Saya Berhadapan dengan Pembunuh Massa Berencana
- Purna Karyanto
VIVA.co.id - Siapa yang tak kenal Komisaris Jenderal Budi Waseso. Namanya tenar sepanjang 2015. Bukan hanya karena dia Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN), tetapi sikap tegas yang dimilikinya, membuat semua orang mendadak memperhatikan Buwas, sapaan Budi Waseso.
Awal mula tenar pada 2015, ketika Buwas tiba-tiba diangkat menjadi kepala Badan Reserse Kriminal Mabes Polri, menggantikan Komisaris Jenderal Suhardi Alius. Sepanjang menjabat sebagai orang nomor satu di reserse Polri itu, gerak-gerik Buwas disorot.
Pria berusia 54 tahun kelahiran 19 Februari 1961 ini disorot lantaran dikait-kaitkan dengan wakil kepala Kepolisian Republik Indonesia, Budi Gunawan. Buwas dianggap sebagai tangan kanannya setelah banyak mendampingi Budi Gunawan ketika dia dicalonkan menjadi kapolri.
Puncak karier Buwas di Bareskrim Polri yakni berani menindak tegas ketua dan wakil ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Abraham Samad dan Bambang Widjojanto. Aksi Buwas dan anak buahnya ketika itu memancing perseteruan antara kedua lembaga, yakni Polri dan KPK, bahkan sempat disebut Cicak vs Buaya jilid III.
Meski dicap sebagai “perusuh”, Buwas tak gentar. Anggota polisi lulusan akademi polisi tahun 1984 ini malah makin naik daun. Dia semakin menunjukan prestasinya dalam setiap pengungkapan kasus narkoba yang tengah jadi tanggung jawabnya sekarang.
Tim VIVA.co.id baru-baru ini berkesempatan mewawancarai Buwas secara langsung di kantornya di kawasan Cawang, Jakarta Timur. Dalam wawancara tersebut, Buwas blak-blakan menceritakan mulai dari kehidupan pribadi hingga karier di kepolisian. Berikut petikan wawancaranya:
Kalau boleh tahu, sebenarnya apa cita-cita Anda?
Ya, saya ini kan cita-cita dari dulu menjadi polisi. Saya dari keluarga TNI Angkatan Darat. Tapi, pada akhirnya, saya sudah memilih profesi sebagai polisi. Sebenarnya hanya bertanggung jawab saja pada polisi, itu pilihan saya.
Karena di kala hidup ini pilihan, Siapa pun manusia, di kala sudah memilih hidupnya itu adalah pilihannya dia. Jadi, dia harus bertanggung jawab, karena kan pilihan itu tidak dipaksa atau terpaksa. Dan sekarang kita harus bisa membuktikan bahwa pilihan kita itu tidak salah. Dengan apa? Ya, kita kerja benar, kerja keras. Tidak lagi membanding-bandingkan dengan yang lainnya, gitu. Ya, itulah saya sebenarnya.
Orangtua dari kesatuan TNI, kenapa tidak mengikuti? Apa alasannya untuk lebih memilih polisi?
Saya kan hidup dari kecil dengan situasi di militer, ceritanya dulu kan anak kolong lah ya. Nah, mungkin ada faktor kejenuhan. Lalu, juga ingin melihat hal yang lain. Kalau zaman dahulu, hidup di asrama militer itu tidak bergaul dengan masyarakat, tidak seperti sekarang. Dulu itu kan mereka terisolir betul, jauh dari mana-mana dan tidak mudah bergaul.
Kita dalam lingkungan asrama keluar masuk harus ada penjagaan, melewati penjagaan, sehingga pada saat itu, saya mungkin berpikiran. Bukan hanya saya, tetapi semua putra-putranya ayah saya, berpikiran keluar lingkungan seperti itu.
Saya pada saat itu salah satunya kan melihat, ayah saya itu, kan salah satu profesi yang dia tidak suka kan polisi. Karena zaman dulu, polisi selalu diartikan dengan kegiatan yang negatif. Perilakunya, pekerjaannya, dulu terkenal pada zamannya ayah saya itu prit jigo.
Artinya, priiiiiit terus jigo (Rp25 ribu). Dan sebenarnya, itu yang menjadi salah satu rasa penasaran saya. Memang ada apa di kepolisian itu. Kok seperti itu. Citranya kok negatif. Itu mungkin yang menjadi salah satu pemicu saya untuk ingin tahu. Akhirnya, pada saat itu saya memilih jadi polisi.
Pada saat itu didukung ayah?
Enggak.
Lalu, bagaimana Anda menjalankannya?
Ya enggak apa-apa. Karena kan ayah saya kan prinsipnya begini, hidup itu pilihan. Ayah saya itu orang yang demokratis loh, walaupun keras. Tapi, di kala putranya sudah memilih, dia hanya menekankan. Ini adalah pilihanmu dan kamu telah memilih hidupmu dengan jalan ini, jalanmu. Sekarang tunjukkan, kamu harus bertanggung jawab dengan pilihanmu.
Bertanggung jawab itu dengan bekerja keras, kata ayah saya. Dan hasilnya harus bagus. Karena itu, tanggung jawab yang memilih. Ayah saya selalu bilang, tunjukkan pada saya bahwa pilihanmu itu benar.
Apakah sekarang sudah dapat jawaban dari penasaran dengan polisi?
Ya sudah. Polisi ini kan satu institusi, di mana institusi pekerjaannya bersentuhan langsung dengan masyarakat. Beda dengan TNI. Sehingga orang yang bersentuhan dengan masyarakat itu langsung dirasakan, langsung dilihat. Polisi kan manusia, ada berbagai macam sifat, pikiran, dan macam-macam.
Di kala satu saja berbuat, itu hukumannya pada institusi. Umpamanya, saya seorang anggota polri, saya melakukan pemerasan terhadap masyarakat dan melakukan penyimpangan, penyalahgunaan wewenang, itu nanti berhadapannya langsung kepada masyarakat.
