Volume Ekspor China Meningkat, Bawa Angin Segar bagi RI?
Kamis, 14 April 2016 - 16:19 WIB
Sumber :
- VIVAnews/Ikhwan Yanuar
VIVA.co.id - Data ekspor China, negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia, pada Maret 2016 berbalik melonjak, setelah pada awal tahun ini sempat terkoreksi. Penurunan impor di China menunjukan indikasi bahwa perekonomian negara tersebut mulai menuju arah perbaikan.
Dilansir dari CNBC, Kamis, 14 April 2016, volume ekspor China dalam mata uang berdenominasi dolar Amerika Serikat meningkat 11,5 persen secara year on year (yoy), setelah sempat merosot tajam pada Februari lalu.
Volume impor di China menurun menjadi di angka 7,6 persen secara yoy. Lantas, apakah sentimen ini membawa angin segar bagi Indonesia?
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Suryamin, mengungkapkan China sampai saat ini masih menjadi salah satu pangsa pasar terbesar bagi Indonesia.
Artinya, jika perkembangan ekspor negara tersebut meningkat, ada potensi permintaan barang dari China pun akan meningkat.
Baca Juga :
“Kalau dampaknya kepada barang investasi dan barang modal, bisa positif terhadap kita. Asal jangan yang masuk barang konsumsi,” ujar Suryamin, saat ditemui di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, Kamis, 14 April 2016.
Menurut Suryamin, sampai saat ini Indonesia belum memiliki kapasitas untuk menjadikan barang baku, menjadi sebuah barang yang bersifat konsumtif.
Kurangnya infrastruktur yang memadai, memang menjadi salah satu alasan utama.
Meski begitu, Suryamin berharap, data perdagangan China mampu memberikan angin segar terhadap sektor perdagangan Indonesia.
“China itu empat negara yang paling besar impornya ke kita. Mudah-mudahan saja bisa memberikan peningkatan ke kita,” katanya.
Sementara ditemui ditempat yang sama, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution, mengaku enggan menaruh harapan lebih atas perkembangan data ekspor negeri Tirai Bambu tersebut.
Menurutnya, hal ini akan tetap bergantung pada situasi perekonomian dalam negeri sendiri.
“Permintaan hasil pertambangan itu pada dasarnya tergantung kita, bukan dari China. Kami kan melarang ekspor (komoditas tambang),” ujarnya.
Sebagai informasi, ekspor berdenominasi mata uang yuan pun meningkat 18,7 persen secara yoy, dibandingkan Februari yang justru turun sebesar 20,6 persen.
Sementara impor berdenominasi yuan menurun 1,7 persen, lebih lambat dari penurunan di bulan sebelumnya yang tercatat sebesar delapan persen.
Di sisi lain, indeks pembelian manajer (purchasing managers’ index/PMI) kembali tumbuh untuk pertama kalinya sejak Juli, dengan presentase peningkatan sebesar 50,2 persen.
Data ini pun diharapkan menjadi indikator kesembuhan perekonomian China, yang sebelumnya dikhawatirkan adanya arus modal yang keluar. (ren)