Tax Amnesty Disahkan, Bagaimana dengan Indeks Saham?

Ilustrasi bursa efek.
Sumber :
  • VIVA.co.id/Muhamad Solihin

VIVA.co.id – Pembahasan Rancangan Undang-undang Pengampunan Pajak, atau tax amnesty terus digodok oleh parlemen sebelum pembahasan final bersama pemerintah. Jika segera disahkan, dana besar yang selama ini ditempatkan di luar negeri diyakini akan kembali.

Artinya, Indonesia bersiap dibanjiri likuiditas dari dana hasil repatriasi para miliarder yang selama ini menempatkan dananya di luar negeri. Lalu, bagaimana pengaruhnya terhadap laju indeks harga saham gabungan (IHSG)?

Direktur Utama PT Bursa Efek Indonesia, Tito Sulistio mengungkapkan, pergerakan IHSG dengan adanya repatriasi modal dari peserta tax amnesty berpotensi meningkat cukup signifikan. Bahkan, Tito berani menyebut pertumbuhan IHSG mampu menjadi nomor satu di dunia.

"Dua bulan yang lalu (dari sisi pertumbuhan) itu terbesar kedua di dunia. Posisi kita sekarang nomor dua. Bisa jadi nomor satu," kata Tito, saat ditemui di gedung parlemen Jakarta, Rabu 27 April 2016.

Ia memperkirakan, dana hasil repatriasi para peserta tax amnesty mampu berada di kisaran Rp2.000 triliun sampai dengan Rp2.500 triliun. Data tersebut, merupakan data milik para Wajib Pajak (WP) yang selama ini tidak melaporkan hartanya kepada Direktorat Jenderal Pajak.

Tito menambahkan, jika pemerintah bisa menarik seluruh potensi dana tersebut, sudah dipastikan dana itu tidak hanya akan menghiasi instrumen keuangan perbankan, melainkan juga menuju ke instrumen pasar modal seperti obligasi maupun reksadana.

Ia memastikan, masuknya dana hasil repatriasi tersebut tidak akan mengancam volatilitas pasar modal. "Market kita itu 5.000 triliun. Pasar tidak akan goyang, cuma harga akan naik. Tidak akan ada masalah apa-apa," ujar dia.

Meskipun ada potensi pertumbuhan IHSG yang cukup signifikan, namun Tito menilai, hasil repatriasi tersebut tidak akan terlalu berdampak kepada perputaran uang yang berada di pasar saham. Sebab, hal ini akan tetap bergantung pada volume transaksi harian di pasar saham.

"Market cap (kapitalisasi pasar) tidak akan terlalu besar, karena sempat terjadi depresiasi rupiah. Karena, kami bicara mengenai frekuensi (transaksi harian). Tidak bisa diprediksi," kata Tito. (asp)