Jadi, dirasakan masyarakat dan itu akan berdampak langsung. Itu yang sebenarnya terjadi di Polri. Makanya gini, saya selalu bilang, Polri ini tugas mulia sebenarnya. Kenapa? Karena dia aparat penegak hukum untuk menciptakan ketertiban dan keamanan, kenyamanan seluruh manusia yang ada di Bumi ini. Atau di negara ini, atau di lingkungannya. Di kala kita tidak bisa berbuat seperti itu, berarti kita tidak bekerja.
Karena yang dirasakan masyarakat, ada polisi, tapi kok tidak aman, contohnya itu saja. Itu yang dirasakan masyarakat, tidak salah kalau masyarakat itu komplain. Komplain pada polisi. Misalnya, percuma ada polisi tetapi tidak aman, tidak nyaman.
Itu yang saya bilang, kita menilai hasil kerja kita itu, ya di situ. Jadi, seorang polisi itu ya harus bisa berbuat terhadap masyarakat. Itu risikonya. Karena, abdi negara itu pengabdian. Artinya, kita mengabdi. Mengabdi untuk siapa? Untuk bangsa dan negara ini, berarti warga di daerah juga, berarti masyarakat juga, kan sederhananya begitu.
Jadi, masyarakat ini seperti tuan kita lah ya. Jadi, yang diharapkan masyarakat ini, ya seperti kita lah. Kalau jadi pembantu rumah tangga misalnya, tuannya minta dibikinin kopi, tapi dibikinkan teh, perotes enggak kira-kira? Protes kan. Seperti itu lah sebenarnya cara pemahamannya, sederhana.
Jadi, kalau masyarakat menginginkan polisi itu “A” tentunya masyarakat “A” itu didasarkan oleh perasaan mereka. Yang ingin dirasakan oleh mereka. Tiba-tiba kita “B”, nah kan enggak bisa, itu pemahaman yang sederhana sebenarnya.
Prinsip demokrasi dari orangtua, apakah Anda terapkan ke anak-anak sekarang? Misalnya, tidak harus jadi polisi?
Enggak harus jadi polisi juga. Saya juga melihat itu ya. Karena apa, justru saya lihat keberhasilan ayah saya itu, ya walaupun keras, tapi demokrasi yang diterapkan ayah saya itu berguna. Buktinya, putra-putra ayah saya, tujuh bersaudara tidak ada yang tidak bekerja, tidak ada yang tidak punya profesi. Nah, itu kenapa? Karena ayah saya selalu menanamkan kebebasan memilih yang dirasakan.
Memang itu baik dan nyaman buat yang bersangkutan, tapi ayah saya menuntut satu, karena yang kamu pilih itu dengan pertimbangan-pertimbanganmu semua kan, ya harus bagus. Karena, kamu yang menjalankan, kamu yang merasakan, kamu yang menginginkan.
Jadi, sekarang, ya semua berjalan baik. Nah, itu saya petik dari hasil pemikiran ayah saya itu, berarti demokrasi itu bagus. Karena dia menginginkan “A” ya sudah biar saja “A”. Karena kalau dia mau “A” kita taruh ke “B”, pasti kan kerjanya males-malesan. Karena tidak sesuai dengan hati nurani dia. Yang dia rasakan misalnya cuma mempunyai “A”, kenapa disuruhnya “B”. Itu akan membuat suatu kegagalan juga.
Ya, saya menerapkan hal itu kepada anak saya, saya bebaskan memilih. Dia melihat sekarang apa profesi yang bagus, apa yang mereka rasakan ke depan. Paling kita ajak diskusi saja. Kalau dia akan memilih “A”, saya tanya kenapa pemikiran kamu, kenapa “A”, dan gimana pasti dia dapat masukan. Orangtua hanya mengarahkan, kalau A itu begini-begini, tantangan ke depannya begini, siap enggak mengatasi itu? Kalau siap jalankan. Enggak ada masalah.
Karier Anda termasuk moncer, itu bisa dibilang anugerah atau prestasi?
Begini, di institusi Polri dan TNI sama. Khususnya di Polri, itu kan kita berkarya ada jenjangnya. Jenjang karier itu juga didasari dengan pendidikan. Bagaimana kita menempuh pendidikan secara strata. Kemudian, ada penilaian dari pimpinan. Nah, penilaian pimpinan itu dari hasil kerja. Tidak hanya prestasi, pekerjaan dia juga dinilai.
Pekerjaan itu, ya pekerjaan rutin, kewajiban, disiplin, sebenarnya banyak, itu kalau di kepolisian. Sebenarnya, kuncinya berkarya di kepolisian itu hanya satu, yang menjadi fokus dasar adalah memegang komitmen.
Konsekuen dengan komitmen itu. Jadi, kita berpegangan pada komitmen sebagai aparat penegak hukum. Contohnya yang sederhana, di UU Kepolisian No. 2 Tahun 2002. Di antara salah satu pasalnya adalah polisi sebagai pelindung, pengayom pelayan, aparat penegak hukum, dan penyelenggara harkamtibmas.
Lima pokok itu yang menjadi dasar pekerjaan seorang anggota polri. Jadi, kita berada di mana saja harus bisa jadi pelindung, pengayomnya, pelayan bagi masyarakat dengan profesi apa pun.
Makanya, perjalanan saya dari menjadi letnan dua polisi, dulu letnan dua, sekarang istilahnya ipda. Sampai hari ini, saya melaksanakan tugas sesuai dengan strata saya. Jadi, kalau saya di mana saja, di kala saya jadi kombes pada waktu itu, saya harus menegakkan hukum karena saya Divisi Propam. Saya konsekuen, konsisten saya memegang komitmen itu sebagai orang Propam, saya harus jadi contoh polisi.
Saya berikan contoh ketauladanan terhadap lingkungan saya, kepolisian. Saya harus lebih tertib dari polisi-polisi yang lain. Di situlah saya menegakkan aturan. Keras, tegas, benar, adil, enggak ada pilih kasih. Sehingga pada saat itu, karier saya berjalan lancar. Di mana waktu itu ada kasusnya Pak Susno Duadji, saya ambil alih semua, karena perintah dan itu saya lakukan semuanya dengan kebenaran. Saya benar, bersih, makanya saya berani, saya ambil. Nah, saya naik bintang satu.
