bulan, sementara konsumen ini mau masuk rumah, sudahlah bagaimana pak, akhirnya seminggu dipasang tapi bayar sekian. Anda tanya kuitansi, enggak ada.
Satu persoalan berdampak luas sepertinya?
Iya, mulai dari ledeng tadi, anda bicara IMB, pasang meteran, apa lagi, banyak lagi hal-hal yang sesungguhnya luar biasa. Belum lagi anda bicara yang berurusan dengan pemda hal yang lain. Jadi pada akhirnya memang karena ini menyangkut watak bangsa, benar Presiden menyatakan revolusi mental itulah, karena persoalan kita ini mental. Anda bilang gaji kecil, berapa sih gaji kecil dan berapa gaji besar. Relatif juga. Itulah yang jadi soal, karena menyangkut karakter, menyangkut mental, hanya dengan berubah mental itu kita bisa.
Sehingga kalau ditanya siapa yang paling bertanggung jawab ya pemerintah dong, wong dia yang disebut pemerintah, dia yang punya power, punya kekuasaan, dia punya alat kekuasaan, rakyat itu kalau dicegah, bisa saja. Kenapa sistem itu, bukan karena swasta lebih bagus, swasta memang dia pakai sistem, dan tegas menerapkan itu, bisa kenapa swasta bisa? Misalnya TV swasta di Palembang, awalnya kecil-kecil, mulai dari ruko, tapi akhirnya bisa berkembang, karena pegawainya mati-matian, bisa! Ada sense of belonging-nya. Itulah, sejak saya masuk, Jumat kamu upacara, tak ada ketua yang menganjurkan upacara di lembaganya.
Biar kenapa?
Biar tumbuh disiplin, setiap Jumat boleh lihat kami upacara. Banyak yang protes, saya bilang sini berhadapan dengan saya, dengar itu Indonesia Raya, dengar itu Bagimu Negeri, masa upacara jam 9 kau marah-marah, memang upacara jam 5 pagi kan enggak. Jam kantor saya bilang jam berapa, 8, upacara jam 9, berarti kalau enggak ikut upacara kau tidak ngantor, itu sudah saya terapkan sejak awal saya ke sini, saya bilang Jumat upacara semuanya. Kalau tidak datang, kena sanksi.
Rata-rata berapa laporan yang diterima Ombudsman per tahun?
Ya yang jelas Ombudsman di tahun lalu itu 6.889 laporan, dalam satu tahun. Menurut saya masih sangat sedikit, itu belum kita perhitungkan tembusan tadi. Itu satu hal yang mesti dilakukan supaya yang melapor itu merasa diperhatikan. Orang telepon saja boleh kok. Apalagi dengan surat yang serius.
Saya sudah tekankan, anda menerima laporan 30-40 laporan sehari, mungkin anda tidak lanjutkan 3 itu tidak terasa, tapi yang melaporkan tiga itu seumur hidup akan ingat itu. Wong dia yang melaporkan, bagaimana tindak lanjutnya dia kan berharap sama kita.
Justru kalau kita itu tegas, setiap Senin kalau pleno, mana yang mesti ditutup, ditutup. diinformasikan pada pelapor, kenapa ditutup. Misalnya karena masuk proses pengadilan kita tidak boleh ikut campur, yang penting kan pelapor itu dikasih tahu, jangan didiamkan saja bertahun-tahun. Itu kasus-kasus lama kita buka lagi jadinya, biar ada kepastian
Itu kasus lama yang belum ada keputusannya?
Ya yang kasus lama belum ada keputusan, tapi ternyata memang tidak bisa ditindaklanjuti. Tapi kan pelapor tunggu nih, nanti dia malah bilang keluar, ‘saya melapor ke Ombudsman berapa tahun sudah enggak jelas’. Sudah orang tidak mengenal kami, yang kenal marah saja kerjanya.
Apa hal paling sederhana yang bisa dilakukan lembaga untuk meningkatkan layanan publik?
Hal sederhana itu adalah bagaimana menindaklanjuti laporan orang itu secara profesional, itu sederhana. Misalnya masyarakat datang ke polisi, melaporkan persoalannya, terima laporan itu, proses. Ada lagi orang melapor ke polisi, dan ternyata seharusnya laporan ini diberhentikan, berhentikan dong. Ini jangan orang sekadar kecelakaan kecil masuk penjara. Ribut soal anaknya berkelahi, orang masuk penjara, itu bukan hukum Indonesia. Itu saya bilang pada banyak polisi, saya katakan itu diskresi anda.
