Konflik Yaman Tak Sekadar Perkara Agama

Dubes Indonesia untuk Yaman, Wajid Fauzi
Sumber :
  • VIVA.co.id/Ikhwan Yanuar

VIVA.co.id - Jeda kemanusiaan yang mulai diberlakukan di Yaman mulai hari Selasa pekan lalu, sukses terlaksana. Bahkan, utusan tetap Yaman di PBB, Ismail Ould Cheikh Ahmed, kembali menyarankan agar jeda kemanusiaan diperpanjang.

Tujuannya agar lebih banyak bantuan kemanusiaan dikirimkan bagi warga Yaman.

"Saya berharap (akan ada sebuah perpanjangan jeda kemanusiaan)," kata Ismail seperti dikutip kantor berita Reuters di sela konferensi mengenai Yaman yang dibuka Riyadh, Arab Saudi pada Minggu, 17 Mei 2015.

Bantuan kemanusiaan jelas sangat dibutuhkan oleh 25 juta warga Yaman, setelah koalisi negara Teluk yang dipimpin Arab Saudi mulai melakukan serangan udara pada 26 Maret lalu. Sejak digelar aksi militer dengan nama "Badai Ketegasan", PBB mencatat 300 ribu orang telah kehilangan tempat tinggal.

Sementara organisasi kesehatan dunia PBB (WHO) pada akhir April lalu mencatat lebih dari 1.000 orang meregang nyawa di Yaman akibat peperangan tersebut. Stasiun berita Al Jazeera, edisi 24 April 2015 melansir sebanyak 551 orang di antaranya merupakan warga sipil.

Bahkan, korbannya pun mencakup anak-anak. UNICEF mencatat ada sekitar 115 anak tewas terbunuh dan 172 anak terluka akibat konflik itu.

Situasi di Yaman yang kian memburuk membuat Pemerintah Indonesia juga harus memulangkan semua warganya dari negara di kawasan Timur Tengah itu. Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Tedjo Edhi Purdijatno mengatakan ada 4.159 warga Indonesia yang bermukim di Yaman dan telah mulai dipulangkan sejak Desember tahun lalu.

Namun, operasi pemulangan besar-besaran WNI dari Yaman baru digelar pada 1 April kemarin. Walau telah dikirim tim evakuasi khusus, para WNI sempat menolak untuk dipulangkan. Mereka berpikir situasi di sana masih aman untuk dihuni.

Padahal, setiap hari suara tembakan rudal terdengar di telinga. Menurut Duta Besar RI untuk Yaman, Wajid Fauzi, hanya seruan dari orang tua lah yang ampuh untuk meminta mereka kembali ke Indonesia.

"Kalau ada telepon dari orang tua insya Allah mereka bersedia pulang ke Tanah Air, karena pada dasarnya setiap anak itu kan patuh terhadap orang tua," kata Wajid kepada VIVA.co.id awal bulan ini.

Alhasil, pemerintah turut mendorong para orang tua di Tanah Air agar segera menghubungi anak-anak mereka yang masih bersikeras ingin bertahan di Yaman. Hasilnya, mereka pun berubah pikiran. 

Selain itu tim pemulangan WNI yang dikirim secara khusus juga ikut mendekati pesantren tempat para mahasiswa menuntut ilmu. Pimpinan pesantren diharapkan bisa memberikan kelonggaran terhadap studi para WNI yang memilih untuk ikut dievakuasi.

Lalu, bagaimana kisah Wajid memulangkan ribuan WNI dari Yaman ketika situasi peperangan masih sengit? Apa saja strategi yang dilakukan Pemerintah Indonesia agar bisa mengeluarkan WNI dengan selamat dari sana? Berikut perbincangan khusus VIVA.co.id dengan Wajid Fauzi yang dilakukan pada Kamis, 7 Mei 2015 lalu di ruang kerja Direktur Perlindungan WNI dan Bantuan Hukum Indonesia Kementerian Luar Negeri di kawasan Pejambon, Jakarta Pusat:

Kondisi di Yaman hingga saat ini masih berkecamuk, sementara ada ribuan WNI yang diketahui masih bermukim. Di mana keberadaan mereka saat ini dan bagaimana kondisinya?