Di kala saya jadi Karopaminal, saya menegakkan ke dalam tidak main-main. Tidak ada pilih kasih, tidak ada tebang pilih, tidak ada. Saya tegakkan saja semua aturan yang sesuai dengan aturannya. Akhirnya, saya jadi kapolda di Gorontalo. Di sana juga ada gubernur korupsi, saya tangani juga. Walaupun hari-hari saya bicara baik, tapi kan dalam penegakan hukum saya harus berbuat adil. Jujur itu penting. Jujur dan adil.
Itu juga salah satu komitmen yang dibangun oleh ayah saya. Kamu itu harus jujur dan adil. Walaupun kata ayah saya dulu, jujur kadang menyakitkan. Ya, tapi kamu lebih baik jujur. Itu yang paling saya pegang. Dari hal itu, kemudian saya naik jadi bintang dua di Widyaiswara Utama Sespim Polri sebagai dosen. Ya, sebagai dosen, saya bekerja saja. Saya menjadi panutan terhadap murid saya, memberikan hal yang baik, ilmu yang baik, yang bisa diterapkan di lapangan oleh murid-murid saya.
Karena itu (murid) calon-calon pemimpin ke depan. Terus enggak lama, saya hanya empat bulan jadi dosen, lalu naik menjadi kasespim atau kepala sekolah pimpinan. Saya juga kembali memberikan contoh ketauladanan, mengembalikan aturan-aturan karena itu lembaga pendidikan.
Selanjutnya jadi kabareskrim. Saya, ya berbuat saja. Dalam penegakan hukum, saya melakukan itu adalah penegakan hukum. Yang saya kerjakan seluruhnya adalah murni penegakan hukum. Tidak ada kepentingan. Benci sama orang, menilai, atau tebang pilih, memilih-milih, enggak boleh. Siapa yang melakukan pelanggaran hukum, ya kita tegakkan. Walaupun konsekuensi, risikonya, ya harus kita ambil. Itu yang selama ini kita lakukan.
Makanya, sampai hari ini tugas apa pun tidak pernah memilih. Apa pun tugas saya, itu adalah amanah.
Sebagai Kasespim kan berarti anak buahnya Pak Budi Gunawan (BG). Anda dianggap sebagai anak emas BG, apa tanggapan Anda?
Itu yang sering saya jawab, saya sampaikan. Dalam satu struktur organisasi, itu strata ke bawah kan harus dekat, nah di mana pun, karena kita ini kan harus dekat dengan pimpinan. Bukan mendekati untuk cari muka, tapi pendekatan kerja. Pimpinan saya, ya waktu itu Pak Budi Gunawan. Saya tuh dua kali di bawah kepemimpinan beliau. Yang pertama di kala saya di Propam (Divisi Profesi dan Pengamanan Polri), beliau adalah Kadiv Propam. Di kala beliau di Propam itu, saya Karopaminal-nya.
Artinya, bagian dari bawahannya beliau. Terus, habis itu pisah. Sudah pisah, kita sama-sama ditempatkan di polda. Kemudian, saya kembali di lembaga pendidikan, beliau di Kalemdikpolnya. Ya, kan kebetulan beliau dulu yang di Kalemdikpol. Saya baru masuk di jajaran pendidikan lagi. Saya harus dekat dengan pimpinan saya. Makanya, di kala beliau dicalonkan sebagai kapolri, ya saya harus mendukung, memberi support.
Artinya, karena pada saat itu disalahartikan, ya karena orang kan kadang-kadang melihat itu, ya karena sudah didasari denga apriori, pendapat-pendapat yang negatif, jadi ya terus itu digulirkan.
Selama jadi Kabareskrim, Anda berani menindak ketua KPK hingga pejabat. Sebenarnya, memang Anda berani menegakkan hukum atau mencari momen?
Tidak (cari momen). Kan saya sudah bilang tadi, kalau aparat penegak hukum ada lima ya pokoknya. Pelindung, pengayom, pelayan. Nah, saya jadi pelindung, pengayom, pelayan yang baik bagi masyarakat. Di kala ada masyarakat melaporkan kepada saya, yang dilaporkan itu si A, si B, si C, saya itu tidak boleh melihat profesinya. Nah, saya sebagai pelayan yang baik, saya harus melayani, ya menjalankan itu dengan baik. Tapi, kan saya akan berhadapan dengan orang yang saya tegakkan hukum, pasti enggak suka. Itu konsekuensi risikonya yang tadi saya sampaikan ya, dan enggak ada maslah.
Ketika itu saya menjabat sebagai kabareskrim, aparat penegak hukum murni. Jadi, harus saya tegakkan hukum setegak-tegaknya. Jadi, kita enggak boleh lagi kalau sudah menegakkan, oh ini pejabat, ini deket sama saya, ini saudara. Itu enggak boleh. Itu lah saya tunjukkan wujud netralitas saya. Tanggung jawab saya. Karena saya bekerja dengan tanggung jawab, amanah. Konsekuensinya ya harus saya ambil.
Tadi yang saya bilang berani, karena kita bersih dan jujur, adil. Ya, apa lagi, kalau saya pada saat itu ada kesalahannya, pasti sudah dicari, sudah muncul. Apalagi saya ini kan mantan Propam. Pasti dari internal saya juga banyak yang enggak suka kan. Misalnya, ini (Buwas) dulu lawan saya, pasti saya dicari kesalahannya.
Tapi, kan sampai hari ini belum ditemukan. Bukan enggak ada, karena belum ditemukan. Karena sebagai manusia, saya pasti punya kekurangan, ada kesalahan. Sebenarnya, yang saya lakukan jadi tidak ada keraguan. Seperti sekarang saya di BNN, apa yang saya takuti? Ya tidak ada. Karena ini saya harus menjalankan tugas. Amanah ini amanah yang harus saya jalankan. Ini yang harus saya jalankan dengan segala konsekuensi dan risikonya.
