Bakso Lapangan Tembak Bermula dari Pikulan
- dok. Bakso Lapangan Tembak
VIVA.co.id - Bakso lapangan tembak ternyata bermula dari bakso pikulan. Kisah ‘bakso lapangan tembak’, seperti penuturan pemiliknya, Kusuma Adi Agung, penuh dengan perjalanan yang menguras cucuran keringat dan perjuangan tak kenal lelah.
Pada tahun 1970-an, mulailah Ki Ageng Widyanto Suryo Buwono, pendiri sekaligus ayah Agung, dengan didampingi istrinya mengadu peruntungan di Jakarta, meninggalkan tanah kelahirannya di Wonogiri, Jawa Tengah, yang dulu daerah ini dikenal tandus, terpencil, dan gersang.
Apalagi, Ki Ageng menyadari, bakatnya bukan di pertanian atau bekerja di tempat orang lain. Ia memulai usaha bakso pikulan di tanah kelahirannya.
Kemudian, dia memutuskan merantau ke Kota Solo dan memulai usaha bakso pikulan di sana. Ternyata, usahanya berjalan di tempat, hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Bahkan, acap kali harus rela makan seadanya. Padahal, ia sudah merajut mahligai rumah tangga.
Bermodalkan Rp150 untuk modal jualan dan tinggal di rumah petak daerah Kemandoran, Jakarta, mulailah Ki Ageng keliling mencari nafkah menjajakan bakso dengan pikulan.
Berbulan-bulan keliling ke beberapa daerah di Ibu kota, sempat pula bakso pikulannya dikerja-kejar petugas ketentraman dan ketertiban (trantib). Bahkan, pernah pulang dengan tangan hampa karena bakso pikulannya disita petugas trantib.
Akhirnya, kerja kerasnya mendapatkan rida dari Illahi Rabbi. Ia diberikan petunjuk menemukan tempat yang cocok untuk berjualan, yaitu di sebelah lapangan tembak berupa warung semi permanen. Kini, areanya telah dibangun Hotel Mulia.
Ki Ageng, yang sedari awal tidak pernah magang jualan bakso, yakin keberhasilan akan diraihnya suatu hari kelak. Pelanggan mulai berdatangan, bakso pikulan akhirnya berubah menjadi bakso dorongan.
Peruntungan selanjutnya, bisa mendirikan warung semi permanen di lapangan tembak tersebut.
Di area samping lapangan tembak itulah, dalam kurun waktu sekitar 20 tahun dengan sabar Ki Ageng melayani pembeli, menerima kritik, konsisten meracik bumbu, dan menjaga kualitas bakso, serta terus belajar agar produk baksonya kian diminati konsumen. Sedikit demi sedikit, ia mengumpulkan modal karena dalam benaknya, ia yakin lokasi itu suatu saat akan tergusur.
Dan, terbukti dugaannya tidak keliru. Di saat beberapa penjual semi permanen gelisah ketika akan digusur, ia sudah mempersiapkan sebuah tempat baru bagi usahanya.
Tepat ketika 1990, tempat usahanya pun tergusur untuk dibangun hotel berbintang. Untungnya, Ki Ageng telah mempersiapkan diri memantapkan pijakan bisnisnya. Dia telah menyewa tempat di seberang lapangan tembak.
Rengkuhan peluh keringatnya puluhan tahun mulai menuai hasil. Selain pembeli kian banyak, banyak tawaran bisnis ke Ki Ageng untuk kerja sama.
Namun, ia selektif memilih mitra, agar bisnis baksonya terus berkembang. Dalam ingatan Agung, outlet keduanya adalah di Puncak Cimacan Bogor, dan bersinergi dengan pemilik lahan yang masih saudara dengan Ki Ageng. Dulu, daerah itu merupakan jalur utama menuju Bandung dan daerah wisata.
“Outlet di Senayan dan di Puncak itulah awal mula rintisan bisnis Ki Ageng. Kemudian, berkembang puluhan outlet dan sekitar 80 persen outlet bakso lapangan tembak berlokasi di mal,” jelas Agung.
Harga semangkok bakso Lapangan Tembang Rp15 ribu. Restoran buka dari pukul 10.00 sampai 22.00. Untuk area Jabodetabek, kata Alumni jurusan entrepreneur Universitas Bina Nusantara ini rata-rata omzet satu outlet menghabiskan 10 kilogram bakso per hari. Padahal, ada sekitar 50 outlet bakso lapangan tembak, dengan serapan tenaga kerja minimal 15 orang per outlet.
Bagaimana dengan luar daerah, terutama luar Jawa?
"Jangan salah, ada beberapa outlet i luar Jabodetabek yang omzetnya justru lebih tinggi. Untuk menjaga kualitas, kami kirimkan tenaga ahli khusus untuk memantau pembuatan bakso dan bahan baku lainnya," kata Agung. (asp)