Berdayakan Tetangga, Omzet Lampion Ini Tembus Seratusan Juta

Pengrajin lampion di Inacfraft 2016.
Sumber :
  • Lilis Khalisotussurur/VIVA.co.id

VIVA.co.id – Berbekal bimbingan dari orangtua angkat untuk membuat kerajinan tangan, Lisye Diana memulai bisnis lampu kertasnya, atau lampion sejak 1998 di Bandung, Jawa Barat. 

"Kita dilatih membuat lampion. Dan, kita bisa mengembangkan. Awalnya, kita mulai dari interior, ya lighting interior," kata Lisye saat ditemui Viva.co.id di Jakarta, Jumat 22 April 2016.

Dia menceritakan, awalnya ia memberanikan diri mendeklarasikan dirinya sebagai perajin lampion dan lampu kertas dan masuk ke ranah bisnis. Pada saat itu, modal awal yang dikeluarkan adalah seniali Rp10 juta. 

"Kami membeli alat buat alat produksi. Bahan baku yang dipakai tak hanya kertas, tetapi juga tembaga, stainless steel, dan bahan lainnya yang dipakai kenapa tidak. Harus berani berinovasi," kata Lisye.

Bisnisnya dimulai tanpa toko. Bahkan, hingga kini, ia memilih tak menggunakan toko untuk menjual produknya, tetapi hanya produksi sesuai dengan pesanan. Tak hanya itu, ia baru menjajakan produknya pada workshop, atau pameran-pameran tertentu saja.

"Pesanan saja," tambahnya.

Untuk memproduksi lampion tersebut , ia merekrut dan melatih tetangga-tetangganya mulai dari ibu-ibu dan santri-santri untuk membuat lampion dan lampu kertas di sekitar tempat tinggalnya.

"Kalau karyawan tetap tujuh orang. Tetapi, kalau ada order yang harus diselesaikan bisa sampai 50-60 orang. Kuat kita," ungkapnya.

Tiap lampion dan lampu kertas, ia jual dengan harga berbeda sesuai dengan jenisnya. Untuk lampion polos, dia menjual dengan kisaran harga Rp50 ribu per buah. Adapun lampion dan lampu kertas lain memiliki harga berbeda bergantung pada corak dan ukurannya sekitar Rp100 ribu hingga Rp600 ribu.

"Omzetnya sudah sekitar Rp100 juta yah per bulan. Sekarang sudah ada perkembangan omzet, dengan model-model yang kita tampilkan," kata Lisye. (asp)