Ini kan bukan saya yang pingin di BNN, ini amanah yang diberikan oleh bangsa dan negara melalui Pak Presiden. Pak Presiden memilih saya. Jadi, saya harus bertanggung jawab pada jabatan saya sekarang. Itu saja sebenarnya.
Di tengah menjalankan tugas jadi kabareskrim, lalu dimutasi ke BNN, apa ini bentuk kekecewaan pimpinan atau prestasi?
Ini kan sama saja, dari sarang Harimau ke sarang Macan. Artinya begini, di kala saya bicara tugas, itu artinya sebuah pengabdian. Kita tidak boleh menilai tugas itu seperti A atau B. Kita anggap sebagai pengabdian. Kalau pengabdian itu tergantung tuannya. Tuan saya dalam hal ini masyarakat, mengatakan kepada Presiden. Pak Presiden, itu (Buwas) sudah cukup jadi kabareskrim, jangan diteruskan. Umpamanya seperti itu.
Ya itu enggak apa-apa. Memang tuannya yang mau, nah kita sebagai pengabdi, ya dengan senang hati, keiikhlasan. Yang penting bagi saya adalah, kita tidak menyia-nyiakan tugas itu. Apalagi mencederai. Selama ini, yang saya lakukan di Bareskrim kan memang pekerjaan yang benar. Buktinya, semua yang saya lakukan, semua benar.
Sampai yang terakhir, diragukan saya bekerja terhadap kasus Pelindo II. Nah, sekarang terbukti kan. Yang menersangkakan sekarang malah KPK. Kemarin di praperadilan kan dia kalah. Itu satu bukti bahwa saya bekerja tidak pernah main-main gitu loh. Enggak ada kepentingan, apa karena RJ Lino ini orang penting, karena beliau itu sosok yang harus dilindungi, tidak seperti itu.
Di kala ada seorang yang melakukan pelanggaran hukum, ya kita buktikan. Karena, tugas seorang penegak hukum adalah membuktikan benar tidaknya orang melakukan pelanggaran hukum. Itu saja. Tidak boleh kita melihat siapa dia, bagaimana dia, statusnya apa. Kita harus adil, jujur, iya kan?.
Lebih menantang mana, kabareskrim atau kepala BNN?
Sama saja. Hanya di sini kan masalah narkoba. Tapi, kalau saya boleh menilai, di sini sebenarnya pengabdiannya luar biasa. Karena, kalau di sana (Bareskrim) kan harta benda yang kita selamatkan. Kalau di sini jiwa. Harta dan jiwa. Jiwa itu tidak bisa dinilai dengan berapa pun. Dan saya bukan hanya bertugas menyelamatkan jiwa saja. Tapi, juga menyelamatkan generasi.
Generasi menyangkut keselamatan masa depan negara dan bangsa ini. Jadi, ini pengabdian saya luar biasa. Itu kebanggaan yang selalu saya bangun di lingkungan saya. Saya sampaikan kepada anggota. Tolong kita harus melihat pekerjaan kita ini adalah pekerjaan yang sangat mulia. Karena apa? Kita menyelamatkan jiwa. Menyelamatkan raga orang.
Pengguna narkoba itu kan jiwanya terancam, raganya rusak. Nah, pada akhirnya, kita menyelamatkan generasi-generasi bangsa Indonesia. Generasi bangsa ini menyangkut nasib bangsa Indonesia ke depan. Berarti sudah tidak ada yang lebih baik dari pekerjaan di BNN. Ini menurut pandangan saya. Makanya saya bilang, saya ikhlas, saya bangga, saya semangat terus kerjanya. Bisa lihat, saya jam 06.00 WIB sudah bekerja dan bekerja.
Menurut data BNN, narkoba di Indonesia sudah berkurang atau semakin parah?
Kalau saya lihat, makin tahun makin bertambah, makin parah. Kenapa itu? Karena kita dari seluruh lapisan masyarakat bangsa ini masih melihat, memandang narkoba ini biasa-biasa saja. Tidak ada kepedulian. Padahal, narkoba ini seperti yang sudah saya bilang tadi, ini merusak bangsa. Merusak generasi, membunuh, dan sekarang sebenarnya kita sudah bisa melihat. Kalau kita nilai dari lini paling tertinggi dan yang paling kuat adalah TNI sudah terkontaminasi.
Oknumnya sudah banyak yang pakai (narkoba). Banyak yang terlibat. Polri juga sama, BNN sama saja. Terus sampai gelombang terendah, gelombang masyarakat terbawah pun sama. Itu lah hebatnya narkotika. Dan ini adalah suatu by design negara tertentu juga, kita belum tahu karena kita tidak bisa menuduh. By design suatu negara tertentu yang mengharapkan negara kita ini hancur dan dikuasai. Dan ini sudah diambang pintu, karena apa? Seluruh generasi kita sudah kena.
Generasi-generasi ini secara kelompok sudah kena. Dari anak TK, SD, SMP, SMA, mahasiswa, pekerja, pemuda terus sampai instansi tertinggi yaitu TNI. Ya kan. Padahal, TNI-Polri itu garda terdepannya negara. Benteng terakhirnya negara. Nah, kalau sudah rapuh kira-kira bagaimana?.
Cara pandang yang sangaat sederhana bagi masyarakat dan bangsa ini yang harus diubah. Begitu Presiden menyatakan negara dalam kondisi darurat narkotika, tidak ada yang bereaksi. Tenang-tenang saja, pada beranggapan, ya sudah itu slogan saja. Ya kan. Padahal, itu betul-betul itu yang disampaikan Pak Presiden, serius. Itu harus disikapi secara serius untuk semua. Harusnya, teman-teman media juga menjadi kepanjangan tangan dari pada informasi.
Karena teman-teman media itu kan ada di mana-mana. Di segala lini, mau di kehidupan malam, di mana ada semuaa. Itu sebenarnya kepanjangan tangan Informasi untuk bisa kita tindak lanjuti sama-sama dalam rangka untuk pencegahan.