Mayoritas mereka berada di Al-Mukalla, Tarim, Seiyun dan sekitarnya. Kota Seiyun itu ada beberapa Itu ada di daerah selatan. Tarim juga berada di derah selatan, tetapi juga memiliki akses ke wilayah ke kota Salalah.

Jumlah mereka di tiga kota itu mencapai 900 orang lebih. Jadi bisa dibayangkan, mayoritas berada di situ. Maka dari itu kami memilih kota Salalah seandainya warga Indonesia ingin dievakuasi. Pintu yang paling mudah untuk mereka adalah pintu perbatasan ke kota Salalah.

Itu juga yang menjadi alasan operasional KBRI Sana'a dipindahkan ke kota tersebut.

Apakah WNI yang berada di kota Al-Mukalla dan Tarim sebagian besar pelajar atau santri?

WNI yang berada di Al Mukalla, Tarim, Seiyun itu merupakan santri. Karena mereka menuntut ilmu di ketiga kota tersebut.

Masih ada sekitar 250 orang WNI yang dilaporkan belum terdata. Lalu, bagaimana cara Pemerintah RI untuk mendata siapa-siapa saja orang ini dan memastikan keselamatan mereka?

Saat ini KBRI Sana'a mengeluarkan semacam surat keputusan pembentukan tim dukungan pendataan dan evakuasi. Jadi, bukan evakuasi yang besar-besaran, tetapi evakuasi yang reguler. Mungkin jumlahnya 10 atau 15 orang.

Tim ini bertugas untuk membantu WNI yang ingin dipulangkan dari Sana'a. Entah itu mengenai transportasi, izin keluarnya dan izin masuk. Di perbatasan, kami akan menghubungi kantor-kantor di perbatasan itu.

Tugas yang lain yakni melakukan pendataan. Total ada 10 orang di enam kota, di mana masing-masing kota terdiri dari dua orang. Kami akan kirimkan fasilitas transportasi dan dana agar mereka bisa bergerak melihat secara nyata di masing-masing kota jumlah WNI.

Perkiraan ada 250 WNI telah diketahui oleh tim tersebut. Hanya saja belum sempat didatangi. Untuk validasi belum bisa dilakukan. Tapi yang 944 WNI sudah berhasil divalidasi dan mereka hadir.

Apakah kota yang terletak di bagian selatan Yaman dianggap lebih aman, sehingga tim tersebut masih leluasa untuk bergerak?

Tim itu adalah mahasiswa. Mereka adalah orang-orang yang telah meminta izin ke KBRI untuk tidak meninggalkan Yaman dengan alasan mereka masing-masing. Mereka juga menyatakan kesiapannya untuk membantu KBRI. Oleh sebab itu, kami pantas memberikan mereka penghargaan, karena selain tetap tinggal di sana, mereka bersedia secara sukarela memberikan bantuannya kepada KBRI.

Tentu KBRI tidak menutup mata. Tidak mungkin kami biarkan mereka tanpa bantuan. Jadi, kami tetap berupaya memberikan fasilitas yang dapat diberikan. Seperti, jika mereka membutuhkan transportasi, maka akan kami bantu. Jika mereka membutuhkan sarana komunikasi, juga kami sediakan.

(Duta Besar RI untuk Yaman, Wajid Fauzi, yang ditemui di ruang kerja Direktur Perlindungan WNI dan BHI Kemlu RI di kawasan Pejambon, Jakarta Pusat. Wajid tengah berada di Indonesia usai operasional KBRI digeser ke Salalah, Oman karena alasan keamanan. Foto: Ikhwan Yanuar)

Apakah alat komunikasi masih bisa digunakan di sana?

Mohon didoakan semoga tidak diputus. Hingga saat ini alat komunikasi masih bisa digunakan. Kami menggunakan ponsel biasa pun bisa tanpa menggunakan telepon satelit.

Tetapi, mohon dicatat karena perubahan itu dilakukan terjadi setiap hari. Kemarin saya memperoleh laporan masih bisa digunakan.

Masih ada sebagian WNI di Yaman yang menolak untuk dievakuasi ke Tanah Air kendati kondisinya sudah genting. Apa saja upaya dari Pemerintah RI untuk membujuk mereka agar mau kembali pulang?

