Ini 6 Tantangan BUMN Sebagai Agen Pembangunan

Ilustrasi pembangunan
Sumber :
  • ANTARA/Rivan Awal Lingga
VIVA.co.id - Badan Usaha Milik Negara (BUMN) punya dua peran, yaitu agen penciptaan nilai dan agen pembangunan. Sebagai agen pembangunan, tantangan utamanya adalah kesenjangan pembangunan dan pemerataan kesejahteraan.

Deputi Bidang Restrukturisasi dan Pengembangan Usaha Kementerian BUMN, Aloysius K. Ro, memaparkan ada enam tantangan yang harus dihadapi BUMN. 

"Tantangan yang pertama adalah pembangunan belum merata, sehingga belum bisa memenuhi kebutuhan pemerataan kesejahteraan. Pada satu dekade ini, indeks gini ratio meningkat menjadi 0,43 persen," katanya dalam acara 'Reshaping, Sharpening, and Outlook BUMN 2016' di Hotel Borobudur, Jakarta, Kamis 17 Desember 2015. 

Pihak kementerian pun mengharapkan, perusahaan pelat merah bisa berkontribusi terhadap pemerataan pembangunan.

Kedua, adalah tantangan di energi dan pangan. "Yang paling menyesakkan adalah ketergantungan kita terhadap impor," kata dia.

Menurut Aloysius, ketergantungan bidang pangan dan energi dari luar negeri membuat kedaulatan di dua sektor ini akan terhambat. Selain itu, impor pangan dan energi bisa menggerus devisa.

Tantangan yang ketiga adalah kualitas sumber daya manusia (SDM) dalam bersaing dengan negara-negara di kawasan. 

Bonus demografi ini tak hanya dilihat dari segi kuantitas, tapi juga dilihat dari kualitas. Produktivitas Indonesia kalah dari Thailand dan Vietnam.

"SDM kita di peringkat ketjuh atau kedelapan, hanya sedikit lebih baik di atas Laos," kata dia.



Tantangan yang keempat adalah masalah inklusi keuangan. Masih banyak masyarakat yang belum terjangkau akses keuangan. Hanya 26 persen dari penduduk di atas 15 tahun yang mempunyai rekening di bank, dan di antaranya baru 10 persen yang mempunyai simpanan di atas Rp5 juta.

Tantangan yang kelima adalah mayoritas bahan baku industri infrastruktur dan industri dasar berasal dari impor. 

Misalnya, di industri farmasi ada 99 persen bahan baku obat (BBO) yang dipasok dari Tiongkok dan India.

Tantangan yang terakhir, keenam, adalah biaya logistik yang mahal. Biaya ini membuat sektor-sektor usaha di Indonesia tak efisien. "Lalu, ada logistik nasional. Biaya logistik kita jauh di atas Malaysia dan Singapura," kata dia. (asp)