Menurut Anda, bagaimana penegakan hukum untuk bandar narkoba di Indonesia? Apakah masih lemah?
Itu dilihat dari segala aspek. Penegakan hukum harus dibenahi juga. Ada kelemahannya. Makanya, saya pernah bilang kan, hukum tuh harus direvisi UU-nya. Karena ada celah abu-abu yang membuat orang tidak jera. Seperti terhadap pelaku-pelaku yang sudah in kracht, sudah divonis mati, tapi tidak mati-mati. Karena itu kan ada celah hukum yang dimanfaatkan oleh mereka.
Kemudian juga, saya pikir penegakan hukumnya juga termasuk dalam pelaksanaannya tidak maksimal. Tapi, juga tidak hanya pada penegakkan hukum. Mencegahnya saja juga tidak berjalan, karena tadi, secara geografis, negara kita ini tidak menguntungkan untuk mencegah peredaran dari narkotika. Kita negara terdiri atas pulau-pulau. Pintunya banyak, pelabuhannya banyak, pelabuhan tikus, masuklah itu.
Sekarang, pemahaman masyarakat yang sangat rendah di lingkungan pelabuhan tikus itu, sehingga tidak membangun kepedulian respons mereka. Itu dibiarkan, akhirnya itu masuk.
Dengan itu pun, kepedulian masyarakat secara keseluruhannya, termasuk remajanya, cara memandang narkotika, narkotika ini adalah modernisasi, gaul, kehidupan, kehidupan modern. Jadi semua sudah salah, cara pandangnya sudah salah. Atau reaksi kita terhadap masalah narkoba oleh instansi-instansi, institusi keseluruhannya negara ini tidak ada. Tidak berbuat, adem ayem saja.
Termasuk umpamanya, seperti kemarin kejadian di Lapas (Lembaga Pemasyarakatan), tempatnya malah peredaran. Itu kan berarti ketidakpedulian dari lembaga Lapas itu. Jadi, semua tidak bisa hanya satu sisi. Narkoba ini harus menyeluruh dari segala sisi. Penegakan hukumnya iya, pencegahannya iya, pendayagunaan masyarakat, terus masyarakat responsnya bagaimana yang membangun itu pun iya.
Kita harus membangun kerja sama kuat terhadap instansi semua. Supaya semua mau berbuat untuk masalah narkotika ini. Terus bagaimana kita membangun supaya menyelamatkan bangsa ini yang sudah terkontaminasi dengan narkoba, sehingga dia masih bisa diselamatkan. Yaitu rehabilitasi.
Tapi, rehabilitasi harus benar-benar. Tidak seperti sekarang. Rehabnya cuma biasa saja, yang penting sudah direhab. Seperti itu yang menurut saya tidak benar. Ke depan harus dibenahi semua. Supaya kita bisa betul-betul bebas dari masalah narkotika.
Apakah Anda suka kesal dengan bandar narkoba yang tak jera beroperasi di Indonesia? Seperti Freddy Budiman?
Kalau saya secara pribadi, ya memang kesal. Mereka itu kan sebenarnya pembunuhan massal berencana. Dan mereka itu adalah musuh negara. Saya selalu melihatnya secara utuh, ya begitu. Makanya, di kala ada orang yang membebaskan yang bersangkutan, di mana hati nuraninya. Coba seorang pembunuh masal, berencana, bisa dapat perlakuan itu, bahkan dia mendapatkan perlindungan HAM, ini kan lucu.
Sedangkan korban, manusia yang dibunuh, tidak mendapatkan perlindungan HAM. Kan gitu cara pandang saya sebagai manusia. Saya lihat harus membangun kepeduliannya secara keseluruhan. Cobalah melihat segala suatu permasalahan itu harus utuh. Jadi tidak sepotong-sepotong. Kalau sepotong-sepotong kan akhirnya seperti gitu. Ke depan, kita harus melihatnya secara utuh masalah narkotika ini.
Melihat kasus Berlan, Jakarta Timur, ada keberanian bandar melawan aparat. Apakah sudah separah itu kondisi sekarang?
Jadi begini. Pertama, saya perlu ingatkan, menggunakan narkotika itu berdampak pada kerusakan saraf otak. Jadi, orang yang pakai pasti cara berpikirnya sudah berbeda. Kaya kemarin yang di Berlan salah satunya, termasuk yang di Sumatera Utara, itu memang pelakunya bukan masyarakat. Pelakunya adalah jaringan mereka, kelompok mereka. Dan semua adalah sudah pengguna narkotika. Berarti, cara pikirnya sudah tidak waras.
Mereka melakukan perlawanan untuk tetap mempertahankan eksistensi dia terhadap masalah narkotika, jadi itu wajar sebenarnya. Jadi, di mana-mana mafia narkotika atau kartel di sana dan bisa mempunyai kekuatan pasukan. Bahkan bersenjata. Di kita juga sudah. Dia sudah membangun kekuatan pasukannya.
Kelompoknya, mereka maksimal hanya mempunyai senjata tajam, karena senjata api sulit didapatkan. Memang ada beberapa di antaranya yang meiliki senjata api, tapi itu kan ilegal. Karena senjata api gelap dan rakitan yang dia pakai.
Jadi, memang perlawanan itu dia lakukan karena ingin mempertahankan. Dan ini yang saya bilang pada anggota saya, jajaran di Polri tidak boleh ada keraguan menghadapi mereka. Jadi, kita tidak boleh underestimate, menganggap mereka itu biasa-biasa. Enggak bisa. Ini kejahatan luar biasa. Jadi berpikirnya harus luar biasa. Dihadapinya harus dengan kekuatan luar biasa.
Makanya, saya bilang jangan ragu-ragu menangani mereka. Karena ini, yang kemarin saya tangkap residivis yang tiga kali keluar masuk menjadi jaringan bandar yang di luar dan mengendalikan di dalam Lapas. Itu sudah tiga kali dia masuk, berarti dia kan memang tak akan pernah jera. Karena memang merupakan jaringan dan dia fight untuk itu. Mereka disumpah. Mereka sudah diciptakan mesin-mesin pembunuh. Pikirannya sudah mesin pembunuh. Pokoknya enggak mau tahu dia.
