Warga Desa di Turki Bertutur dengan Siulan
- www.npr.com
VIVA.co.id - Ada yang unik dari cara berkomunikasi antarwarga di Desa Kuskoy, Turki, dekat pegunungan di Pantai Laut Hitam. Alih-alih menggunakan bahasa verbal lokal, penduduk yang desanya terhampar jagung dan umbi ini saling berkomunikasi dengan lainnya memakai "bahasa burung" alias siulan.
Kebiasaan warga Kuskoy menggunakan siulan untuk berkomunikasi sudah berlangsung sejak lama.
Dikutip NPR, Sabtu 26 September 2015, misalnya Nazmiye Cakir yang berusia 60 tahun. Ia mengaku telah mempraktikkan "bahasa burung" itu dari kakek neneknya.
Bahasa siulan dipakai untuk meminta tolong kepada tetangga sampai memberitakan sebuah kabar tertentu.
"Misalnya, Anda ingin minta tolong tetangga untuk membantu panen jagung besok, atau jika ada pemakaman, keluarga akan bersiul memberitakan hal itu ke seluruh lembah desa," kata dia.
Namun, menurut Cakir, ada hal tertentu yang dilarang berkomunikasi dengan bersiul, yaitu terkait cinta.
"Sebab, jika Anda diketahui bersiul untuk itu, Anda akan tertangkap," kata Cakir.
Halil Cindik, kepala Kuskoy Bird Language Association yang mendemokan bahasa siulan dalam bentuk frase dan kata. Bunyi siulan yang dipamerkan Cindik ini bisa terdengar hingga satu mil jaraknya, tergantung situasinya.
Bahasa burung ala penduduk Desa Kuskoy itu pun menarik perhatian ilmuwan. Pakar bio-psikologis, keturunan Turki-Jerman, Onur Gunturkun, mengatakan, sangat takjub dengan cara berkomunikasi warga desa tersebut.
"Saya benar-benar terpesona saat pertama kali mendengar hal itu. Dan saya langsung melihat relevansi bahasa ini untuk ilmu pengetahuan," kata Gunturkun.
Gunturkun yang selama ini mendalami riset asimetri otak mengatakan bahasa lisan diproses oleh otak bagian kiri, sedangkan musik diproses untuk otak kanan. Tapi, saat ada nada suara, menurutnya, bisa diproses dengan tumpang tindih meski pada dasarnya terpisah.
Lantas, ia meriset "bahasa burung" penduduk Desa Kuskoy. Dalam pengujiannya, ia melibatkan penduduk desa berkomunikasi menggunakan headphone dan direkam. Gunturkun mencoba agar penduduk desa mengucapkan siulan dan suku kata untuk direkam.
Dalam studinya, Gunturkun ingin melihat bagaimana kemampuan otak penduduk desa dalam memproses bunyi suku kata. Hipotesanya adalah jika orang memainkan dua suku kata berbeda, satu di telinga kiri dan satu di kanan, maka orang akan cenderung mendengar hanya satu suku kata yang dimainkan ke telinga kanan. Telinga kanan, kata dia, dikendalikan oleh otak kiri.
Nah, dalam hasil studinya, Gunturkun menemukan, saat ia memainkan siulan suku kata, penduduk desa cenderung mendengar keduanya. Hal ini menunjukkan penduduk desa menggunakan kedua belahan otak sampai batas yang jauh lebih besar.
"Jadi, pada akhirnya, ada kontribusi seimbang dari kedua belahan otak. Memang, tergantung pada cara kita berbicara, belahan (otak) memiliki bagian berbeda dari proses pengolahan bahasa," ujar dia.
Namun sayangnya, penyebaran ponsel telah dikhawatirkan akan merusak tradisi komunikasi dengan siulan. Bahasa siulan dikhawatirkan akan ditinggalkan penduduk desa yang lebih melihat manfaat praktis ponsel.
Tapi, untungnya, penyelenggaraan festival tahunan siulan bisa menjaga tradisi komunikasi unik penduduk Kuskoy.
Cara berkomunikasi unik berbasis siulan ini ternyata bukan hanya dipraktikkan di Kuskoy. Penduduk di Kepulauan Canaria, kawasan Samudera Atlantik juga memiliki bahasa burung tersebut.