APBN 2016 Belum Mampu Menstimulus Pertumbuhan Investasi
VIVA.co.id – Anggota Komisi XI DPR RI Heri Gunawan mengatakan bahwa pemerintah telah menetapkan bangunan APBN 2016 ditujukan untuk mempercepat pembangunan infrastruktur dalam rangka memperkuat pondasi pembangunan yang berkualitas.
"Bangunan itu menargetkan hal-hal diantaranya, pengangguran 5,2-5,5 persen, angka kemiskinan 9-10 persen, gain rasio 0,39, indeks pembangunan manusia 70,1. Sementara itu, bangunan tersebut dibangun di atas asumsi sebagai pertumbuhan ekonomi 5,3 persen, inflasi 4,7 persen, nilai tukar rupiah Rp13.900/USD, harga minyak USD50/barrel," ujarnya.
Ia menambahkan, pertanyaannya, apakah bangunan APBN tersebut berjalan sebagaimana mestinya?
Heri mengatakan, sejak awal Gerindra memandang APBN 2016 sebagai jalan untuk mencapai sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat. Karena itu, APBN harus disusun dengan sangat teliti dan prudent. Kita memberi perhatian penuh pada beberapa hal krusial dalam rancangan awal APBN 2016, pertama, defisit sebesar 2,15 persen PDB yang harus ditutup dengan utang. Kedua, struktur penerimaan yang kurang realistis, terutama dari pajak yang pada 2015 ini masih di bawah 50 persen.
Ketiga, struktur belanja yang sebagian besar digunakan untuk pembayaran bunga utang dan hal-hal yang bersifat rutin. Keempat, keberpihakan yang belum optimal pada pembangunan ekonomi rakyat secara langsung, termasuk soal penumbuhan UKM dan IKM dan infrastruktur, ujarnya.
Lebih lanjut dijelaskan, secara garis besar evaluasi atas APBN 2016 dapat dilihat dari indikator realisasi triwulan I 2016 vs Target dalam APBN 2016.
"Realisasi inflasi 4,45 persen, target APBN 4,7 persen. Realisasi kurs Rp13.527/USD, target APBN Rp13.900/USD. Realisasi harga minyak USD30,2 /barrel, target APBN USD50/barrel. Realisasi Lifting 785,2 ribu barrel, target APBN 830 ribu barel. Dari indikator tersebut bisa dilihat bahwa mayoritas realisasi APBN 2016 pada triwulan I melenceng dari target yang ditetapkan," ujar mantan Wakil Ketua Komisi VI ini.
Karena itu, sambungnya, perlu dilakukan evaluasi secara menyeluruh. Lebih-lebih asumsi harga minyak sudah melenceng jauh dari asumsi awal.
"Jika tidak segera dilakukan perubahan maka sudah pasti akan mengganggu performa dan kinerja pemerintah. Efeknya akan sampai pada terkoreksinya penerimaan negara secara signifikan. Sebab, pendapatan negara dari sektor perpajakan pasti terkoreksi," ujar pria asal Jawa Barat ini.
Ia juga mengatakan, pajak masih menjadi tulang punggung bangunan APBN 2016. Hampir 80 persen pendapatan negara berasal dari pajak atau sebesar Rp1.360 triliun. Sayangnya, realisasi penerimaan pajak hingga akhir triwulan I 2016 masih belum memenuhi harapan.
"Hingga Februari 2016, realisasi penerimaan pajak baru mencapai Rp122,4 triliun. Idealnya, target penerimaan pajak pada triwulan I itu 25 persen dari target. Lalu, jika melihat pola yang selama ini berjalan, target penerimaan pajak di awal itu haruslah lebih besar. Sebagai misal, triwulan I 2015 mencapai 37,3 persen. Lalu, triwulan I 2014 mencapai 43,7 persen. Sementara itu triwulan I 2013 sebesar 41,5 persen," katanya.
Ia juga menilai, jika realisasi penerimaan pajak tahun 2016 masih seperti ini, kita patut khawatir, hingga akhir tahun, target penerimaan pajak sulit tercapai. Karena itu, pemerintah lewat Dirjen Pajak harus segera melakukan terobosan-terobosan konkret dan nyata. Salah satunya dengan menggenjot PPN, termasuk, mengkaji ulang dan hati-hati wacana tax amnesty.
Menurut Heri, pertumbuhan ekonomi nasional, menurut prediksi pemerintah, akan lebih baik dari tahun lalu yang hanya tumbuh 4,71 persen. Meski begitu, perlu diberikan catatan serius. Dan pertumbuhan tersebut harus menjamin produktifitas sektor-sektor produktif.
“Sebagai contoh, sektor pertanian-peternakan-kehutanan-perikanan yang sementara ini hanya menyumbang 15,4 persen atas PDB. Padahal, jumlah tenaga kerja di sektor-sektor itu masih dominan, di atas 50 persen. Pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan harus sejalan (linear) dengan pencapaian pemerataan kesejahteraan. Pertumbuhan itu tidak boleh lagi hanya dinikmati oleh 20 persen orang terkaya sedangkan 80 persen sisanya rawan tertinggal," ujar Heri.
Secara umum, APBN 2016 beserta segala arah kebijakan di dalamnya, belum maksimal dalam menggenjot penciptaan lapangan kerja riil lewat investasi pemerintah. Lebih jauh, ada paradoks pada masuknya investasi asing selama ini. Investasi asing masuk, tapi serapan tenaga kerja turun. Mengapa? Bukankah itu paradoks? Mestinya, investasi asing yang masuk itu bisa menciptakan lapangan kerja riil. Kalau tidak ada efek positif, buat apa? Apalagi Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) makin lebar, katanya.
"APBN 2016 belum mampu menstimulus pertumbuhan investasi di sektor-sektor strategis seperti pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan yang mengalami pertumbuhan negatif sebesar 8 persen. Padahal, pangsa pasar di sektor-sektor itu lebih dari 80 persen. Di sini dibutuhkan kemauan dan kebijakan yang berpihak, dan negara wajib hadir di dalamnya," kata Politisi Gerindra ini.
Baginya, infrastuktur penting, tapi ada persoalan mendasar yang mesti dijawab oleh sebuah bangunan APBN, yaitu pemerataan pembangunan, kesejahteraan yang berkeadilan, dan penciptaan lapangan kerja yang riil.
"Selama pemerintah masih menjalankan APBN lewat logika ekonomi kapitalis liberal pasar, maka selama itu pula APBN 2016 tidak pernah sampai dan menjadi solusi persoalan yang sesungguhnya. Sekarang, yang terjadi justru gelombang PHK atas nama efisiensi dan adanya 1 persen orang yang ongkang-ongkang kaki sedangkan 99 persen sisanya, sekarat," ujarnya. (Web)