Ilmuwan Bangkitkan Virus Monster Berusia 30.000 Tahun
Jumat, 11 September 2015 - 06:28 WIB
Sumber :
- www.phys.org
VIVA.co.id
- Sebuah virus raksasa telah diawetkan dengan baik di wilayah bagian utara Rusia. Ilmuwan mengklaim akan membangkitkan kembali virus tersebut untuk mengetahui apakah virus ini berbahaya bagi hewan dan manusia.
Dilansir melalui
Daily Mail
, Jumat 10 September 2015, virus bernama Mollivirus sibericum ini berusia 30.000 tahun. Disebut raksasa karena ukuran virus ini lebih berat dari setengah micron atau sekitar seperseribu milimeter (0.00002 per inci).
Mollivirus sibericum, yang diartikan sebagai 'virus lembut dari Siberia', ini berukuran 0,6 microns dan bisa dilihat menggunakan mikroskop biasa. Virus ini ditemukan oleh French National Centre for Scientific Research.
Ini disebut sebagai virus raksasa kedua yang ditemukan tim peneliti. Empat virus raksasa yang pernah diidentifikasi oleh para ilmuwan adalah Minivirus pada 2003, Pandoravirus ditemukan 2013, dan Pithovirus sibericum yang ditemukan tahun lalu.
Imuwan menduga, perubahan iklim dan mencairnya es akan menjadi penyebab virus yang sama, atau patogen berbahaya, muncul kembali. Penelitian ini telah dipublikasikan dalam jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences (PNAS).
"Dua tipe tambahan dari virus raksasa telah ditemukan. Sekarang kami menyebutnya dengan nama Mollivirus sibericum, jenis keempat dari virus raksasa yang diisiolasi dari proses pembekuan yang sama. Empat tipe virus yang pernah ditemukan memiliki struktur, ukuran, panjang gen dan siklus replikasi yang berbeda," ujar peneliti Jean-Michel Claverie.
Baca Juga :
Mollivirus sibericum memiliki 500 gen. Sedangkan Pandoravirus memiliki 2.500 gen. Virus Influenza A hanya memiliki delapan gen.
Pada 2004, ilmuwan Amerika 'membangkitkan' virus flu Spanyol yang pernah membunuh puluhan juta orang di awal abad ke-20. Mereka melakukan kebangkitakan virus itu untuk memahami cara kerja patogen yang ada agar virus itu bisa dicegah ketika muncul kembali suatu saat ini.
Penelitian itu dilakukan di lab Badan Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (Center for Disease Control and Prevention/CDC) di Amerika.