Saya tak ingin membuat analisa penyebab mereka enggan pulang ke Tanah Air. Namun, syarat yang paling jitu untuk membuat mereka pulang ke rumah adalah himbauan dari orang tua masing-masing.

Kalau ada telepon dari orang tua insya Allah mereka bersedia pulang ke Tanah Air, karena pada dasarnya setiap anak itu kan patuh terhadap orang tua. Itu berdasarkan pengamatan saya di lapangan.

Saya berharap selama komunikasi masih berjalan, cara ini dimanfaatkan oleh para orang tua untuk menghubungi anak-anaknya secara langsung. Jangan sampai (baru menghubungi) setelah terputus. Nanti kami malah kesulitan.

Kalau telepon tidak bisa digunakan, bagaimana dengan penggunaan surat elektronik, apa jaringan internet di sana masih berfungsi?

Ini beberapa tindakan penutupan informasi ini dilakukan oleh orang-orang yang tidak menyukai komunikasi kelompok tertentu. Kelihatannya bagian dari strategi untuk menutup informasi dan akses terhadap pengerahan kekuatan.

Sesungguhnya bukan orang Indonesia yang dilarang untuk berkomunikasi. Tetapi, jika dengan membuka akses komunikasi itu membuat satu kelompok lemah, sementara kelompok lain menguasai jalur komunikasi, maka mereka akan memotong itu.

Jadi, dipahaminya seperti itu. Kita berharap komunikasi tidak sampai diputus. Tapi memang pernah sampai 3-4 hari diblokir. Telepon dan internet di tiga provinsi. Namun, kemudian hidup lagi. It's just on and off. Semoga tidak terjadi lagi, tetapi kalau pun saluran komunikasi terputus tidak terlalu lama.

Siapa yang memiliki kekuatan untuk menghentikan jalur komunikasi di Yaman? Apakah pemerintah atau kelompok tertentu yang berkuasa di sana?

Pemerintah dalam hal ini Kementerian. Tetapi saat ini yang menguasai Kementerian di Sana'a adalah Al-Houthi. Semua lembaga di ibukota sudah dikuasai oleh kelompok Al-Houthi.



Berarti saat ini Yaman merupakan negara yang autopilot dan berjalan tanpa kepala negara?

Ya kurang lebih begitu. Terutama sejak Presiden Abdrabbuh Mansour Hadi mengundurkan diri tanggal  22 Januari lalu. Jadi, dimulai dengan Perdana Menteri mengajukan pengunduran diri kepada Presiden.

20 Menit berikutnya giliran Presiden mengundurkan diri. Jadi, memang saat ini Yaman merupakan negara tanpa pemerintahan. Kemudian, milisi Houthi mencoba menggelar dialog dengan berbagai kepentingan politik untuk merangkul beberapa pihak. Tapi bisa dibayangkan sulitnya.

Kesulitan ini saya dengar dari utusan khusus untuk PBB, Jamal bin Umar, yang saya temui secara langsung sangat sulit. Hasilnya tidak bisa diprediksi. Ternyata benar, Al Houthi membentuk satu lembaga sendiri yang bernama Komite Revolusi.

Komite tersebut kemudian menyatakan deklarasi konstitusi. Apa pun namanya di dalam laporan, itu sudah ada di media. Tetapi itu semua tidak dianggap valid oleh PBB atau bagian masyarakat di Yaman yang tak setuju dengan Al Houthi.

Oke, sejak saat itu ada pemerintahan tetapi pihak ini tak mengakui. Pihak yang ini tak mengakui kelompok yang ini. Semua menjadi terpencar-pencar. Tetapi, benar bahwa Yaman kini menjadi negara yang tak jelas pemerintahannya.

Sejak itu, KBRI melakukan seruan kembali yang kedua setelah bulan September 2014. Seruan kedua, kami lakukan pada Februari 2015. Negara ini tidak ada yang bertanggung jawab kalau terjadi sesuatu, ada yang kecurian sendal misalnya. Kita mau menuntut siapa, karena ke atasnya tidak ada. Apalagi kalau ada tindak kriminal yang lain. Jadi, tidak yang menyelesaikan masalah kalau terjadi persoalan.

