Amazon Pegang Kunci 'Panama Papers'
- www.commondreams.org
VIVA.co.id - Skandal sedang menjadi topik hangat di dunia. Dokumen Panama yang di antaranya mengungkap nama orang-orang ternama di dunia itu, disebut sebagai dokumen paling besar yang pernah terungkap dalam sejarah. Ukuran filenya sekitar 2,6 terabyte.
Dokumen itu diklaim merupakan hasil investigasi 370 wartawan dari 100 organisasi media berbeda yang tersebar di seluruh dunia yang tergabung dalam International Consortium of Investigative Journalists (ICIJ).
Satu per satu fakta seputar Panama Papers terus terkuak. Di luar tokoh yang terlibat dalam dugaan skandal keuangan tersebut, dari sisi teknologi juga terkuak perusahaan yang membobol data Panama Paper, yaitu Nuix.
Nah, selain Nuix, seperti yang dikutip dari International Business Times, Jumat 8 April 2016, Amazon juga punya peran kunci dalam Panama Papers.
Perusahaan ritel online itu disebutkan menyimpan 11 juta dokumen bocoran Panama Papers. Diketahui, ICIJ mengunggah data 2,6 terabyte ke pusat data komputasi awan (cloud) milik Amazon, yaitu Amazon Web Service. Hal itu dikonfirmasi oleh Mar Cabra, kepala Unit Riset dan Data ICIJ.
Cabra mengatakan, data Panama Papers terenkripsi, tapi hanya bisa diakses dan dicari oleh kelompok 400 jurnalis tertentu untuk saat ini.
Dengan posisi seperti ini, yang menjadi pertanyaan adalah apakah nantinya Amazon akan menyerahkan “data panas” tersebut kepada penegak hukum AS atau luar negeri saat memintanya. Sejauh mana Chief Executive Officer (CEO) Amazon, Jeff Bezos bisa mempertahankan atau memaksa membuka dokumen dugaan skandal itu untuk kepentingan penegakan hukum, juga menjadi pertanyaan.
Terkait hal ini, pakar keamanan internasional mengatakan, tidak ada jawaban yang jelas tentang cakupan yurisdiksi situasi tersebut. Sebab, data rinci Panama Papers berisi aktivitas offshore politikus dan tokoh dari setidaknya 50 negara. Sementara itu, divisi komputasi awan Amazon beroperasi hanya di puluhan wilayah.
"Ini belum menjadi jawaban yang jelas dalam hal siapa yang mengakses atau mendorong produksi Panama Papers," ujar Albert Gidari, direktur Privasi Stanford Center for Internet and Society.
Masalahnya, di masa lalu, penegak hukum sudah pernah memaksa perusahaan AS untuk membuka sebuah data yang diperlukan. Tapi, Gidari mengatakan, permintaan ini tidak serta merta langsung dituruti. Sebab, di masa lalu, penegak hukum AS memaksa perwakilan perusahaan asing yang beroperasi di AS untuk membuka data.
"Tapi, banyak perusahaan yang telah memblokir dan meminta permintaan data dilakukan melalui prosedur yang formal," ujar Gidari.
Belum lagi, kata dia, problem soal permintaan data yang mana lokasinya di luar yurisdiksi Amerika Serikat.
Namun, Robert Chesney, direktur Strauss Center for International Security and Law di University of Texas, AS punya pandangan lain. Bagi dia, ada skenario yang memungkinkan pemerintah asing bisa datang ke pengadilan AS untuk mencoba meminta dokumen tersebut.
Tapi, mekanisme ini disebutkan kompleks, yaitu membutuhkan traktak bilateral yang kadang melibatkan meminta bantuan pengadilan dari luar negeri.
"Saya akan katakan ini adalah memungkinkan, khususnya dengan apa yang tampak dalam penyelidikan kriminal asing, untuk mendapatkan bantuan tersebut. Tapi itu rumit dan lambat," ujar Chesney.
Juru bicara Amazon Web Service sejauh ini enggan memberikan komentar termasuk dua anggota dari ICIJ, terkait kabar tersebut. (ren)