Masyarakat kan berharap setiap laporan itu ditindaklanjuti, seperti juga pada Ombudsman?
Saya setuju, kami kan esensinya berbeda, kalau kami silakan saja lapor. Tapi kan kami tanya, orang lapor kita, dia bilang misalnya pemerintah belum bayar utang ke saya, mana buktinya? Pemerintah tidak memperhatikan saya, mana laporan anda ke pemerintah? Kita informasi kan, esensinya beda.
Tapi kalau laporan polisi, Pasal 1 KUHP itu masalah legalistik, tapi masalah legalistik itu kan menurut saya pribadi. Itulah fungsi dia polisi itu diberi hak diskresi.
Tapi memang kenapa hal itu banyak terjadi, karena memang rakyat enggak percaya pada aparat hukum, jaksa juga. Kalau orang misalnya tidak korupsi, ya jangan dipaksa-paksa korupsi. Jangan jadi target, sebaliknya orang yang betul-betul korupsi tidak ditindak, tindak dong yang tegas!
Hakim juga misalnya begitu, bagaimana dia memutus berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa. Tetapi jangan juga staf pengadilan ikut bermain. Hakimnya bagus, staf pengadilannya jadi calo perkara. Jadi kalau tadi mana yang kira-kira simpel, yang simpel itu bekerja saja sebagaimana seharusnya, itu yang simpel. Kecuali misalnya orang itu harus dihukum ringan, kemudian penjara mestinya harus ada televisi, itu yang berat mikirnya. Sama dengan kami, hal sederhana itu orang lapor, catat berkasnya jangan sampai hilang berkasnya, sederhana kan.
Presiden belakangan banyak mengurangi proses izin, apakah berdampak tingkat layanan publik bisa lebih baik?
Nanti dulu juga, kita ini kan yang jadi soal karakter melayaninya yang lemah, bukan persoalan pintunya. Jangan juga atas nama investasi kita bablas, kalau persoalannya di mental, akhirnya kita mencari sistem yang baru terus, yang salah ini apa, padahal yang salah bukan sistemnya, tapi orangnya, yang membentuk sistem kan orang, anda mau bentuk sistem bagimana pun, anda yang enggak beres, tetap enggak beres jadinya.
Apakah artinya pengurangan izin ini tidak lebih baik untuk pelayanan publik?
Kalau untuk kecepatan urusan mungkin, tapi mesti dipikirkan juga cepat itu serta merta baik bagi masyarakat. Tapi jangan atas nama investasi kita mem-by pass, sebenarnya ini hanya karena proses-proses izin ini disalahgunakan, coba kalau bangunan enggak usah pakai Amdal (Analisis Dampak Lingkungan), kacau dunia ini. Oleh karena itu bukan pada apa syaratnya, tapi penyalahgunaan apa yang menjadi syarat.
Pimpinan Ombudsman orang baru semua, ada kendala untuk kolektif kolegial?
Saya sejujurnya, saya bukan mengarang-ngarang, tapi menurut saya semua orang berpengalaman semua, bukan pengangguran, orang tiba-tiba enggak ada pekerjaan. Saya merasa tim ini kompak, saling bahu membahu, saya merasakan itu. Sejauh ini tidak ada yang mengganjal, ini yang harus kita jaga. Kalau tidak ada kepentingan pribadi apa yang harus diributkan, kita kan enggak punya agenda tersembunyi.
Rapat selalu cair suasananya?
Menurut saya iya, saya enggak pernah lihat orang pukul meja.
Ada perubahan saat Anda menjadi dosen ke lembaga negara, suasana berbeda apa yang dirasakan?
Terus terang saja tempat saya yang dulu lebih bagus. Sistem kerjanya, segala macam. Artinya di sini tantangan saya orang bisa disiplin, di tempat lama kan sudah disiplin.
Apa sistem internal yang perlu diperbaiki?
