Banjir Tenaga Kerja Impor, Ironi di Tengah Kelesuan Ekonomi

Rupiah Buat Suram Sektor Properti
Sumber :
  • VIVA.co.id/Ikhwan Yanuar
VIVA.co.id - Persatuan Insinyur Indonesia (PII) berharap mendapatkan peran berarti dalam proyek-proyek pembangunan berskala besar yang telah dicanangkan pemerintah. 

Kalangan insinyur menyatakan siap dan tak ingin kesempatan besar tersebut hilang direbut tenaga ahli teknik asing. Pemerintah diimbau bersikap lebih tegas dan membuat instrumen peraturan yang efektif untuk menyaring tenaga kerja asing yang dipastikan akan berbondong-bondong masuk ke Indonesia.

“Indonesia punya sedikitnya 750 ribu insinyur dari berbagai bidang kejuruan. Insinyur-insinyur Indonesia juga dikenal punya kapabilitas yang mumpuni. Bahkan, banyak insinyur Indonesia yang direkrut perusahaan-perusahaan asing di luar negeri. Intinya, insinyur Indonesia siap berperan,” kata Ketua Umum PII, Bobby Gafur Umar, seperti dikutip dalam keterangan tertulisnya, Senin, 7 September 2015.

Apalagi, selama ini hampir setengah dari jumlah insinyur di Indonesia tidak bekerja dan tidak mengaplikasikan keahlian keinsinyurannya di bidang yang semestinya. 

“Banyak sekali dari mereka yang bekerja bukan sebagai insinyur di bidang-bidang yang juga tidak terkait dengan engineering. Jadi, dengan adanya proyek-proyek pembangunan infrastruktur ini, seharusnya bisa lebih banyak insinyur kita yang bekerja dan berkarier sebagai tenaga kerja ahli teknik, sesuai bidang mereka,” ujar Bobby. 

Bobby mengatakan, proyek-proyek besar yang segera dibangun di Indonesia membutuhkan banyak sekali tenaga kerja, termasuk sarjana teknik atau insinyur. 

Proyek 35 ribu MW

Dia mencontohkan, mega proyek kelistrikan 35 ribu MW saja, diperkirakan akan memerlukan sedikitnya 50 ribu insinyur. Dia masih optimis, insinyur-insinyur lokal dapat memenuhi kebutuhan tersebut. 

“Itu baru satu proyek besar. Masih banyak proyek besar dan skala kecil lain yang juga akan dikerjakan. Nilai proyek infrastrukur yang sudah dicanangkan pemerintah telah dihitung mencapai sekitar Rp5.500 triliun. Jumlah yang sangat besar yang harusnya dapat menyediakan kesempatan kerja yang juga sangat besar di dalam negeri,” kata Bobby.

Menurut dia, proyek-proyek besar tersebut hampir pasti akan menyertakan juga banyak tenaga ahli teknik yang “diboyong” oleh investor asing yang ikut mendanai proyek-proyek tersebut. 

Bobby dapat memahami, langkah dan kebijakan pemerintah yang terus memperbaiki iklim investasi di Indonesia demi memacu pertumbuhan ekonomi sering membawa efek yang menyakitkan. 

“Misalnya ya itu tadi, modal yang dibawa investor asing harus mengorbankan tingkat kandungan dalam negeri (TKDN), termasuk tenaga kerja lokal. Artinya, mereka membawa masuk modal, sekaligus mensyaratkan pemakaian tenaga kerja dari negerinya. Biasanya begitu. Ya, kami dapat memahami hal demikian, meskipun sebenarnya kami harus juga punya posisi tawar yang kuat untuk membatasinya,” ujarnya. 

Megaproyek ini harusnya memunculkan ‘megapeluang’ juga bagi Indonesia. Bukan justru menjadikan Indonesia harus ‘miris’, karena banyak kesempatan kerja di sini diisi oleh tenaga asing. 

Bobby juga menggambarkan bagaimana selama ini, khususnya di pemerintahan sebelum ini, banyak peluang pengembangan kemampuan dan kapasitas nasional yang tidak dapat termanfaatkan dengan baik. Hal tersebut karena pemerintah tidak memprioritaskan pemakaian kandungan dalam negeri dalam proyek-proyek infrastruktur dan pengembangan industri strategis.  

“Pemerintah kita cenderung mengabaikan penggunaan SDM dan sumber daya milik kita sendiri, selama ini. Padahal, jika lebih banyak hal yang kita kerjakan dengan tangan kita sendiri, kompetensi dan kapasitas tenaga kerja kita akan terus meningkat," ungkapnya.

Dia menuturkan, dengan demikian lambat laun Indonesia akan memiliki angkatan kerja nasional yang mumpuni, menguasai teknologi industri dan infrastruktur dari hulu hingga hilir.  

"Jadi bukan hanya jadi operator atau ‘tukang jahit’ yang tidak memiliki keunggulan kompetitif,” tambahnya.

Menurutnya, penggunaan tenaga ahli asing boleh-boleh saja, sepanjang ada alih teknologi dan alih kompetensi kepada tenaga lokal.  

"Artinya, keberadaan sang tenaga asing tersebut memang diperlukan karena kita masih perlu belajar. Namun, ketika kompetensi tenaga lokal kita sudah terbentuk, tidak perlu lagi kehadiran tenaga ahli impor tersebut,” katanya. 
 
Data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menunjukkan, sampai Juni 2015 lalu realisasi penanaman modal asing (PMA) mencapai 4.460 proyek senilai Rp92,2 triliun. 

Ada sekitar 100 proyek PMA terdiri atas 64 proyek di sektor industri, 14 di sektor kelistrikan, dan sisanya di sektor tambang, perkebunan, pariwisata, transportasi dan peternakan. Total nilai realisasi investasi 100 PMA itu mencapai Rp80 triliun. 

Berdasarkan survei BKPM, 100 proyek PMA tersebut diproyeksikan mampu menyerap 65 ribu tenaga kerja langsung, dengan efek berantai (multiplier effect) adanya penciptaan tenaga kerja tak langsung hingga sekitar empat kali lipat. 

Artinya, jumlah tenaga kerja yang berpotensi terserap dari 100 proyek PMA itu sekitar 240 ribu orang. Serapan ini sekitar 64 persen dari total penyerapan tenaga kerja dari seluruh proyek PMA dan penanaman modal dalam negeri (PMDN) pada kuartal II-2015 sebanyak 370.945 orang. 

Dengan demikian, katanya, peranan proyek PMA dalam menyerap tenaga kerja, sekaligus menekan angka penggangguran, cukup penting.
 
“Angka serapannya lumayan signifikan. Dalam lima tahun terakhir, 2010-2014, mencapai 4,7 juta orang atau bertumbuh 13,74 persen per tahun. Tinggal sekarang bagaimana pemerintah mencari cara jitu untuk menyaring tenaga kerja asing yang ikut masuk bersama masuknya modal para investor tersebut. Kami senang ada Rp80 triliun masuk ke Indonesia, tapi rasanya kurang ‘pas’ dan menjadi ironi juga jika karena hal itu kita harus mengorbankan hilangnya ribuan kesempatan kerja di dalam negeri,” kata Bobby. (one)