83% Pelaku Industri Keuangan Takut Tergerus Teknologi

Ilustrasi laporan keuangan
Sumber :
  • HaloMoney

VIVA.co.id - PricewaterhouseCoopers (PwC) mengamati munculnya teknologi di sektor jasa keuangan/financial services (FS) dan dampaknya terhadap pemain di industri jasa keuangan.

Terungkap, 83 persen institusi jasa keuangan tradisional meyakini bahwa sebagian dari lahan bisnis mereka akan direbut oleh perusahaan jasa teknologi keuangan/financial technology (FinTech). Persentase tersebut, diyakini akan terus meningkat hingga level yang mencengangkan, yaitu sebesar 95 persen bagi sektor perbankan.

Hasil dari survei yang dirilis hari ini, Rabu 16 Maret 2016, bertajuk ‘Blurred Lines: How FinTech is shaping Financial services’, memuat pendapat yang diberikan oleh 544 CEO, Pemimpin Bagian Inovasi, CIO, dan pejabat tinggi manajemen yang terlibat dalam transformasi digital dan teknologi di seluruh industri jasa keuangan di 46 negara. 
 
Lembaga keuangan tradisional meyakini pula bahwa 23 persen bisnis mereka terancam dengan berkembangnya FinTech. Perusahaan teknologi juga diprediksi akan dapat merebut 33 persen bisnis lembaga keuangan tradisional. Industri perbankan dan pembayaran adalah yang paling terancam oleh FinTech
 
Survei ini menunjukkan bahwa industri perbankan dan pembayaran adalah industri yang paling merasakan tekanan dari perusahaan FinTech. Responden dari industri transfer dana dan pembayaran memprediksi, dalam lima tahun ke depan, mereka dapat kehilangan 28 persen pangsa pasar karena FinTech.
 
Sementara itu, para bankir mengestimasikan mereka akan kehilangan 24 persen pangsa pasar. Sedangkan responden dari kalangan pengelolaan aset dan kekayaan dan asuransi masing-masing akan kehilangan pangsa pasar sebesar 22 persen dan 21 persen.
 
***
 
Ancaman utama FinTech
 
Dua pertiga, atau 67 persen perusahaan jasa keuangan menempatkan tekanan pada margin laba sebagai ancaman utama yang berkaitan dengan FinTech, yang kemudian diikuti dengan berkurangnya pangsa pasar sebesar 59 persen.
 
Salah satu cara yang dilakukan FinTech, sehingga mendukung kekhawatiran akan tekanan terhadap margin laba adalah melalui inovasi peningkatan efisiensi biaya operasi. Misalnya, perpindahan ke platform berbasis cloud tidak saja mengurangi biaya yang dikeluarkan di muka, namun juga mengurangi biaya infrastruktur.
 
Tantangan bagi perusahaan FinTech dan tradisional
 
Survei PwC menunjukkan, bentuk kolaborasi terbanyak dengan perusahaan FinTech adalah kemitraan bersama yaitu sebesar 32 persen, menurut PwC, merupakan indikasi bahwa firma FS belum siap untuk mempertaruhkan segalanya dan masih ragu berinvestasi penuh pada FinTech.
 
Ketika ditanya tentang tantangan yang dihadapi dalam menangani perusahaan FinTech, 53 persen lembaga FS tradisional menyebut keamanan teknologi informasi (TI), ketidakpastian dari segi peraturan sebesar 49 persen dan perbedaan model bisnis 40 persen dari responden.  
 
Dari sudut pandang perusahaan FinTech, perbedaan manajemen dan budaya 54 persen, proses operasional 47 persen dan ketidakpastian dari segi peraturan sebesar 43 persen, merupakan tiga tantangan utama ketika berhadapan dengan firma FS tradisional. 
 
***
Asia FinTech Leader di PwC, John Shipman berpendapat, FinTech mengubah industri jasa keuangan di masa depan. PwC mengestimasikan, dalam waktu 3-5 tahun ke depan, investasi kumulatif dalam skala global pada FinTech dapat melampaui US$150 miliar, dan perusahaan lembaga keuangan dan teknologi berusaha mengungguli satu sama lain agar dapat bermain di pasar. 
 
"Seiring dengan semakin kaburnya garis pembatas antara jasa keuangan tradisional, firma teknologi dan perusahaan telekomunikasi, akan semakin banyak solusi inovatif yang muncul dan jelas terlihat bahwa tidak ada solusi yang dapat langsung menyelesaikan masalah dalam menghadapi era FinTech ini," kata Shipman dalam keterangan pers yang diterima VIVA.co.id, Rabu 16 Maret 2016. 
 
Manoj Kashyap, Global Financial Services FinTech Leader PwC menyimpulkan, era FinTech menggeser paradigma peran penengah tradisional menjadi usang. Sementara itu, selama ini lembaga FS selalu bertindak sebagai penengah dalam sistem keuangan dengan memberikan jasa yang berharga kepada klien, fungsi mereka tergantikan oleh model bisnis yang digerakkan oleh teknologi. 
 
"Mengingat perkembangan teknologi yang begitu cepat, lembaga FS tradisional tidak lagi dapat mengabaikan FinTech. Meskipun demikian, survei kami menunjukkan hasil yang tak dapat diabaikan, bahwa 25 persen perusahaan tidak berurusan dengan FinTech sama sekali. Mengingat semakin tingginya kecepatan perubahan yang terjadi, tidak ada perusahaan FS yang dapat bersantai-santai.” tambahnya
 
Sementara itu, Senior Advisor, Strategy & SEAC, Indonesia dan Kuala Lumpur, David Hovenden menilai, adanya pertumbuhan minat yang kuat di Indonesia, meskipun kemajuan riil masih lamban terhadap FinTech, di antara lembaga keuangan lainnya. 
 
Menurutnya, sejumlah bank terbesar telah berupaya aktif, mempertimbangkan peluang untuk memanfaatkan para pemain FinTech dalam rantai nilai tambah mereka.  
 
"Namun, minat ini menunggu kepastian aturan yang dikeluarkan oleh OJK (Otoritas Jasa Keuangan) dan bagaimana mereka akan menanggapi disintermediasi dari pemain FinTech yang beroperasi di luar sistem yang telah diatur," ungakapnya. (asp)