DPR: Cabut IMF & Bank Dunia, Jokowi Berutang ke China

Presiden Joko Widodo dan Presiden Xi Jinping
Sumber :
  • ANTARA FOTO/AACC2015/Subekti
VIVA.co.id
- Anggota Komisi XI DPR RI, Ecky Awal Mucharam, menilai niatan Presiden Joko Widodo untuk meninggalkan International Monetary Fund (IMF) dan Bank Dunia hanya sebatas retorika.


Ecky menuturkan, pernyataan Jokowi di forum peringatan Konferensi Asia Afrika (KAA) di Jakarta, belum lama ini, berteriak agar meninggalkan IMF dan Bank Dunia, ternyata mengambil pinjaman dan Tiongkok sebesar Rp647 Triliun.


Ecky meminta, pemerintah RI untuk berhati-hati melakukan kerja sama, apalagi bersifat pinjaman kepada Tiongkok.


Dia mengambil perumpamaan hal yang dilakukan Pemerintahan Jokowi sebagai, keluar dari mulut Barat, masuk ke mulut Tiongkok.


Ecky mengklaim, mempunyai alasan kuat, mengapa pemerintah harus berhati-hati menjalin kerja sama dengan Tiongkok.


“Jangan sampai terulang pengalaman buruk, seperti proyek pembangunan pembangkit listrik FTP (
fast track program
) 10 ribu MW tahap pertama terulang lagi. Faktor kapasitas dari proyek tersebut sangat rendah, hanya 35-50 persen, seperti yang dilaporkan pejabat Bappenas (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional),” ujar Ecky, seperti dikutip dalam keterangan tertulisnya, Selasa 28 Maret 2015.


Dia juga menunjuk kasus pembelian bus TransJakarta karatan dari Tiongkok, yang kasusnya kini masih mengendap.


“Pemerintah harus belajar dari pengalaman tersebut, dengan memperbaiki syarat dan ketentuan kontrak, serta melakukan pengawasan yang ketat dalam eksekusinya,” tegas Ecky, yang punya latar belakang sebagai auditor ini.




Seperti diketahui, peringatan KAA kemarin, menjadi momentum bagi penguatan kerja sama bilateral antara pemerintah RI dengan Tiongkok. Pertemuan Jokowi dengan Presiden Tiongkok, Xi Jinping, di sela-sela KAA memastikan bahwa Tiongkok akan dapat “jatah” proyek infrastruktur.


Antara lain, seperti pembangunan 24 pelabuhan dan 15 bandar udara, pembangunan jalan sepanjang 1.000 kilometer, pembangunan rel kereta api sepanjang 8.700 km, serta pembangunan pembangkit listrik berkapasitas 35 irbu MW.


Selain itu, Tiongkok juga akan terlibat dalam pembangunan jalur kereta super cepat Jakarta-Bandung dan Jakarta-Surabaya.


“Pemerintah harus hati-hati dalam kerja sama pembangunan infrastruktur dengan Tiongkok. Jangan sampai pengalaman buruk di bidang infrastruktur dengan Tiongkok terulang lagi," ungkapnya.


Lebih lanjut, Ecky mengatakan, pada dasarnya dalam kerja sama kedua pihak memiliki kepentingan yang sama besarnya, sehingga semestinya bargaining position Indonesia tidak boleh lemah di hadapan mereka.


“Ingat, itu utang yang harus dibayar oleh anak cucu kita. Sedangkan mereka tidak mau memberi utang tanpa dapat keuntungan melalui proyek-proyeknya. Celaka jika kita berutang, tetapi barang yang diberikan buruk kualitasnya. Sedangkan barang itu, diharapkan yang akan mendongkrak pendapatan kita. Apalagi, kalau pengelolaannya tidak benar malah bisa jadi bancakan. Mau bayar pakai apa nanti?” kata Ecky.


Prioritas pemerintah


Menurut Ecky, setidaknya ada tiga hal yang harus menjadi prioritas pemerintah dalam kesepakatan kerja sama ini.


Pertama , memastikan kualitas dan ketepatan waktu proyek tersebut. Kedua , memastikan penyerapan tenaga kerja dan tingkat kandungan dalam negeri semaksimal mungkin. Ketiga , memastikan transfer teknologi dan pengetahuan terjadi, agar jangan sampai kita tergantung pada mereka terus ke depannya.

“Percuma teriak-teriak singkirkan
bohir
yang lama, jika kita malah merapat ke
bohir
yang baru,” tuturnya. (asp)