Menakar Efektivitas Paket Ekonomi Versi Pengusaha
Kamis, 31 Maret 2016 - 16:49 WIB
Sumber :
- VIVA.co.id/Muhamad Solihin
VIVA.co.id - Pemerintah telah merilis paket kebijakan ekonomi jilid XI yang terfokus pada empat poin. Di antaranya adalah kredit usaha rakyat (KUR) berorientasi ekspor, penurunan pajak penghasilan (PPh) final dana investasi real estate (DIRE) dan tarif bea perolehan atas hak tanah dan bangunan (BPHTB).
Kemudian, pemangkasan waktu bongkar muat kapal di pelabuhan atau dwelling time, sampai dengan penyusunan roadmap action plan pengembangan industri farmasi dan alat kesehatan, demi mengembangkan riset farmasi dan alat kesehatan.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Haryadi Sukamdani, mencoba membedah satu per satu insentif yang diberikan pemerintah untuk kembali menggairahkan ekonomi nasional.
Intinya, kata dia, tergantung dari langkah pemerintah dalam mengimplementasikan kebijakan tersebut. “Secara prinsip bagus, hanya nanti kami bicara tatanan eksekusi,” ujar Haryadi, saat berbincang dengan VIVA.co.id, Kamis, 31 Maret 2016.
Untuk penyaluran KUR berorientasi ekspor, Haryadi menilai, implementasi dari kebijakan ini tidak hanya akan dirasakan oleh para pelaku UKM, melainkan juga akan memperbaiki mata rantai ekspor dalam negeri.
Baca Juga :
“Supply chain akan bergerak, karena memang UKM ini juga bagian dari mata rantai ekspor. Jadi, sekarang sudah bisa dirangkum,” kata Haryadi.
Di sektor farmasi dan alat kesehatan, penyusunan roadmap action plan tersebut mampu menjaga ketersediaan bahan baku yang selama ini dibutuhkan di sektor tersebut. Meski begitu, pemerintah tetap harus memperhatikan masalah lain yang berpotensi menghambat.
“Misalnya soal kredit untuk sektor farmasi. Kami harus antisipasi likuiditas, karena kami tidak tahu apakah di bank masih ada ruang menambah kapasitas kredit,” katanya.
Sementara itu, untuk DIRE, Haryadi menilai, pemangkasan tarif PPh final dan tarif BPHTB tersebut memang menarik bagi sebagian kalangan.
Namun, diakuinya, tidak semua para pelaku usaha menaruh minat di sektor tersebut.
“Kalau menghitung EBITDA (laba sebelum bunga, pajak, depresiasi, dan amortisasi), padahal pasar tanah mahal, banyak yang tidak mau ikut. Kecuali, sifatnya sewa jangka panjang,” ujarnya.
Meski begitu, upaya pemerintah untuk memperlancar arus barang di pelabuhan, diakui Haryadi, menjadi salah satu masalah klasik yang hingga saat ini tidak bisa diselesaikan, meskipun beberapa waktu yang lalu kebijakan serupa telah diterapkan.
“Dwelling time ini masalah klasik. Bolak balik diomongin, tapi tetap mahal,” tutur Haryadi.
Lalu, seberapa besar kebijakan-kebijakan ini menjadi senjata andalan pemerintah untuk menggairahkan kembali pertumbuhan ekonomi domestik? Haryadi menegaskan, eksekusi akhir menjadi sesuatu hal yang dibutuhkan saat ini. “Bisa cepat, asal eksekusi juga cepat,” katanya.