Sepanjang 2015 Pasar Finansial Indonesia Penuh Turbulensi
- VIVA.co.id/Muhamad Solihin
VIVA.co.id - Indonesia sebagai negara berkembang, sangat rentan terhadap goncangan perekonomian global. Imbasnya, sepanjang 2015, indeks harga saham gabungan (IHSG) dan nilai tukar mata uang rupiah terkena turbulensi ekonomi global.
Guncangan global paling signifikan berasal dari Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed) yang berencana menaikkan suku bunga acuannya, lantaran ekonomi negara Paman Sam tersebut mulai membaik.
Hal tersebut, menjadi serangan tersendiri yang membuat mata uang dolar AS perkasa, sehingga menyebabkan mata uang negara berkembang, termasuk rupiah, melemah. Spekulasi soal kenaikan suku bunga telah memicu gelombang ketidakstabilan di pasar finansial dunia sepanjang tahun ini.
Ditambah, industri manufaktur yang lemah membuat ekspor nasional sulit menembus persaingan global. Indonesia yang kaya akan komoditas, namun tak mampu mengelola menjadi barang jadi yang menghasilkan nilai tambah.
Perlambatan ekonomi ekonomi Tiongkok, yang merupakan negara tujuan ekspor komoditas Indonesia, dan kebijakan devaluasi yuan, juga membuat perekonomian Indonesia tertekan.
Akibatnya, IHSG dan rupiah melemah dan dipenuhi dengan ketidakpastian. IHSG sepanjang tahun ini sudah anjlok lebih dari 10 persen, bahkan sempat menyentuh posisi terendah di level 4.178, September lalu. Para pelaku pasar mengambil sikap wait and see terhadap transaksi saham dan mata uang nasional.
Bursa saham yang merosot tajam, memaksa Bursa Efek Indonesia (BEI) memberlakukan peraturan baru auto rejection, dengan memberlakukan batas bawah 10 persen untuk semua kelompok harga. Aturan ini sebagai upaya pihak bursa untuk meredam aksi penjualan besar-besaran, yang mengakibatkan indeks pasar modal Indonesia anjlok lebih dalam.
Kemudian, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga sempat mengeluarkan kebijakan surat edaran bagi emiten yang ingin melakukan pembelian kembali (buyback) saham tanpa melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Hal itu juga dilakukan semata-mata untuk memancing transaksi di pasar modal, agar IHSG tidak tenggelam lebih jauh di zona merah.
Terbukti, di akhir perdagangan tahun ini, akhirnya IHSG menghijau. Indeks harga saham gabungan Rabu 29 Desember 2015, ditutup menguat di level 4.593,01, atau naik 23,64 poin (0,51 persen). Lengkapnya, .
Tujuh kebijakan
Sementara itu, rupiah terus melemah terhadap mata uang dolar AS hingga ke level Rp14.700 pada Desember ini. Rupiah menyentuh level tertinggi sejak krisis ekonomi 1998.
Untuk menekan gejolak rupiah, Bank Indonesia telah mengeluarkan sejumlah kebijakan di antaranya kewajiban penggunaan rupiah di dalam negeri.
Upaya menyelamatkan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat, agar tidak tenggelam lebih dalam di zona merah pun dilakukan. Bank Indonesia mengambil sejumlah langkah mengoptimalkan operasi moneter melalui tujuh kebijakan jangka pendek.
"Ada tujuh kebijakan jangka pendek yang dikeluarkan BI. Secara teoritis, tujuh kebijakan BI tersebut terangkum ke dalam tiga strategi khusus, yakni memperkuat pengelolaan likuiditas rupiah di pasar uang, pengelolaan supply dan demand valuta asing, serta memperkuat kecukupan cadangan devisa," kata Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI, Juda Agung.
Pertama, BI akan melakukan intervensi di pasar valas untuk mengendalikan volatilitas rupiah. Kedua, melakukan pembelian Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder, dengan tetap memperhatikan dampaknya pada ketersediaan SBN bagi inflow dan likuiditas pasar uang. Ketiga, memperkuat pengelolaan likuiditas rupiah, melalui Operasi Pasar Terbuka (OPT), guna mengalihkan likuiditas ke tenor yang lebih panjang.