(Dampak serangan udara koalisi militer Arab Saudi terhadap bangunan di Yaman. Foto: Reuters)

Jadi, selaku Dubes, Anda berurusan dengan siapa terkait dengan isu diplomatik jika Yaman dikatakan autopilot?

Kantor Kementerian Luar Negeri Yaman masih ada. Stafnya masih masuk. Jabatan paling tinggi di sana adalah Wakil Menteri. Jadi, Wamen masih ada di sana. Itu yang paling tinggi, tetapi Beliau pun tidak bisa mengambil keputusan yang sifatnya kebijakan.

Salah satunya ketika operasional KBRI dipindah ke Salalah, Oman, kami melaporkannya ke Wamen Yaman. 

Pada tingkat Direktur Jenderal masih ada semua. Pemerintahan dengan segala keterbatasan masih menjalankan semua.

Jadi, dalam kondisi seperti saat ini, para pejabat tinggi Yaman melapor kepada siapa?

Setelah Wamen, kami tidak tahu. Tetapi, kami juga melapor kepada Dirjennya.

Jadi, rumor yang sempat menyebut ada WNI yang ditahan oleh kelompok Al Houthi itu benar?

Seperti yang telah disampaikan kepada Anda sebelumnya, pemerintahan di ibukota Sana'a, itu telah dikuasai kelompok Al-Houthi. Sehingga, siapa pun yang melakukan sesuatu di sana, juga atas restu dari kelompok tersebut.

Faktanya WNI memang ditangkap oleh aparat. Para WNI ini ditemukannya di tahanan semacam polsek sana dan tersebar. Staf KBRI Sana'a mencarinya satu demi satu melalui polsek yang dekat dengan mereka. Alhamdulilah dalam dua hari kemudian ditemukan semua.

Kenapa para WNI ini ditangkap?

Karena masalah imigrasi. Izin tinggal mereka bermasalah. Saya memang belum memeriksa satu demi satu izin tinggal WNI itu. Jangan-jangan bisa saja tidak ada (izin tinggal) sama sekali.

Kalau dikatakan para WNI ini menentang ideologi yang dianut Al-Houthi maka hal tersebut butuh perdebatan panjang.

Tetapi, WNI yang ingin berkunjung ke Yaman hanya membutuhkan Visa on Arrival ya?

Tidak WNI tetap harus mengurus visa. Jika visanya habis maka harus mengurus izin tinggal. Sama saja seperti di Indonesia. Untuk beberapa hal, kadang izin tinggal kurang diperhatikan oleh beberapa WNI. Banyak yang tak memperhatikan itu.

Karena saya sempat bertanya di mana izin tinggalnya kepada beberapa WNI dan mereka menjawab belum sempat diurus. Mungkin ada razia terhadap pendatang, tetapi mereka tidak terjaring.

Menurut Anda, apa yang menjadi inti penyebab peperangan yang terjadi di Yaman saat ini? Apakah murni karena adanya pertentangan ideologi Sunni dengan Syiah atau konflik politik?

Saya kira campuran antara keduanya. Tidak bisa dipisahkan karena ini dan itu. Sangat kental campuran antara keduanya. Bisa divalidisi mengenai hal itu.

Memang karena faktor ideologi tetapi juga jelas kalau ini juga melibatkan konflik politik. Kenapa kemudian bisa terjadi peperangan, karena Presiden Hadi meminta bantuan kepada Arab Saudi. Kemudian mereka merespons secara positif dan mengirimkan pasukan.

Menurut saya tidak sesederhana faktor Saudi sunni dan Al-Houthi menganut aliran syiah. Tetapi, juga menyangkut faktor keamanan dalam negeri Arab Saudi sendiri. Saya yakin juga menjadi pertimbangan penting Arab Saudi.

Karena Al-Houthi itu sesungguhnya semula bagian dari suatu suku?

Mereka ada di bagian selatan. Tetapi, Al-Houthi berseberangan dengan Al-Qaeda. Namun, di saat yang bersamaan mereka juga tidak sejalan dengan pemerintahan di bawah Presiden Hadi. Jadi, mereka semua saling bertentangan.

