Klaim Temukan Obat Virus Zika, Peneliti 'Tersandung' Hukum

Para peneliti mengeluhkan hukum baru di Brasil soal sampel virus Zika
Sumber :
  • inmagine

VIVA.co.id – Tim peneliti kesehatan Amerika Serikat (AS) dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengeluhkan aturan hukum Brasil yang tak memberikan akses ‘sampel segar’ Virus Zika. Padahal, penelitian lebih lanjut berguna untuk memerangi wabah yang kini mulai tersebar luas di negaranya tersebut.
 
Brasil sendiri, baru-baru ini membuat regulasi yang mencegah penelitinya untuk berbagi materi genetik, termasuk sampel darah. Karena terbilang baru, aturan tersebut masih belum tertulis.
 
Laman Breitbart.com, Selasa, 9 Februari 2016, merangkum curhatan para peneliti, dikarenakan regulasi baru Brasil itu. "Memiliki sedikit (sampel), menghambat kemampuan mereka bekerja untuk melacak evolusi virus," tulis laman itu.
 
Kekurangan sampel membuat peneliti sulit menghubungkan antara Zika dan akibat cacat pada lahir.
 
Ada pula peneliti yang mulai menyerah, bukan hanya pasokan sampel yang menjadi kendala. Namun, peneliti katakan, tidak ada vaksin yang efektif untuk membasmi virus Zika. Adapula yang mencurigai, adanya oknum yang menyelundupkan sampel dari Brasil.
 
Saat ini, menurut Pusat Pengendalian Penyakit (CDC) AS, para peneliti hanya bekerja dengan strain Zika yang diambil dari wabah di Polinesia Prancis 2013 lalu. Sedangkan Inggris, menggunakan sampel dari wabah di Mikronesia, bahkan lebih lama lagi, yaitu tahun 2007.
 
Atas keluhan para peneliti tersebut, akhirnya, Brasil pun bersedia mengirimkan satu set sampel Zika ke Amerika Serikat.
 
Pernah Terjadi di Indonesia
 
Seperti itulah, para peneliti menggambarkan, akan pentingnya 'sampel segar' untuk keperluan riset. Namun, ternyata kasus serupa juga pernah terjadi di Indonesia.
 
Di mana peneliti juga merasa kerepotan dengan regulasi atau campur tangan pemerintah. Di mana lebih dari satu dekade lalu, WHO menghadapi masalah ketika Indonesia menolak untuk menyerahkan sampel flu.
 
Indonesia menolak dengan alasan para ilmuwan Barat akan menggunakannya untuk membuat obat-obatan dan vaksin sehingga negara miskin tak mampu membelinya. (ren)