Cara Petani Majalengka Bertahan Hidup
- VIVA.co.id/Ahmad Rizaluddin
VIVA.co.id - Sejumlah petani asal Majalengka Jawa Barat, mengandalkan bercocok tanam sayuran sebagai sumber pendapatan di samping padi. Selain memberikan keuntungan lebih besar, sayuran juga lebih singkat masa panennya.
"Kami biasanya bercocok tanam timun, kacang panjang, paria, dan oyong yang sudah dapat dipanen dalam waktu dua bulan saja," kata Kadmira, petani asal desa Pangkalan Pari Majalengka, seperti dikutip dari keterangan tertulis, Kamis, 28 Januari 2016.
Kadmira mengatakan, bercocok tanam sayur, terutama timun menjadi andalan penduduk desa di samping padi. Petani yang telah bertanam timun sejak tahun 90 an itu menuturkan, pasar timun asal Majalengka ini tidak hanya kawasan Jawa Barat. Dengan ukuran 15 centimeter dengan rasa lebih manis, timun asal Majalengka juga banyak dipasok ke Pasar Induk Keramatjati Jakarta.
Sedangkan Sobana, petani asal Desa Kedungsari mengaku menekuni bercocok tanam sayur, terutama timun baru setahun ini, setelah melihat petani di desa tetangga kehidupannya jauh lebih baik.
"Kebetulan, kami berkenalan dengan produsen benih sayuran hybrida Ewindo (PT East West Seed Indonesia), yang memberikan pendampingan kepada petani yang baru mulai bercocok tanam sayuran," kata Sobana.
Berbeda dengan Kadmira yang mengawalinya dari bertani padi, Sobana mengaku memang baru setahun ini menekuni bercocok tanam dengan bermodalkan lahan seluas setengah hektar untuk memproduksi timun lalap.
"Awalnya memang kesulitan, tetapi dengan bimbingan dari Ewindo pada akhirnya berhasil mengembangkan tanaman sayuran terutama timun," ujar dia.
Kadmira mengatakan, tantangan bagi petani sayur adalah serangan hama dan penyakit serta iklim yang ekstrim. Selain itu, petani juga kesulitan memperoleh akses permodalan agar dapat mengembangkan lahan pertanian sayur, di antaranya untuk sewa tanah, biaya air, pupuk, obat, serta tenaga kerja.
Menurut Kadmira, modal terbesar untuk pengembangan lahan pertanian adalah sewa tanah, kalau hanya mengandalkan tanah sendiri luasnya sangat terbatas, padahal permintaan komoditi sayuran terus meningkat setiap tahunnya.
Terkait kesulitan yang dihadapi petani, Ewindo belum lama ini meluncurkan varietas unggul timun jenis Etha 87 F1 yang ditujukan untuk wilayah Jawa (Banten, Jawa Barat, dan Jawa Tengah) yang tahan terhadap Gemini Virus serta hanya membutuhkan waktu 34 hari agar siap dipanen.
Manajer Penjualan dan Pemasaran Ewindo area Banten, Jawa Barat, dan Jawa Tengah, Margono mengatakan, setelah mempelajari karakteristik petani timun, penyakit yang menyerang tanaman dan selera konsumen, pihaknya meluncurkan varietas Etha 87 F1 yang memiliki beberapa keunggulan, sehingga memiliki nilai ekonomi tinggi. Berbeda dari varietas yang ada saat ini, timun jenis baru ini mampu merambat sendiri, sehingga petani dapat mengurangi biaya tenaga kerja.
Produktivitas timun ini mencapai 30-40 ton per hektar, bahkan kalau lahannya bagus, serta didukung cuaca yang baik biasa mencapai 50 ton per hektare. Produktivitas ini jauh lebih dari rata-rata produktivitas timun nasional sebesar 10 ton per hektar.
Kemudian, tanaman timun ini juga mampu menghasilkan buah 25 sampai 30 untuk setiap pohonnya, serta dirancang memiliki ukuran, warna, serta rasa yang disukai masyarakat sebagai timun lalap.
Pasar yang luas dan siklus tanam singkat, menjadikan mentimun sebagai salah satu sayuran berpeluang bisnis menarik. Ditambah lagi, modal usahanya terbilang tidak terlalu besar dan berpeluang menghasilan laba yang menarik.
Berdasarkan hitungan analisis usaha tani yang dikeluarkan Kementerian Pertanian pada 2010, dari setiap hektare (populasi 17 ribu tanaman) petani menuai pendapatan Rp42 juta selama 60 hari penanaman. Setelah dikurangi biaya produksi sebesar Rp28.735.000, petani masih mengantongi keuntungan Rp13.265.000 per dua bulan.
(mus)