Jadi, itu pentingnya Indonesia tetap mengambil sikap netral. Fokus kami saat ini adalah evakuasi terhadap WNI yang masih ada di sana. Sikap politik Indonesia adalah bersahabat dengan semua elemen di Yaman, siapa pun orangnya.

Posisi itu lebih menguntungkan ketika harus mengevakuasi WNI.

(Para pendukung kelompok milisi Al-Houthi tengah melepaskan tembakan ke udara. Foto: Reuters)

Beberapa waktu lalu, sempat ada serangan koalisi Saudi yang melukai puluhan orang di kota Aden. Apakah masih ada WNI di sana?

Masih ada. Bahkan itu adalah person in contact saya. Namanya Alwi yang mengurusi puluhan WNI. Saya tidak tahu persis alasannya, tetapi dia memilih untuk tetap tinggal di sana.

Alwi termasuk relawan dan tim pendataan di Aden. Menurut data yang dia pegang, selain Alwi, masih ada tiga WNI lagi. Ketiga WNI itu adalah Pak Lutfi dan kedua anaknya. Istrinya warga lokal.

Pak Lutfi bekerja di bandara. Beliau bukan pelajar. Saya yakin Beliau memilih untuk berada di sana, karena ingin berada dekat keluarga.

Kami tidak menerima laporan dalam serangan koalisi kemarin menyebabkan WNI meninggal atau terluka. Semoga tidak ada.

Bagaimana cara WNI yang berprofesi TKI juga bisa berada di Yaman?

Mereka semua bisa masuk ke Yaman karena melalui prosedur yang tak legal. KBRI juga sulit mencegah agar tak ada TKI ilegal masuk ke Yaman. Sebab, tetap ada yang mengirim dari Indonesia dan ada yang menerima di Yaman. Semuanya di luar koordinasi dari KBRI. Sementara, yang pernah mendaftar ke KBRI, kami pantau terus.

Tetapi, dari kejadian ini, kami mengetahui ternyata banyak yang tak melapor. Setelah kejadian ini, baru diketahui ada WNI di beberapa lokasi.

Alhasil saya putuskan, kami bawa keluar semua selama mereka WNI. Hanya saja ada beberapa yang mengalami masalah dengan majikan. Masih ada beberapa dari TKI yang terikat kontrak.

Kami tanya kembali si majikan, apakah mereka bersedia bertanggung jawab jika terjadi sesuatu kepada mereka dalam situasi perang seperti saat ini? Jangan tidak berani bertanggung jawab, maka jangan berbicara mengenai kontrak.

Selain itu, kami juga berkoordinasi dengan konsuler di Kemlu Yaman bahwa ada WNI yang masih tercatat bekerja dengan majikan ini. Kami meminta agar dibantu untuk dilepaskan.

Hubungan antara orang Yaman dengan Indonesia sangat dekat, sudah seperti keluarga. Saya duga semula dibuat seperti kunjungan keluarga, tetapi pada kenyataannya mereka dipekerjakan.

Untuk mencegah itu, paling tidak saya mulai dari KBRI. Saya satukan visi dengan seluruh staf, kami jangan sekali-sekali memfasilitasi keinginan seperti itu.

Pesan ini, saya minta untuk disampaikan kepada keluarga seperti istri para staf hingga ke asisten rumah tangga. Jangan sampai ada kesepakatan di belakang layar untuk memenuhi permintaan semacam ini.

Adakah TKI yang bekerja di Yaman mengalami permasalahan seperti gaji tidak dibayar atau mengalami kekerasan fisik?

Ada juga TKI yang menginap di KBRI Sana'a. Tetapi, jika dibandingkan dengan KBRI di negara di sekitar Yaman, justru jauh lebih kecil.

Tidak banyaknya itu misalnya minggu ini datang satu TKI, lalu kami tuntaskan dalam waktu tiga minggu. Kemudian, bulan depan datang kembali. Alhamdulilah, tidak terlalu banyak. Di selter KBRI isinya ada 12 tempat tidur. Itu pun tidak pernah penuh. Kami berharap jangan sampai penuh.

Utusan Yaman untuk PBB sempat memohon agar negara lain mengirimkan pasukan darat untuk menggempur kelompok Al-Houthi. Apakah itu tidak berpengaruh terhadap proses evakuasi WNI?

