Ratifikasi Dinilai Lebih Baik Ketimbang Tax Amnesty
- ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma
VIVA.co.id – Pemerintah dinilai masih memiliki alternatif ketimbang menyiapkan kebijakan pengampunan pajak atau tax amnesty. Kebijakan itu demi mengembalikan dana yang selama ini diparkir di luar negeri.
Ketimbang tax amnesty, ada kebijakan yang dinilai lebih baik, yaitu ratifikasi atau adopsi perjanjian internasional dengan negara-negara tempat di mana dana tersebut diparkir oleh para miliarder asal Indonesia. Demikian saran dari Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA).
Koordinator Advokasi dan Investigasi FITRA, Apung Wanandi, mengatakan, dengan adanya ratifikasi, pemerintah bisa segera menyelidiki aset yang dimiliki para miliarder dalam negeri yang ditempatkan di negara-negara suaka pajak (tax heaven).
Dari situ bisa diketahui, apakah mereka parkir aset memang bertujuan untuk berbisnis, atau justru lari dari kewajiban terhadap negara.
"Jadi lewat proses hukum. Tinggal dipanggil satu persatu yang macam-macam. Harus dipaksa," ujar Apung, dalam sebuah diskusi di Jakarta, Minggu, 24 April 2016.
Menurut Apung, jargon tahun penegakan hukum yang diusung oleh Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan masih belum terbukti sampai kuartal I-2016. Padahal, instansi yang berada langsung di bawah Kementerian Keuangan tersebut pernah menyebut ada potensi dana yang cukup besar di negara tax heaven.
Contohnya, yakni dana yang diparkir di Singapura yang jumlahnya diklaim jauh lebih besar dibandingkan negara tax heaven lainnya. Apung menegaskan, pemerintah harus berani mengambil sikap tegas untuk mempertanggung jawabkan tugas yang diemban.
"DJP sudah punya data kalau potensi di luar lebih besar dari Panama Papers. Tapi, masalahnya di penegakan hukum yang dalam tanda kutip masih bisa diintervensi," kata dia.
Karena itu, FITRA pun mendesak Presiden Joko Widodo agar segera membentuk tim khusus untuk mengejar aset yang selama ini berada di luar negeri. Dengan demikian, ada kejelasan yang pasti.
"Harus dilihat, apakah (dana) itu ilegal atau yang lainnya. Itu bisa ditrack, karena negara kita punya data itu sebenarnya," ucap dia.
(ren)