Wilayah Berlan itu di tengah-tengah penduduk, apakah memang bandar sekarang mengincar tempat seperti itu?
Yang pertama adalah memang itu yang dia tahu. Karena, mereka pelajari di mana penduduk itu tidak paham dengan narkotika. Penduduknya masih awam dengan itu. Mereka masuk dan berlindung. Itu sebagai benteng mereka sebenarnya, karena penduduk ini mudah diprovokasi.
Penduduknya pasti yang levelnya di bawah, karena yang mudah dia provokasi yang mudah dia pengaruhi. Nah, sekarang tugas pemerintah, tugas kita adalah memberikan pemahaman terhadap masyarakat di lingkungan itu. Jangan kita salahkan masyarakat yang di situ.
Kesalahan kita juga, karena tidak memberikan pemahaman, tidak memberikan pengawasan, pembinaan, sehingga mereka mudah digalang oleh kelompok-kelompok ini. Itu sebenarnya kesalahan kita. Makanya, ke depan kita harus bekerja semuanya sesuai dengan perannya masing-masing.
Kalau catatan BNN, daerah mana yang paling rawan peredaran narkoba?
Kalau secara kota, wilayah itu adalah Jakarta, ranking satu. Tapi bagaimana pun, semua kota sudah masuk narkotika. Tidak ada satu wilayah pun di republik ini yang bebas dari masalah narkoba. Jadi menyeluruh.
Apa benar sasarannya bukan remaja lagi? Bahkan kini anak TK?
Anak TK dan SD itu adalah operasi regenerasi pangsa pasar yang dilakukan oleh para bandar. Jadi begini, pengedar narkotika ini tahu, para pengguna yang menggunakan narkoba ini akan menimbulkan kerusakan pada saraf otak. Sehingga akan berpengaruh pada organ tubuh.
Dengan demikian, akan mempercepat dia mati. Ini secara sederhana cara berpikirnya begitu. Makanya, para pengguna ini yang sudah addict akan cepat mati. Kalau dia mati, berarti siapa lagi penggunanya? Makanya dia ciptakan pengguna berikutnya, supaya dia bisa tetap eksis.
Ini lah dia sisihkan dana sebagian untuk mendanai kegiatan regenerasi pangsa pasar. Sasarannya anak-anak TK, SD. Dari minuman, makanan, permen, disusupi itu. Supaya apa? Dia bakal menjadi pengguna berikutnya. Karena sudah kecanduan dari awal.
Menurut Anda, tindakan tegas untuk bandar narkoba itu seperti apa?
Ya sebenarnya kan begini, kalau kita lihat struktur dari akar masalahnya, dia ini kan para pelaku pembunuhan, dan pembunuhan massal, berencana. Yang bisa menilai kan sebenarnya masyarakat. Masyarakat mau menilai ini biasa-biasa saja atau khusus. Nah, dia layak sebenarnya dihukum mati. Karena mereka ini membunuh orang sekian banyak.
Bayangkan sekarang, hari ini pasti ada tiga puluh lebih, sampai empat puluh range-nya remaja kita, anak-anak kita, bangsa kita yang meninggal akibat penyalahgunaan narkotika. Setiap hari. dan di kala Presiden menyatakan kondisi negara kita dalam kondisi darurat narkotika, itu datanya masih 4,2 juta pengguna. November 2015 sudah mencapai 5,9 juta pengguna.
Sekarang saya enggak tahu sudah berapa, karena mengerikan sekali angkanya. Karena itu lah diciptakan oleh mereka. Tapi kita tidak peduli, kita mau bicara ini meningkat 6 juta, besok 6 juta lebih, masyarakat juga diam saja. Buat apa juga kita teriak-teriak kalau tidak ada pengaruhnya.
Sekarang konsentrasi saya, yang terpenting adalah bagaimana kita lakukan pencegahan, melakukan pemberantasan sepert itu, dan menyelamatkan ini. Itu yang harus kita lakukan.
Kalau menurut Anda, apa hukuman yang layak bagi Freddy Budiman?
Seharusnya kalau saya itu bukan layak atau tidak layak. Jika dia sudah terbukti bahkan sudah tiga kali dia melakukan itu, dan hari ini pun masih dia menggerakkan jaringannya, dia seharusnya hukumannya sudah inkracht. Segera dilaksanakan.
Tembak mati?
Iya. Sudah tak perlu lagi model seperti Freddy Budiman dirawat-rawat lagi. Karena otaknya sudah membunuh saja dan dia sekarang dibiarkan untuk melakukan pembunuhan terus. Kan lucu, kalau saya bilang, ini lucu.
Dahulu sempat ada deklarasi tahun 2015 bebas narkoba, sekarang bagaimana perkembangannya?
Itulah yang saya bilang, ini kan baju yang saya pakai ini kan baju generasi emas tahun 2015. Jadi baju anti narkoba. Ya kan, hari anti narkoba. Selama ini hanya slogan. Tidak pernah berbuat. Jadi kita bekerja hanya seremonial. Ayo ikrar. Bebas, penyataan bebas narkoba. Setelah itu sudah selesai. Narkoba sih jalan terus.
Makanya, saya bilang tahun 2016 tidak boleh ada begitu lagi. Saya mau kegiatan nyata seperti apa yang saya sampaikan tadi. Kegiatan yang nyata bisa dirasakan, ada hasilnya, bisa dinilai. Bisa diukur.
Menurut Anda, tempat mana paling banyak digunakan peredaran narkoba?
Yang jelas sekarang hampir merata. Tapi, yang rawan itu adalah dari tempat-tempat hiburan malam. Ya di Jakarta itu, hampir seluruhnya. Tapi kan itu kembali lagi ke masyarakatnya. Masyarakat itu kurang peduli, diserahkan sama polisi sama BNN, tindak, tindak, tapi mereka tidak peduli.
