Kasus Suap Reklamasi dan Dilema Pebisnis Indonesia

Suasana di kawasan Pluit di sekitar lokasi reklamasi pantai utara Jakarta
Sumber :
  • VIVA.co.id/ Danar Dono

VIVA.co.id – Kasus suap reklamasi pantai yang merebak saat ini, dinilai tidak terlepas dari oknum yang sengaja memperkeruh dalam tarik menarik kepentingan. 

Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch (IPW), Ali Trangandha mengatakan, kepentingan golongan sering menjadi landasan dalam pengambilan sebuah keputusan, yang bahkan sangat strategis bagi kemajuan negara.

"DPRD yang seharusnya menjadi partner (mitra) dalam membangun negara untuk lebih baik, menjadikan pengembang sebagai sapi perahan oleh politisi busuk untuk mencoba peluang sebagai proyek basah dana bancakan," ujar Ali, Senin, 4 April 2016.

Menurutnya, para pelaku bisnis menjadi dilema, saat dihadapkan pada kenyataan bahwa berbisnis di Indonesia tidak terlepas dari uang-uang siluman dan suap. 

Seperti diketahui, pada kasus suap anggota DPRD DKI Jakarta terkait pembahasan dua Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) DKI Jakarta, Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan tiga tersangka.

Mereka antara lain adalah Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land Tbk (PT APL), Ariesman Widjaja; Karyawan PT APL, Triananda Prihantoro, serta Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta, Mohamad Sanusi.

Raperda yang dimaksud, yakni Raperda tentang Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Provinsi Jakarta 2015-2035 dan Raperda tentang Rencana Kawasan Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Jakarta Utara.

Ali menjelaskan, kasus tersebut menjadi menarik, mengingat reklamasi pantai di Jakarta telah dilakukan beberapa tahun yang lalu. Bahkan, belum ada ketentuan mengenai hal tersebut ketika dibangunnya Pantai Mutiara di sana.

Namun, ungkapnya, ketika para pengembang beramai-ramai ingin membangun reklamasi, mulailah dibuat ketentuan yang lebih mengikat untuk menghindari masalah lingkungan dan tata ruang ke depan. 

"Pasal yang dijadikan ajang korupsi sebenarnya tidak hanya pasal mengenai kewajiban pengembang semula 15 persen menjadi lima persen, namun juga terkait zonasi peruntukan yang harus disiapkan dalam tata ruang," paparnya.

Ali menilai, di luar ada tidaknya praktik korupsi, reklamasi pantai merupakan sebuah alternatif di tengah lahan yang terbatas di DKI Jakarta. 

"Reklamasi tidak harus menjadikan sebuah ketakutan, melainkan sebuah alternatif peluang seperti yang terjadi di Singapura, Hongkong, dan negara lain yang dapat meningkatkan nilai sebuah kota," tuturnya. 

Dia menambahkan, sangat naif bila menilai pembangunan reklamasi nantinya akan merusak, karena tentunya akan banyak hal perencanaan sebelum reklamasi dilakukan terkait kekuatan tanah, perencanaan saluran air laur, pembaruan ekosistem, dan lainnya. (asp)