Sebenarnya proses evakuasi sudah sulit sejak lama. Proses evakuasi WNI sebelumnya pun bukan berarti tak mengalami bahaya, karena peluang kehilangan nyawa akibat serangan udara sama besarnya seperti serangan darat.

Kami berpikir selama komunikasi masih bisa dilakukan dengan WNI di Yaman dan transportasi masih ada, kesempatanuntuk melakukan evakuasi masih terbuka.

Saya tak bisa menjelaskan bagaimana kengerian serangan udara. Tetapi, yang bersama saya sempat mengalami ketegangan selama lima hari berturut-turut. Jendela di KBRI bergetar setiap menit.

Ketakutan kami adalah salah target, salah menulis waktu atau titik koordinatnya. Itu bisa terjadi. Karena kejadian itulah, kami memutuskan harus keluar dari kota Sana'a.

Apakah bisa diceritakan perjalanan Bapak membawa WNI keluar dari Yaman dan melintasi beberapa kota di wilayah perbatasan?

Beberapa hari sebelum terjadi serangan dan keluar dari Sana'a, saya menemui perwakilan Al-Houthi. Kalau perwakilan dari tentara pemerintah bisa kita temui kapan pun di kantornya. Tapi kalau otoritas Al-Houthi kami tidak bisa memastikan, karena ini otoritas milisi.

Kami bertemu dengan kepala bidang politik dan divisi internasionalnya dari kelompok Al-Houthi. Kami menyampaikan keinginan KBRI bahwa ada sekitar 3.000 hingga 4.000 WNI di Yaman dan kami ingin mereka selamat.

Mereka menjawab bahwa mereka siap untuk membantu apa yang bisa dibantu sesuai dengan kapasitas mereka. Kemudian, itu kunci yang kami pegang untuk bisa mengevakuasi WNI untuk keluar dari Yaman ketika melewati puncak gunung dan pantai.

Ketika melalui beberapa pos perbatasan, mayoritas dikuasai oleh Al-Houthi. Mulai dari Al-Hudaydah, Sana'a sampai ke perbatasan sudah dijaga oleh Al-Houthi.

Ada juga pos perbatasan yang dijaga oleh pasukan dengan pakaian tentara biasa. Mereka pasukan pemerintah tetapi sudah berafiliasi dengan milisi Al-Houthi.

Saya memang sempat ragu jika garis komandonya berfungsi dari atas hingga ke bawah. Kami khawatir sudah bangga mengenal pimpinan komando, tetapi ketika berkomunikasi dengan bawahannya, mereka tidak mengenalnya. Tetapi, alhamdulilah mereka tahu.

(Menteri Luar Negeri RI, Retno L.P Marsudi menyambut kedatangan gelombang pertama dari Yaman usai pemerintah melakukan evakuasi besar-besaran. Foto: Antara)

Ada kejadian di satu pos pemeriksaan, ternyata cukup alot. Terpaksa kami turun dan di depan mereka kami telepon pimpinan pusatnya. Ternyata mereka mengenali pimpinan komandonya, artinya garis komandonya jalan. This is blessing for me, karena kalau tidak diskusi bisa lebih panjang lagi.

Kedua, mengenai pembayaran upeti. Di tengah situasi sulit seperti ini, selalu ada orang yang selalu mengambil keuntungan. Tidak hanya itu, transportasi bus saja harganya bisa naik.

Semula jika harganya USD$2.000 tiba-tiba bisa menjadi USD$3.000 atau USD$4.000. Yang menyewakan bus adalah warga lokal. Mereka pun tetap mengambil keuntungan dari orang asing yang berniat keluar dari Yaman.

Untuk bus misalnya dari perusahaan yang sama hanya beda jam. Ketika jam 07.00 waktu setempat, kami sepakat harganya USD$2.000 tetapi begitu kami pesan pukul 10.30 karena kekurangan bus harganya sudah melambung menjadi USD$4.000. Padahal, tujuannya dan kapasitas tempat duduk sama.

Kapan lagi ada pemulangan WNI, khususnya usai KBRI Sana'a terkena dampak pengeboman?

