BUMN Merugi, DPR Berencana Revisi UU BUMN
- Antara/Wahyu Putro
VIVA.co.id - Dewan Perwakilan Rakyat berencana melakukan revisi UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN. Perubahan UU tersebut, masuk dalam prolegnas RUU tahun 2015.
Namun, perubahan UU tersebut diharapkan tidak menghambat kemampuan daya saing BUMN. Diharapkan dapat mendorong kemanfaatan yang lebih besar BUMN bagi kesejahteraan masyarakat.
Demikian dari hasil Kunjungan 11 anggota Komisi VI DPR RI, saat bertemu dengan pakar hukum dan pakar ekonomi dari Universitas Gadjah Mada yang berlangsung di Kantor Pusat UGM, Yogyakarta, Selasa 21 April 2015.
Beberapa anggota Komisi VI DPR RI yang hadir di antaranya Heri Gunawan, Dodi Reza Alex Noerdin, Aria Bima, dan Tifatul Sembiring.
Pakar Hukum Bisnis dari Fakultas Hukum UGM, Prof. Nindyo Pramono, mengatakan bahwa terdapat ketidakharmonisan antara UU Tipikor dan UU Kekayaan Negara, UU BPK terhadap UU BUMN, UU Yayasan, dan UU LPS.
Salah satunya, kata dia, mengenai persepi terhadap bentuk kerugian bisnis usaha yang dialami oleh BUMN sebagai bentuk kerugian negara. “Kerugian negara ini bisa masuk dalam perangkap undang-undang tipikor,” kata Nindyo.
Menurutnya, ketidakharmonisan UU dalam menafsirkan pengertian kerugian negara ini perlu disinkronkan lagi, agar tidak terjadi ketidakharmonisan dalam beberapa aturan hukum yang ada di Indonesia.
Nindyo menjelaskan, hukum merupakan satu kesatuan sistem. Salah satu pondasi hukun adalah kepastian hukum dengan adanya asas keadilan dan kemanfaatan.
Sebagai sistem hukum, kata dia, dalam penegakannya tidak menghendaki adanya konflik. Apabila terjadi konflik, diselesaikan dalam sistem.
“Ketidakharmonisan ini jangan dipelihara tapi saya melihat juga tidak pernah ada yang berani menyentuh," jelasnya.
Pendapat yang sama disampaikan Dosen Hukum UGM lainnya, Dian Agung Wicaksono. Menurut Agung, diperlukan reformulasi apakah kerugian BUMN perlu dimasukkan dalam dikotomi kerugian negara.
Mengigat terdapat business judgement rules sebagai pembenar tindakan korporasi yang terukur dalam tata kelola korporasi.
“Yang ditakutkan pengeloa BUMN apabila tidak untung dianggap kerugian negara,” katanya.
Agung juga menyoroti tentang lemahnya pengawasan dan penegakkan UU BUMN. Bahkan, fungsi pengawasan dan anggaran oleh DPR dinilainya sangat lemah pada pengawasan kebijakan penyertaan modal BUMN.
“Selama ini, penyertaan modal cukup dengan peraturan pemerintah," tegasnya.
Soal posisi menteri BUMN dalam mengambil keputusan strategis pada pengelolaan BUMN, terangnya, perlu ditinjau kembali. Seharusnya, yang diberi wewenang adalah menteri keuangan.
"Alasannya, menteri keuangan bisa dipastikan adalah dari kalangan akademisi, atau praktisi bukan dari partai politik," ungkap Agung.
Di sisi lain, anggota Komisi VI DPR RI, Heri Gunawan menjelaskan bahwa rencana perubahan UU BUMN diharapkan pengelolaan BUMN nantinya akan menjadi lebih baik.
Dia beralasan, selama ini pengawasan BUMN oleh DPR masih sangat lemah, terutama dalam mengawasi kebijakan privatisasi atau penjualan aset milik BUMN.
"Perubahan UU ini lebih berkualitas dan mampu meningkatkan kinerja BUMN sebagai agen pembangunan," tambah Heri. (asp)