Komposisi TKDN Diatur Ulang, Produsen Ponsel Protes
- VIVA.co.id/Suryanta Bakti Susila
VIVA.co.id – Kementerian Perindustrian akan mengatur ulang penghitungan porsi Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) untuk smartphone 4G LTE. Sayangnya, langkah ini tidak disambut baik oleh para produsen ponsel yang mengaku sudah mengeluarkan banyak biaya guna membangun pabrik, demi memenuhi aturan TKDN yang sudah ditetapkan sebelumnya.
Dalam penghitungan baru itu dibuat lima skema komposisi TKDN smartphone 4G LTE. Skema pertama berupa 100 persen TKDN perangkat keras (hardware) dan nol persen perangkat lunak (software). Kedua, 75 persen hardware dan 25 persen software. Ketiga, 50 persen hardware dan 50 persen software. Keempat, 25 persen hardware dan 75 persen software. Terakhir adalah nol persen hardware dan 100 persen software.
Pemain di industri manufaktur ponsel, yang tergabung dalam Asosiasi Industri Perangkat Telematika Indonesia (AIPTI), menganggap pemerintah tidak konsisten dengan aturan yang sudah dibuat sebelumnya, khususnya terkait dengan empat skema terakhir.
Menurut mereka, dengan mengatasnamakan nasionalisme, para anggota AIPTI sudah kadung mengeluarkan investasi besar demi mematuhi peraturan yang ada. Namun dengan revisi berupa pilihan skema ini, pemerintah dianggap memberikan kelonggaran bagi vendor untuk mengimpor ponsel dalam bentuk barang jadi dan mengaburkan definisi TKDN.
"Regulasi yang mendorong ponsel untuk 100 persen dibuat di Indonesia, pada awalnya, membebani vendor dengan kenaikan biaya produksi tiga sampai 10 persen dibanding dengan impor barang jadi, yang bea-nya nol persen,” Ketua Umum AIPTI, Ali Soebroto, kepada VIVA.co.id di Jakarta, Senin, 29 Februari 2016.
Ali mengatakan jika diberlakukan skema hardware nol persen dan software 100 persen. Maka ponsel bisa diimpor dalam bentuk barang jadi, lalu dengan memasukkan satu aplikasi saja maka dianggap TKDN-nya sudah terpenuhi tanpa harus memproduksi di Tanah Air.
Oleh karena itu, AIPTI berharap kebijakan yang mewajibkan vendor untuk membuat pabrik atau bekerja sama dengan manufaktur ponsel di Indonesia tetap dan tidak berubah. Lagipula, menurut Ali, TKDN software aplikasi tidak berwujud dan cost base-nya tidak besar seperti TKDN manufaktur.
"Bagi kami definisi TKDN hanya terdiri dari unsur manufaktur 80 persen dan pengembangan 20 persen. Penggabungan TKDN software aplikasi ditiadakan karena Kemenperin hanya membina perusahaan yang melakukan kegiatan memproses atau mengolah barang dengan menggunakan sarana dan peralatan, mesin,” kata dia.
Sedangkan software aplikasi, ujar Ali, tidak berwujud dan tidak membutuhkan sarana dan peralatan mesin (fixed asset) dan dijalankan oleh beberapa atau sekelompok kecil orang.
Menurut Ali, jika skema itu tetap dijalankan, sama saja menunjukkan ketidakkonsistenan pemerintah dengan memberikan kelonggaran bagi vendor untuk mengimpor ponsel dalam bentuk barang jadi. Dengan kata lain, ponsel 4G bisa masuk pasar Indonesia dengan memenuhi TKDN hanya melalui software aplikasi saja tanpa membutuhkan industri manufakturnya
"Draf kebijakan ini melenceng jauh dari tujuan mulia kesepakatan para menteri terdahulu di Kominfo dan Perindustrian dan Perdagangan, yang menginginkan industri ponsel berdiri di Indonesia dan Indonesia menjadi pemain industri ponsel dunia," katanya.
Peluang bukan kelonggaran
Dihubungi melalui telepon, Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika, I Gusti Putu Suryawirawan, membantah jika skema tersebut ditawarkan untuk memberikan kelonggaran. Menurutnya, skema ini justru memberikan memberikan dan membuka kesempatan yang luas bagi pemain industri.
"Skema itu kan ada lima dan mereka bisa memilih. Saya tidak ingin TKDN dipakai untuk persaingan usaha. Skema ini justru memberikan kesempatan, bukan kelonggaran. Jangan sampai TKDN ini bernasib sama seperti Mobnas. Bukan pengusaha yang akan berhadapan dengan WTO (World Trade Organization) nantinya, tapi pemerintah," ujar Putu.
Selain itu, dia juga menegaskan, jika hitungan TKDN software aplikasi akan ditentukan, tidak hanya asal meletakkan satu atau dua aplikasi lokal saja pada smartphone. Bahkan untuk memberikan pemahaman mengenai tata cara penghitungan TKDN, Kemenperin berencana mengadakan workshop dalam waktu dekat.
"Itu (TKDN software aplikasi) ada hitung-hitungannya. Lagipula software aplikasi (apps) itu membuka kesempatan kepada anak bangsa untuk bisa berkembang. Kita harus mendukung anak-anak bangsa. Kalau dibandingkan dengan pembangunan pabrik, memangnya mereka benar-benar membangun pabrik? Kan hanya perakitan," katanya.
Pembatasan impor ponsel dan kewajiban vendor membangun pabrik tertuang dalam Permendag 38 dan 82 tahun 2013. Tiga tahun lalu, menurut pemaparan AIPTI, Indonesia mengimpor 100 persen ponsel dari luar negeri yang nilainya cukup besar. Ini menyebabkan negara mengalami perdagangan defisit karena devisa impor lebih besar daripada ekspor.
Menteri Perdaangan dan Menteri Perindustrian kala itu, Gita Wiryawan dan MS Hidayat, bekerja sama mengeluarkan Permendag 38 dan 82 untuk membatasi impor ponsel 2G serta 3G dan mewajibkan vendor ponsel membangun pabrik atau bekerja sama dengan manufaktur dalam waktu tiga tahun agar di tahun 2016 semua ponsel sudah diproduksi di Indonesia.