Selanjutnya, kebijakan keempat adalah menyesuaikan frekuensi lelang foreign exchange (FX) swap dari dua kali sepekan menjadi satu kali sepekan. Kelima, mengubah mekanisme lelang term deposit (TD) valas dari variable rate tender menjadi fixed rate tender, menyesuaikan harga (pricing) dan memperpanjang tenor sampai tiga bulan.
Keenam, menurunkan batas pembelian valas dengan pembuktian dokumen underlying dari yang berlaku saat ini sebesar US$100 ribu menjadi US$25 ribu per nasabah per bulan, dan mewajibkan penggunaan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
Terakhir, ketujuh, melakukan koordinasi dengan pemerintah dan bank sentral lainnya untuk memperkuat cadangan devisa.
Faktor global menjadi alasan BI untuk mempertahankan suku bunga acuan BI Rate di posisi 7,5 persen hingga saat ini. Langkah itu sebagai sikap waspada terhadap tekanan tambahan pada rupiah dan memicu terciptanya pelarian modal ke luar negeri.
Di sisi lain, tekanan perekonomian dunia yang masih juga belum stabil, serta data ekonomi makro domestik cukup membuat perusahaan-perusahaan menunda mencatatkan sahamnya di lantai bursa. Jumlah emiten baru yang mencatatkan sahamnya di BEI pun meleset dari target. Semula ditargetkan 32 emiten baru, tapi realisasi hanya 20 emiten.
Kampanye menabung saham untuk menarik keterlibatan masyarakat indonesia menabung saham juga masih kecil. Dampaknya Prosentase jumlah investor nasional masih minim, bila dibanding investor asing di BEI.
Kepala Riset NH Korindo Securities Indonesia Reza Priyambada berpendapat, hal itu, karena banyak masyarakat Indonesia masih berpandangan kolot bahwa berinvestasi di pasar modal merupakan perjudian. Padahal, kepemilikan saham oleh masyarakat Indonesia sangat penting, agar perusahaan nasional tidak dikuasai asing.
"Mereka banyak mengeluhkan pasar saham Indonesia, karena dianggap sebagai tempat gambling, atau judi. Kemudian saya tanya balik, apa kalian semua sudah investasi belum? Kalau belum investasi modal bagaimana menguasai? Yang ada asing yang menguasai pasar modal kita," ungkap Reza, ditemui di Gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Selasa lalu, 22 Desember 2015.
Reza berharap, dengan adanya lembaga pendidikan pasar modal, The Indonesia Capital Market Institute (TICMI), cara pandang masyarakat Indonesia tersebut diharapkan dapat berubah menjadi lebih maju sehingga dapat mendorong peningkatan investor di pasar Modal.
"Ditangan TICMI akan lebih berkembang. Pasar kita jangan sampai dikuasai oleh asing," tuturnya.
Masih banyak tantangan
Menjelang akhir tahun, perekonomian Indonesia juga masih belum menunjukkan perbaikan. Tantangan di tahun ini, nampaknya masih belum usai dan diperkirakan akan berlanjut hingga tahun 2016 mendatang. Pemerintah dan pihak terkait juga terus berupaya menjaga kestabilan pasar modal dan nilai tukar rupiah hingga tahun depan.
Ekonom Senior Mandiri Sekuritas Leo Putra Rinaldy mengatakan, ada perubahan struktural terhadap pertumbuhan perekonomian global di 2016 mendatang. Yang menjadi motor pertumbuhan perekonomian global kedepan tidak lagi dikendalikan oleh negara berkembang, melainkan dikendalikan oleh negara maju.
"Global ekonomi ke depan yang biasanya didorong oleh negara berkembang dari China, sekarang mulai berubah, yaitu dari negara maju seperti Amerika Serikat," kata di Jakarta, Senin lalu, 21 Desember 2015.
