Restorasi Gambut Harus Dilakukan Pemerintah Bukan LSM
Rabu, 9 Maret 2016 - 14:31 WIB
Sumber :
- VIVA.co.id/Facebook
VIVA.co.id - Pendanaan asing baik hibah maupun pinjaman untuk kegiatan Badan Restorasi Gambut (BRG) harus menjadi kebijakan Government to Government (G to G).
Pengamat ekonomi Aviliani, mengatakan, kebijakan G to G menjamin penguatan transparansi dan akuntabilitas. Sementara itu, pendanaan langsung kepada kelompok tertentu dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) lingkungan harus dihindari agar tidak menimbulkan kontroversi. Apalagi, banyak LSM lingkungan tidak memiliki kredibilitas untuk mengelola dana tersebut.
Aviliani juga meminta pemerintah mengumumkan nama-nama LSM terlibat dalam kegiatan restorasi tersebut. "Masalahnya, banyak LSM yang tidak kredibel di sekitar pemerintahan. Mereka kerap mengatasnamakan lingkungan, namun mengusung kepentingan lain,” kata Aviliani di Jakarta, Rabu, 9 Maret 2016.
Menurut Aviliani, pemerintah tidak boleh mengabaikan peran dunia usaha yang telah menginvestasikan dana cukup besar pada kegiatan sosial dan lingkungan.
"Jauh sebelum BRG berdiri, dunia usaha seperti industri kepala sawit dan hutan tanaman industri (HTI) telah membantu kehidupan sosial masyarakat dan merehabilitasi kawasannya," tuturnya.
Baca Juga :
Contoh Malaysia
Pemerintah Indonesia bisa mencontoh Malaysia dalam mengelola dana dan kegiatan restorasi gambut.
Direktur Tropical Peat Research Laboratory (TPRL) Malaysia, Lulie Melling mengatakan, semua kegiatan pemanfaatan lahan perkebunan di Malaysia diatur pemerintah agar terintegrasi.
Pemerintah juga menaruh perhatian tinggi dan mendanai riset pemanfatan lahan untuk menjaga keseimbangan ekologi dan ekonomi. Semua kegiatan riset berlangsung dalam perencanaan jangka panjang yang hasilnya dihormati bersama.
Itu berarti, ketika pemerintah memberi izin konsesi, pemerintah juga melindungi kegiatan korporasi tersebut dari semua gangguan, termasuk kampanye hitam LSM yang juga marak di Malaysia.
"Pemerintah sangat memproteksi korporasi karena teruji dan memberi dampak bagi pertumbuhan ekonomi. Malaysia tiga kali terselamatkan dari krisis ekonomi karena peran industri perkebunan,” kata Lulie Melling.
Sementara itu, pengamat lingkungan dan kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB), Ricky Avenzora sependapat jika pendanaan BRG yang bersumber dari negara donor perlu diamati serta diawasi aturan mainnya.
Jangan sampai negara dan bangsa diatur bangsa asing serta kemudian dijerat utang. Indonesia harus belajar dari pengalaman Reducing Emission from Deforeststasion and Forest Degradation (REDD).
“Saya yakin Presiden Jokowi sangat paham duduk perkara kegagalan REDD,” kata Ricky.
Menurut Ricky, bukti keberhasilan dalam proses rehabilitasi hutan justru ditunjukkan perusahaan sawit dan HTI. Berbagai areal terbengkalai berupa padang alang-alang, semak belukar, ataupun hutan sekunder muda berhasil dihijaukan kembali oleh perusahaan sawit dan HTI. Keanekaragaman hayati juga terus ditingkatkan melalui skema kewajiban high conservation value (HCV) dan berbagai sertifkasi lingkungan terkait.
Diutarakannya, untuk mewujudkan hal tersebut, sebaiknya pemerintah merangkul perusahaan-perusahaan terkait. Potensi finansial berbagai perusahaan sawit dan HTI di Indonesia jauh lebih dari cukup untuk menghijaukan semua kawasan hutan yang terbengkalai selama ini.
"Perlu kita ingat bahwa beban negara bukan hanya mencakup dua juta hektare yang menjadi tanggung jawab BRG, melainkan mencapai 37 juta hektare, yang rusak karena kekeliruan politik lingkungan pada masa lalu,” kata dia.