Usai peristiwa besar yang ada satu gelombang evakuasi melewati Sana'a, Al-Hudaydah dan Jizan. Mereka semua kembali ke Tanah Air dan termasuk tim evakuasi yang dipimpin Pak Sapto.

Kami memiliki dua tim. Tim pertama setelah masuk ke Sana'a, kemudian menjemput di Sana'a dan membawa keluar dari Sana'a. Sementara, tim kedua datang ke Tarim dan Al-Mukalla, dan dibawa ke Salalah.

Kedua tim melalui jalur darat. Sekarang ini sudah tidak ada WNI. Berita terakhir, tersisa dua bandara yang bisa didarati dan keduanya telah dibom oleh pihak koalisi.

Bagaimana operasional KBRI di Sana'a saat ini?

Secara teknis, KBRI sudah tak lagi beroperasi. Tetapi, secara politis berhubung karena kondisi keamanan yang tak memungkinkan, maka operasional KBRI kami pindahkan ke kota lain.

Bagaimana keadaan Wisma Indonesia?


Sejauh ini wisma (rumah dinas Dubes) oke, walau banyak kaca jendela yang pecah. Lokasi wisma dan KBRI Sana'a tidak terlalu jauh. Hanya berjarak 1,5 kilometer.

Tetapi jarak wisma, KBRI Sana'a dan objek vital tentara penyimpanan senjata itu sama radiusnya.

Apakah saat terjadi pengeboman di Sana'a, gedung kedutaan negara lain juga terkena dampaknya?

Seluruh bangunan yang berjarak di radius 5 kilometer terkena dampak pengeboman, sementara jarak KBRI dengan pusat pengeboman hanya berjarak 1 kilometer. Berarti, semakin jauh dari pusat pengebomana, maka semakin sedikit terkena dampaknya.

(Kondisi bagian dalam KBRI Sana'a usai terkena dampak pengeboman sebuah depot senjata milik kelompok Al-Houthi. Foto: Antara)

Apakah menurut Anda aksi pengeboman yang berdampak ke KBRI Sana'a dilakukan oleh koalisi militer Saudi?

Kami tidak tahu. Sampai sekarang kami masih meminta ke Pemerintah Yaman, sementara Kementerian Luar Negeri RI meminta klarifikasi kepada Kedutaan Besar Yaman dan Saudi di Jakarta.

Kemudian KBRI Riyadh juga meminta klarifikasi ke Kemlu Saudi. Semoga suatu ketika ada jawabannya.

Tetapi, bukan kah sudah jelas pelakunya ketika Pemerintah Saudi bersedia mengganti rugi kerusakan KBRI di Sana'a?

Menurut juru bicara Kemlu RI, dan menjanjikan akan menyampaikan hal tersebut ke pemerintah di Riyadh. Saya kira dengan menyampaikan hal itu ke pemerintah di Riyadh belum menyimpulkan bahwa mereka lah pelakunya.

Gedung KBRI di Sana'a merupakan gedung sewa. Yang perlu kami catat kembali adalah aset milik negara yang masih bisa dimanfaatkan. Pengamatan sementara, banyak yang rusak. Tetapi, apa pun karena itu milik negara, kami akan melakukan pencatatan kembali pada saat waktunya memungkinkan. Untuk saat ini belum memungkinkan.

Sementara, terkait dengan dokumen, saya telah meminta kepada petugas dokumentasi di KBRI untuk mengamankan dokumen. Saat itu, saya meminta dua hari sebelum operasional KBRI Sana'a dipindahkan, dokumen telah diamankan. Jika dokumen tersebut tersedia dalam bentuk hard copy, maka dipindahkan ke soft copy, sementara bentuk fisik dokumen dibakar.

Alhamdulilah, semua sudah berhasil disimpan semua.

Menurut Anda, apakah situasi peperangan di Yaman akan berlangsung lama atau mereda?

Saya kira sulit untuk memprediksi situasi yang ada di Yaman. Termasuk orang Yaman sendiri. Sifat dalam konflik itu sangat rumit. Saudi menyerang dari udara, sementara Al-Houthi bersiap-siap di darat. Kapan akan selesainya konflik senjata dan beralih ke meja perundingan untuk sementara waktu sulit diprediksi sampai kapan. Bahkan, saya pun selaku Dubes sulit untuk memprediksi.