Bioteknologi Pertanian Dorong Kemandirian Pangan
Sabtu, 24 Oktober 2015 - 23:57 WIB
Sumber :
VIVA.co.id - Musim kemarau yang panjang di Indonesia dan sebagian wilayah Asia membuat tingkat produksi pangan khususnya padi diperkirakan menurun dari target. Panjangnya kemarau kali ini tak lepas dari dampak perubahan iklim yang sudah menjadi ancaman.
Baca Juga :
Untuk mengatasi kondisi alam ini dan menjaga tingkat produksi yang stabil atau bahkan bisa meningkat, memerlukan sebuah solusi mendesak. Jika tidak, ancaman krisis pangan global seperti yang terjadi pada 2008 bukan mustahil akan terulang.
Salah satu alternatif solusi yang paling mungkin untuk menjawab tantangan alam adalah dengan solusi teknologi, di antaranya dengan memanfaatkan bioteknologi. Dalam menghadapi kenyataan kekeringan saat ini, bioteknologi telah merilis varietas padi tahan kekeringan.
Bahkan, ketika memasuki musin penghujan nantinya, bioteknologi pun telah pula menghasilkan varietas padi tahan banjir. Masih banyak lagi contoh varietas-varietas tanaman pangan dan non-pangan yang mampu berproduksi tinggi serta memiliki keunggulan lainnya seperti tahan hama wereng, tahan herbisida, kaya akan vitamin serta lainnya yang merupakan buah karya bioteknologi.
Peran bioteknologi tanaman pangan dan non-pangan di dunia telah memperlihatkan perkembangan kemajuan begitu pesat. Beragam produk varietas telah dihasilkan dan telah pula dipasarkan ke publik global. Sebut misalnya varietas biotek kedelai, jagung, tomat, pepaya, labu, paprika, kapas, kanola, alfalfa dan lainnya.
Begitu pula bila melihat sebaran luas areal tanaman-tanaman biotek di dunia pun terus bertambah secara signifikan. Itu artinya semakin banyak negara yang mulai membuka diri dan menerima kehadiran varietas tanaman biotek karena melihat manfaat baik bagi petani dan lingkungan.
Merujuk data yang dikeluarkan oleh International Service for Acquisition Agri-biotech Application (ISAAA), total sebaran luas tanaman biotek di dunia per 2015 sudah mencapai 181 juta hektare. Berdasarkan hasil studi PG. Economic Ltd, tanaman bioteknologi membantu para petani memperoleh pendapatan yang lebih baik.
Laba bersih dari hasil usaha tani pada 2013 mencapai Rp291 triliun (US$20,5 miliar), setara dengan rata-rata peningkatan sebesar Rp1,7 juta (US$122) per hektare.
Jika diakumulasi, maka periode 17 tahun (1996–2013), keuntungan global mencapai Rp1.895 triliun (US$133,5 miliar) dan keuntungan tersebut dinikmati oleh para petani baik di negara berkembang maupun negara maju.
Dalam keterangan pers yang diterima VIVA.co.id, Sabtu 24 Oktober 2015, paparan tersebut muncul dalam lokakarya setengah hari dengan tema “Food Biotechnology Communicating, Media Relations and Multi-Sectoral Collaboration Training Workshop" yang diselenggarkan di Denpasar beberapa waktu lalu.
Indonesian Biotechnology Information Center (IndoBIC) bekerja sama dengan International Food Council (IFIC) Foundation, Universitas Udayana dan United States Department of Agriculture Foreign Agricultural Service (USDA-FAS), didukung oleh Perhimpunan Bioteknologi Pertanian Indonesia (PBPI), SEAMEO BIOTROP dan The International Service for the Acquisition of Agri-biotech Applications (ISAAA) menggelar ajang internasional tersebut.
Hadir sebagai pembicara utama adalah Agus Pakpahan (Ketua Komisi Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetika (KKH-PRG), Bambang Purwantara dari IndoBIC, McHughen, Profesor bioteknologi dari University of California, Riverside, Andrew Benson dari IFIC Foundation, dan Heryanto Lingga, wartawan senior Indonesia.
"Bioteknologi memiliki potensi untuk meningkatkan produksi pangan, kesejahteraan petani dan mengurangi tekanan terhadap lahan serta lingkungan hidup melalui peningkatan produktivitas pertanian secara intensif dari setiap hektare lahan pertanian yang ada di Indonesia," ujar Direktur IndoBIC dan Anggota KKH-PRG Bambang Purwantara.
Ketua KKH-PRG, Agus Pakpahan menjelaskan, sejak pertama kali produk biotek dikomersialkan di dunia pada 1996, Indonesia pertama kali mengadopsi di tahun 2000 dengan menanam kapas biotek di Sulawesi, hingga kini terdapat 15 produk bioteknologi yang telah mendapatkan persetujuan keamanan pangan di Indonesia.
***
Komisi Keamanan Hayati Indonesia baru-baru ini menyetujui dua produk bioteknologi antara lain tebu tahan kekeringan dan jagung toleran herbisida. Kedua produk ini sedang menunggu persetujuan untuk rilis komersial agar memenuhi persyaratan untuk dibudidayakan dalam pertanian di Indonesia bagi kepentingan petani.
Namun, kehadiran bioteknologi tanaman pangan belumlah sepenuhnya diterima di semua negara secara terbuka. Meski seiring dengan perjalanan waktu dan penyempurnaan produk tanaman biotek terus dilakukan, akan bertambah pula negara-negara yang membuka pintu mereka akan kehadiran tanaman biotek ini.
Data ISAAA sudah memperlihatkan hal itu. Indonesia, misalnya. Sampai saat ini masih mengambil sikap hati-hati dalam menerima kehadiran tanaman biotek ini.
Secara riset bioteknologi, Indonesia tidaklah ketinggalan dibanding dengan negara-negara maju. Hanya saja, untuk pelepasan produk tanaman rekayasa genetika, sikap hati-hati pemerintah Indonesia bukanlah menolak akan produk tanaman biotek ini.
Tetapi, setiap rencana pelepasan produk rekayasa genetika di dalam negeri akan melewati uji keamanan pangan dan uji keamanan hayati yang ketat. Setelah itu barulah bisa keluar rekomendasi Komisi Keamanan Hayati (KKH) kepada menteri pertanian untuk melepas sebuah produk tanaman rekayasa genetika tersebut.
Karena itu Agus, untuk memetakan perkembangan terkini akan riset bioteknologi di dunia dan produk rekayasa genetika yang dihasilkannya, sebuah lokakarya yang membahas upaya efektif mengomunikasikan akan bioteknologi dan buah karyanya itu digelar.
Kegiatan ini menjadi ajang berkumpulnya ilmuan bioteknologi dunia dan dalam negeri, perusahaan bioteknologi global dan nasional, pemerintah selaku regulator dan media massa membicarakan isu-isu sentral terkait bioteknologi dan bagaimana memperkenalkan bioteknologi kepada masyarakat luas.
Lokakarya diharapkan akan ada kesamaan sudut pandang dalam menyikapi kehadiran bioteknologi sebagai alternatif terkini dalam menjawab terus menurunnya produksi pangan di Indonesia dan global.