Seperti contohlah, ada suatu kelompok masyarakat yang kalau bulan puasa saja hiburan malam dikeluhkan, itu masalah kewajiban puasa. Ini yang jelas-jelas lebih dari itu beratnya kan, ini bukan hanya kewajiban, ini pembunuhan, dan barang ini haram dalam agama, tapi kan dibiarkan. Tidak ada reaksi. Kita ini tidak ada peduli.
Menurut analisis BNN, negara mana yang sering memasok barang ke Indonesia?
Yang sekarang paling besar adalah China dan Taiwan.
Modusnya?
Dikirim pakai kapal laut, diselundupkan pakai barang-barang rumah tangga, barang-barang boneka, sepatu, tas, macem-macem.
Artinya, jalur laut yang paling sering jadi pintu masuk?
Paling banyak memang jalur laut.
Anda mewacanakan untuk menempatkan hewan buas di Lapas, apa pertimbangannya?
Kan kita tahu, saat ini masih banyak barang yang beredar di Lapas. Karena terkontaminasinya manusia. Dan tidak ada peduli, begitu pun dan selalu mengelak. Dan itu pembiaran yang akhirnya berdampak luas.
Kondisi itu lah yang membuat pemahaman saya berpikir, kita dalam hal ini sudah tidak bisa lagi percaya dengan manusia. Karena, manusia mudah dipengaruhi. Sulit kita mencari manusia yang tangguh. Karena masalah mafia narkoba kekuatan finansialnya itu luar biasa.
Misalnya, ada pegawai gaji Rp5 juta per bulan, kemudian ditawari Rp50 juta per bulan agar meloloskan barang mereka, kira-kira bagaimana? Tapi, kalau orang yang tangguh yang punya komit ya no. Tidak bisa.
Kemudian misalnya, kemarin beredar di Lapas karena manusianya enggak bener, sistemnya enggak bener. Kita pasangi CCTV dipotongi, semua dimatikan. Itu memang ada suatu keterlibatan oknum manusia. Nah, akhirnya saya bilang, sudah lah kita enggak usah pakai manusia lagi.
Kita jaga dengan buaya atau harimau, atau singa, kira-kira bisa disogok enggak? Pasti enggak bisa. Lalu bisa disuap? Kan enggak bisa. Tetep saja jika orang itu maksain masuk, ya diterkam. Orang itu ke sana pasti, ya digigit. Itu yang saya maksud.
Di mana lokasinya?
Memang beberapa tempat sudah kita survei. Sudah kita ajukan, tapi sebenarnya itu kan kewenangan dari Kementerian Hukum dan HAM. Kita tidak punya hak untuk itu. Saya sifatnya membantu untuk merealisasikan. Itu lah kepedulian saya sebagai kepala BNN. Begitu seriusnya kejahatan ini, kok kita tenang-tenang saja. Kalau saya melihat ini tidak bisa tenang-tenang saja. Reaktif itu, karena kepedulian saya. Melihat ini kejahatan luar biasa harus kita tangani dengan cara pemahaman dan pemikiran yang luar biasa.
Kenapa Anda memilih piranha, buaya, dan sebagainya?
Karena efektif ya. Seandainya satu tahanan disterilisasi, kalau kita jaga manusia untuk dia keluar-keluar kan masih bisa dia bayar-bayar. Sekarang, kalau di sekeliling ini kolam isinya buaya, terus dia mau loncat, kira-kira selamat enggak? Karena tidak bisa disogok.
Jika sekeliling ini kita kasih harimau, atau kolam isi piranha, kira-kira kalau ada orang menyeberang, apa enggak digigit sama piranha, atau dimakan. Pemahaman sederhananya.
Kalau dibikin Lapas khusus narkoba, apakah tidak khawatir ada peredaran yang semakin besar?
Enggak, kalau Lapas khusus dia sudah tidak terkontaminasi. Kalau Lapas khusus, pengawasannya juga khusus. Kita tahu persis karena itu masalah khusus. Khusus narkoba. Kalau itu jaringan komunikasinya enggak ada, dia mau ngapain? Ini kan sekarang terjadi karena jaringan komunikasi masih bisa digunakan.
SMS atau internet banking itu yang masih dipakai untuk transaksi. Seperti itu sebenarnya yang masih terjadi. Makanya, kita kan lihat fakta dan kenyataan yang selama ini terjadi.
Kalau khusus, artinya akan membebankan pada anggaran negara?
Tidak harus bebankan biaya negara. Kalau cara berpikir saya itu gampang, Lapas banyak kan, satu Lapas di daerah tertentu kita khususkan untuk masalah narkotika yang sudah bandar-bandar berat. Di situ jadi satu, jebret. Itu steril, penjagaannya lebih kuat, lebih ketat. Dia hanya menunggu pelaksanaan. Selesaikan.
Efektif, kalau sekarang campur aduk, yang penting ada di dalem. Dikurung, kegiatan apa juga enggak jelas.
Beberapa waktu lalu ada eksekusi mati untuk bandar narkoba, apakah ini membuat takut negara lain?
Pasti. Sekarang bisa kita lihat kan di Malaysia, Singapura, pengguna itu hukuman mati. Sekarang ada enggak di Singapura, Malaysia, warganya pakai narkoba? Enggak ada. Itu satu wujud efek jera. Jadi, kalau kita seperti di Singapura, kalau pakai mati. Mau makai coba-coba juga takut. Kalau di negara kita ini, orang enggak takut untuk coba-coba makai. Adanya pemahaman, ‘Tak apa-apa, kan kita korban, nanti juga direhabilitasi, diobati’, itu yang membuat peredaran di kita ini semakin besar.
Karena menggunakan tidak hukuman mati. Yang menyuarakan itu korban, itu pasti terlibat dalam mafia narkotika. Karena dia membiarkan narkotika ini masuk. Dikedepankan rehab dan rehab. Itu pasti ada pemikiran tersebut, karena terkontaminasi dengan bandar-bandar mafia narkoba. Saya yakin itu.