Leo menjelaskan, ke depannya perekonomian domestik akan terpengaruh risiko perekonomian global, yaitu kenaikkan suku bunga The Fed secara bertahap dan terbatas hingga menyentuh 1,25 persen, dan perlambatan perekonomian Tiongkok. Menurutnya, kedua indikator tersebut akan memengaruhi nilai tukar mata uang Garuda yang akan diprediksi mengalami pelemahan.
Leo merincikan lebih jauh, jika pertumbuhan Tiongkok jauh di bawah ekspektasi, yaitu di bawah enam persen, risiko pengaruh terhadap perekonomian Indonesia akan lebih besar dibandingkan pengaruh dari kenaikan suku bunga Amerika Serikat.
"Jika pertumbuhan perekonomian China di bawah enam persen, pengaruhnya bukan hanya pada rupiah, namun ke sektor moneter dan sektor riil," tuturnya.
Dengan demikian, untuk pemulihan ekonomi dalam negeri, kata Leo, pemerintah perlu menerapkan kebijakan yang mendukung sektor manufaktur serta penyediaan infrastruktur. Sebab, selama ini Indonesia selalu mengandalkan komoditas ekspor yang tengah melambat.
Dewan Komisioner Pengawas Pasar Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bidang Pasar Modal, Nurhaida, mengatakan, meskipun pihaknya tidak bisa memprediksikan bagaimana kinerja pasar modal hingga akhir tahun, OJK sudah menyiapkan sejumlah antisipasi melalui kebijakan atau regulasi agar penurunan kinerja pasar saham tidak terlalu jauh.
"OJK antisipasi saat ekonomi membaik, kita siap dengan perangkat yang diperlukan," tuturnya.
Di antaranya, dilakukannya peningkatan jumlah produk dan kemudahan penawaran saham perdana di pasar modal, ditambah dengan adanya daya serap pemerintah ke program infrastruktur. OJK berharap, semua kebijakan itu dapat membawa perubahan untuk perekonomian Indonesia, yang akan berimbas pada IHSG.
Sepanjang tahun ini, OJK telah mengeluarkan sekitar 35 kebijakan industri keuangan dalam rangka mendorong stimulus perekonomian. Adapun, untuk pasar modal ada sekitar 15 kebijakan.
Analis LBP Enterprise Lucky Bayu Purnomo meramalkan IHSG tahun depan (2016) akan tembus level 5.000. Dibarengi, dengan penguatan rupiah tahun depan yang akan berada di level Rp13.000 per dolar AS.
Menurutnya, pasar membaca sentimen dari kebijakan pemerintah yang ditetapkan saat ini. Pemerintah harus mencuri hati pasar dalam merealisasikannya.
"Kebijakan itu untuk mencuri hati itu pelaksanaan paling cepat tahun depan," kata dia saat dihubungi oleh VIVA.co.id, Jumat lalu, 25 Desember 2015.
Kebijakan pemerintah harus cepat diimplementasikan, lantaran pasar khawatir pertumbuhan ekonomi di AS yang saat ini mulai pulih. Hal itu sudah tercermin dari naiknya suku bunga acuan The Fed yang akan mendorong dolar AS untuk menguat.
"Kita tahu suku bunga AS sudah naik. Mereka percaya pertumbuhan ekonomi kuat. Dikhawatirkan kepercayaan diri AS akan mendorong dolar menguat, jadi secepat mungkin kebijakan itu harus direalisasikan. Artinya, rupiah kita akan terpuruk," tuturnya.
Lucky mengamati bahwa IHSG yang saat ini mulai naik ke zona hijau dan penguatannya diharapkan akan berlanjut hingga tahun depan. Optimisme pasar terhadap intervensi dari pemerintah mulai memperbaiki iklim politik di segala bidang.
Kemudian, sentimen positif datang dari Bank Indonesia, yang selama ini dinilai cukup berhati-hati. Pasar melihat, BI dapat menjaga nilai mata uang rupiah terhadap dolar AS, serta kualitas inflasi pada tahun depan.
IHSG dan rupiah pun diharapkan akan semakin kuat dan stabil dari segala gejolak ekonomi eksternal di masa depan.
Penulis: Daurina Lestari