Credit Suisse dan HSBC Tolak Tuduhan Panama Papers

Kantor HSBC
Sumber :
  • REUTERS/Peter Nicholls

VIVA.co.id - Credit Suisse dan HSBC, dua manajer keuangan terbesar di dunia, membantah laporan Panama Papers, yang menyatakan mereka secara aktif menggunakan perusahaan bebas pajak (offshore) untuk membantu kliennya menghindari pajak.

Dilansir CNBC, Rabu 6 April 2016, kedua bank tersebut mengeluarkan pernyataan, setelah bocornya data dari firma hukum Mossack Fonseca, yang khusus membantu mendirikan perusahaan offshore.

CEO Credit Suisse, Tidjane Thiam, yang secara agresif menyasar orang-orang kaya Asia, mengatakan banknya hanya mengejar aset-aset sah.

"Kami sebagai perusahaan, sebagai sebuah bank, hanya mendorong penggunaan perusahaan-perusahaan ketika ada tujuan ekonomi sah," kata Thiam.

Secara terpisah, HSBC menyebut dokumen-dokumen Panama Papers sudah kadaluarsa dan dalam beberapa kasus bertanggal 20 tahun silam, sebelum reformasi bisnis perusahaan.

"Tuduhan tersebut bersejarah, dan dalam beberapa kasus kembali ke 20 tahun silam, sebelum reformasi diimplementasikan dalam beberapa tahun terakhir. Kami tidak mentolerir praktik untuk menghindari pajak," kata Gareth Hewett, juru bicara HSBC yang berbasis di Hong Kong.

Pada Mei 2014, Credit Suisse setuju untuk membayar denda US$2,5 miliar, karena membatu miliarder-miliarder Amerika Serikat menghindari pajak. Beberapa perusahaan manajer kekayaan berbasis di Swiss, seperti UBS Group AG, juga harus membayar denda di AS untuk alasan yang sama.

Sedangkan HSBC setuju membayar denda US$1,92 miliar pada 2012, terutama karena memungkinkan banknya digunakan untuk pencucian uang haram narkoba, yang mengalir keluar dari Meksiko. 

Kasus pajak dengan AS ini membuat perombakan radikal dalam perbankan swasta Swiss, mendorong pengetatan standar kepatuhan pajak global, dan menyebabkan arus keluar dana besar-besaran dari rekening bank Swiss.

Sebagai informasi, Panama Papers terungkap melalui penyelidikan dari International Consortium of Investigative Journalists (ICIJ). Laporan ini mengungkapkan keterlibatan nama-nama individu, politikus, dan tokoh masyarakat, termasuk teman-teman Presiden Rusia, Vladimir Putin, kerabat dari  perdana menteri Inggris, Islandia, Pakistan, dan presiden Ukraina. (asp)