Wayang, Media Efektif Membangun Jati Diri Bangsa

Pagelaran wayang kulit menampilkan dalang Ki Sigit Ariyanto
Sumber :
VIVA.co.id
- Majelis Permusyawaratan Rakyat menyelenggarakan pagelaran seni budaya melalui pementasan wayang kulit sebagai salah satu bentuk sosialisasi nilai-nilai luhur bangsa yang terkandung dalam Pancasila di Alun-alun Kabupaten Blora, Jawa Tengah, Jumat malam 24 Juli 2015.


Pagelaran wayang kulit menampilkan dalang Ki Sigit Ariyanto dengan lakon "Wahyu Makutharama" dipadati warga masyarakat Blora. Kemeriahan malam di Alun-alun kota Blora diwarnai panggung dan tenda yang megah dan ratusan pedagang kaki lima di seputaran alun-alun.


Pagelaran wayang kulit ini dihadiri Bupati Blora Djoko Nugroho dan jajaran pimpinan dan SKPD Kabupaten Blora. Dari MPR tampak hadir Ketua Kelompok DPD MPR RI Bambang Sadono, Guntur Sasono (Ketua Fraksi Partai Demokrat MPR RI), M. Fadholi (Fraksi Partai Nasdem), Sri Wulan (Fraksi Partai Gerindra) dan M. Gamari (Fraksi PKS).


Sebelum menyerahkan tokoih Arjuna kepada dalang Ki Sigit Ariyanto sebagai pertanda dimulainya pagelaran wayang kulit ini, Bambang Sadono mewakili Pimpinan MPR mengatakan MPR memanfaatkan seni budaya wayang kulit sebagai media sosialisasi karena wayang merupakan seni budaya tradisional Indonesia yang tidak hanya sebagai tontonan tapi juga tuntunan dalam kehidupan masyarakat.


"Kegiatan wayang adalah bentuk kesenian yang lengkap, tak hanya ajaran tapi juga musik, drama, keterampilan pedalangan, hiburan," katanya. Dengan demikian, metode sosialisasi ini mudah dipahami dan tidak membosankan.


Lakon "Wahyu Makutharama", kata Bambang, menceritakan tentang sifat yang harus dimiliki seorang pemimpin agar menjadi panutan dan teladan bagi rakyat. "Cerita ini mirip dengan Bung Karno ketika menggali Pancasila, menggali sifat-sifat kepemimpinan, yaitu Astra Brata," ujarnya.


Delapan sifat pemimpin itu meniru Bumi, Bulan, Matahari, Bintang, Air, Angin, Api, Laut. "Pemimpin harus meniru bumi untuk menjadi sumber kebutuhan hidup. SIfat laut atau Samudra, pemimpin harus terbuka, tidak boleh dendam," kata Bambang memberi contoh.


Dalam kondisi bangsa dan negara saat ini, cerita Wahyu Makutharama dapat dijadikan sebagai refleksi bagi setiap pemimpin apakah sudah mengamalkan dan melaksanakan ajaran Astra Brata demi mewujudkan janji-janji kebangsaan, kata Bambang yang juga Ketua Badan Kajian MPR ini.


Bambang berharap pagelaran seni budaya ini dapat menjadi media yang efektif untuk membangun jati diri bangsa Indonesia dalam kerangka penguatan karakter dan kepribadian bangsa. "Tentunya dijiwai nilai-nilai Pancasila, UUD NRI Tahun 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika," kata senator dari Jawa Tengah ini.

Kabupaten Blora menjadi tempat pelaksanaan pagelaran seni budaya ketiga yang diselenggarakan MPR. Sebelumnya MPR telah menggelar kegiatan serupa di Provinsi DI Jogyakarta dan Provinsi Sumatera Selatan.

Lakon "Wahyu Makutharama" mengisahkan tentang pencarian mahkota yang diberi nama Sri Batara Rama. Barangsiapa memiliki mahkota itu maka akan menjadi sakti dan kelak akan menurunkan raja-raja yang memerintah di Marcapada. Karena berkasiat menurunkan raja-raja, mahkota itu kemudian disebut sebagai "Wahyu Makutharama".


Ternyata, dalam pencarian mahkota itu, diketahui bahwa mahkota itu bukanlah berwujud benda, melainkan berupa ajaran luhur bagi seorang pemimpin. Ajaran luhur itu dinamakan Astra Brata (delapan prinsip kepemimpinan berlandaskan pada sifat-sifat alam).