Penggunaan IT harus diterapkan di Ombudsman, bagaimana orang setiap saat bisa mengecek perkembangan laporannya. Saya sekarang paperless untuk berhubungan dengan kepala perwakilan, waktu pertama masuk kebayang enggak setiap kepala perwakilan kirim surat, banyak sekali, dan yang dikirim itu tidak penting. Akhirnya saya bikin sistem, hanya boleh menghubungi saya lewat internet, email.
Sekarang hampir enggak ada lagi surat dari perwakilan. Kalau ada surat nyelonong, tegur kepala perwakilannya, lama-lama enggak ada lagi surat. Berapa kertas yang kita hemat? Kalikan satu tahun, lumayan yang kita hemat itu. Artinya teknologi kita maksimalkan. Terus website, pertama kali saya datang saya ributkan websitenya, masa website kayak anak TK, ubah dong.
Kita bicara teknologi, sekarang Ombudsman juga hadir di media sosial, apakah laporan di media sosial masuk hitungan?
Tentu setiap laporan ditindaklanjuti, tapi kan enggak bisa suara pembaca misalnya jadi laporan. Satu hal lagi, Ombudsman ini sebenarnya baru menindaklanjuti ketika upaya internal itu selesai, bukannya laporan pertama itu kita urusi semua. Misalnya kalau dia urusan sama polisi, pernah enggak dia ke Irwasda (Inspektur Pengawas Daerah), atau hakim, perilaku hakim, ke KY dong.
Tidak bisa serta merta lapor langsung ke sini?
Tidak bisa, kecuali kalau urgent. Misalnya dia berhadapan dengan polisi, dia ditahan terus melapor ke internalnya polisi, kalahlah dia. Terus terang saya ingin meng-encourage supaya masyarakat melapor. Menurut saya 6.800 laporan itu terlalu sedikit. Kenapa? Menurut saya begini, contoh Austria, jumlah penduduk hanya 8,5 setengah juta, laporan ke Ombudsman 20 ribu setahun.
Kita penduduk 225 juta, laporannya cuma 6.800, jauh sekali. Apakah pelayanan publik kita lebih baik dari Austria? Enggak, pasti. Sehingga dua hal saja kemungkinannya, kesadaran melapor rendah. Kedua, orang tidak tahu Ombudsman. Oleh karena itu Ombudsman mencoba memperkenalkan diri ke masyarakat. Saya harus jujur, Ombudsman belum terlalu dikenal. Saya akan komit 5 tahun ini saya akan kerja keras.
Ombudsman bisa dikatakan anak kandung reformasi, apakah harapan itu telah terpenuhi?
Saya pikir belumlah, jangankan Ombudsman, lembaga yang tua itu saja belum ada memenuhi harapan masyarakat. Ombudsman sendiri harus bekerja keras untuk memenuhi harapan itu ke masyarakat. Secara jujur memang belum. Menurut saya masyarakat juga harus mengubah mentalnya, jangan juga menyalahi seluruh lembaga ini. Lembaga mana pun sudah bekerja keras, dengan fasilitas terbatas.
Bagaimana kalau Ombudsman punya kewenangan penindakan langsung?
Ya bagus juga sih, tapi kalau sesungguhnya masing-masing atasan itu menyadari bahwa, tantangannya di Ombudsman, bagaimana meyakinkan bahwa rekomendasi yang diberikan itu demi kebaikan lembaga terlapor. Anda memimpin suatu institusi, kita coba yakinkan rekomendasi itu untuk kebaikan anda sendiri. Dan menurut saya sejauh ini trennya semakin mereka respon dengan baik, saya optimistis.
Kapan Anda merasa berhasil telah memimpin Ombudsman?
Ketika manajemen di kantor ini jauh lebih baik, kemudian rekomendasi yang kita berikan di jalankan. Dan pelapor merasa terbantu dengan kehadiran Ombudsman.
Tapi kalau manajemennya masih seperti sekarang, dan kewibawaan tidak keluar, menurut saya, saya gagal. Saya masuk ke sini dengan laporan keuangan BPK disclaimer, saya ke daerah orang tidak tahu Ombudsman, yang kenal, dia marah dengan Ombudsman. Maka kalau nanti saya berhasil membalikkan situasi itu, maka saya berhasil. Bukan saya saja, tapi yang sembilan komisioner itu. (umi)