Selama ini, apakah Anda dan BNN kesulitan masuk Lapas? Prosedur apa saja yang dilakukan?
Ya, sekarang, selama ini kan polisi maupun BNN kalau mau masuk Lapas itu ditanyain surat perintahnya. Terus isi buku dulu, kepentingannya apa, mau ke mana sasarannya kalau masuk ke Lapas. Padahal, Lapas itu ada tiga saf. Saf satu saja kita enggak bisa langsung masuk. Tetapi itu memang dibuat sebagai sandi supaya di Lapas itu sudah berbenah, menghilangkan barang bukti.
Maksudnya, sistem di Lapas sekarang memperlambat waktu kerja BNN?
Iya memang, memperlambat untuk memberikan waktu supaya sasaran yang di dalam kita itu bubar.
Teknisnya berapa surat?
Oh, saya kira sebenarnya tak perlu pakai surat. Kalau memang kita sudah membawa surat perintah tugas dengan menyampaikan ini kan, aparat harusnya sudah langsung boleh masuk. Kan kita tahu lah hasil typing kita ini di Lapas ini, di tempatnya si A. Ini di tempat yang mana kan kita tinggal masuk. Sekarang mau ngejar si A, tempatnya di mana, langsung kita diarahkan ke sana. kemudian langsung brraaak, itu baru.
Tapi kenyataannya tidak seperti itu. Makanya, saya juga mau ketemu sama menkumham. Saya upayakan ini ke dirjen lapas. Saya ingin bangun komitmen itu. Setelah itu, saya lapor ke Presiden. Saya akan bilang kalau selama ini ada kendala. Jadi, kalau besok saya akan serbu ke Lapas dan kalau saya menemukan kendala, prosesnya, kalau perlu kita bongkar saja Lapasnya pakai mesin.
Kita ini kan (satu) negara, Lapas juga. Masa sama-sama (satu) negara enggak bisa nyatu sih. Tujuan misinya kan sama. Ini sudah bertahun-tahun kejadian seperti ini. Di Lapas bisa edarkan narkoba. Itu banyak sekali laporan pada saya. Mantan orang dalam Lapas yang sudah bebas dan sudah lepas, dia cerita kok. Aduh pak, di dalam Lapas itu kita ditawar-tawarin, ayo pakai ini, pakai ini.
Lapas mana saja yang terindikasi mempersulit?
Semuanya. Seperti kita kemarin di Bali juga begitu. Kita nyergap enggak dapet. Begitu kita masuk sudah hancur tuh berantakan barang-barang sudah di mana-mana. Kita enggak bisa, ini barangnya siapa kita enggak tahu. Handphone sudah diancur-ancurin, itu memang sudah teknik mereka.
Saya akan bicarakan nanti semua kepada Pak Menteri, Pak Dirjen Lapas. Saya ingin tahu sebenernya apa sih yang ada dalam pemikiran-pemikiran mereka itu tentang narkotika ini, penting apa tidak.
Apa pesan kepala BNN kepada warga Indonesia?
Masyarakat Indonesia ini harus paham betul mengenai bahaya narkoba. Karena, ini bukan sederhana, hanya penyalahgunaan narkoba. Karena ini pasti ada by design untuk kehancuran negara ini melalui kehancuran generasi.
Dan generasi muda secara keseluruhannya dari lini yang terbawah, TK sampai mahasiswa bahkan seorang pekerja produktif mereka adalah sasarannya. Tujuannya tidak ada lagi generasinya. Bisa lost generasi dan pemimpin. Sehingga kita harus memahami masalah narkoba ini masalah yang sangat-sangat berbahaya. Semua harus menangkal. Tidak sekali-kali mencoba dan menggunakan narkotika, untuk kepentingan bangsa dan generasi.
Kalau itu semua cara berpikirnya sama, maka negara akan selamat. Tapi, kalau kita tidak berpikir seperti itu, maka kehancuran negara ini sudah pasti. Kehancuran generasi ini sudah pasti. Ini memang sudah terjadi. Sekarang boleh ucapan saya dibuktikan, lini mana yang bebas dari masalah penyalahgunaan narkoba? Apa kita harus biarkan saja? Nah, ini yang saya bilang, kita tidak boleh lagi membiarkan ini terjadi. Ini harus sama-sama semua. Masyarakat bangsa, elemen bangsa yang ada di republik ini harus berbuat. Semua harus berpikir begitu.
Terakhir, apakah Anda siap jika dicalonkan sebagai pengganti kapolri?
Saya ini orangnya tidak pernah ambisi dan memilih pekerjaan, saya kan bekerja atas dasar kewajiban karena amanah. Dan saya adalah seorang pengabdi, abdi negara. Apa pun yang diperintahkan negara kepada saya, pasti saya akan jalankan sebaik mungkin.
Mau itu saya tugas di mana pun seperti tadi saya ceritakan, termasuk kemarin di Bareskrim, saya sudah buktikan bahwa saya kerja. Sekarang di BNN pun, saya buktikan bahwa saya adalah pekerja dan saya bekerja.
Pengabdian saya adalah harus pengabdian yang terbaik. Jadi, soal itu (pencalonan kapolri), saya serahkan kepada bangsa dan negara ini. Untuk itu, kan nanti juga Pak Kapolri yang akan memilih. Dari sekian banyak anggota polri yang memenuhi syarat itu banyak, nanti akan dipilih yang terbaik siapa. Dan itu nanti akan dipilih lagi oleh Pak Presiden.
Silakan Pak Presiden memilih, menurut Beliau siapa yang terbaik. Dan saya bukan orang yang terbaik. Masih banyak yang terbaik. Jadi, saya kira, saya pasrahkan kepada institusi, kepada negara ini, kepada masyarakat Indonesia.
Kalau ditunjuk, berarti Anda siap?
Ya seperti tadi saya bilang, semuanya pada akhirnya mau ditugaskan di mana pun harus siap. Karena pengabdian dan harus melaksanakan amanah tersebut sebaik mungkin. Nah, itu yang paling penting.