Kontrak JICT ke Asing Dinilai Lebih Kecil dari 20 Tahun Lalu
- VIVA.co.id/Ahmad Rizaluddin
VIVA.co.id - Kebijakan Menteri Badan Usaha Milik Negara, Rini Soemarno, menyetujui perpanjangan kontrak Jakarta International Container Terminal (JICT) dianggap melanggar perundangan. Di antaranya, Undang-Undang Nomor 19 tahun 2003 tentang BUMN, bahwa perpanjangan yang melibatkan pihak ketiga itu tidak melibatkan perizinan dari Kementerian Perhubungan selaku otoritas pelabuhan utama Tanjung Priok.
Demikian menurut peneliti pusat studi kerakyatan dari Universitas Gajah Mada, Fahmi Radhi. "Perpanjangannya juga merugikan negara. Nilai perpanjangan kontrak 2015 hanya sebesar US$215 juta, lebih kecil dari 20 tahun lalu yakni sebesar US$231 juta," kata Fahmi dalam keterangan tertulisnya, Sabtu 26 Desember 2015.
Berita Terkait:
Menurut Fahmi, JICT merupakan aset negara strategis yang seharusnya dikelola BUMN dengan kepemilikan saham 100 persen. Namun karena krisis moneter pada 1997, atas tekanan IMF (international Monetary Fund) dijual oleh negara kepada perusahaan asing Huntchison Port Holdings.
Kala itu, lanjut Fahmi, JICT dijual seharga US$243 juta. Dengan komposisi saham, Huntchison Port Holdings sebesar 51 persen aset dan Pelindo II sebesar 49 persen, dengan jangka waktu konsensi dimulai pada tahun 2009 dan berakhir pada 2019.
“Sejak 27 Juli 2012 Direktur Utama Pelindo II RJ Lino sudah merintis proses perpanjangan kontrak JICT, namun lantaran Menteri BUMN dan Menteri Perhubungan pada masa Pemerintahan SBY tidak memberikan ijin, RJ Lino belum bisa memperpanjang kontrak. Namun pada 9 Juni 2015 Menteri BUMN Rini Soemarno justru mengeluarkan ijin prinsip perpanjangan kontrak,” beber Fahmi. (ren)