Industri Kelapa Sawit Memprihatinkan, Pemerintah Lepas Tangan?
- REUTERS/Y.T Haryono/Files
VIVAnews - Di saat para pelaku industri kelapa sawit Indonesia terus berupaya meningkatkan produktivitasnya, pemerintah justru cenderung bersikap kurang serius untuk memberikan dukungannya bagi kemajuan industri ini.
Ini dapat terlihat salah satunya dari minimnya bantuan dana pemerintah untuk membiayai riset dalam penerapan bioteknologi atau penggunaan proses biologi untuk meningkatkan kualitas kelapa sawit di Tanah Air.
Ketua Umun Masyarakat Perkelapasawitan Indonesia (Maksi), Darmono Taniwiryono, menyampaikan, pada umumnya riset yang dilakukan di luar negeri membutuhkan dana sekitar US$1,2 juta per tahun
"Kalau di Indonesia, kecil sekali. Bahkan, hampir tidak ada bantuan dana riset dari pemerintah," ujar Darmono saat ditemui VIVAnews, di gelaran "10th Indonesian Palm Oil Conference (IPOC) and 2015 Price Outlook' di Bandung, Jumat 28 November 2014.
Menurut dia, potensi bioteknologi ini sesungguhnya sangat besar, buktinya sekarang para kompetitor sudah bisa tanpa ragu-ragu menyatakan produk kedelainya tidak genetik modifikasi (GM). "Mengapa Indonesia tidak bisa melakukan hal yang sama?" imbuhnya.
Darmono menyayangkan kondisi tersebut, karena di dalam negeri belum ada penelitian yang benar-benar serius untuk menghasilkan produk tanpa GM.
"Seharusnya risetnya jalan, tapi kenyataannya tidak. Hanya memang, tingkat kesulitan untuk menghasilkan GM kelapa sawit itu sangat tinggi, bukan hanya DNA-nya, tetapi banyak sekali di luar DNA itu yang mengatur," tutur peneliti senior di Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia, Bogor, itu.
Meskipun demikian, dia menyarankan, sesulit apa pun tetap harus dilakukan riset dan ini sangat membutuhkan dukungan dari pemerintah.
Hambatan di Indonesia
"Komitmen pemerintah untuk melakukan riset masih sangat rendah. Tidak hanya terbatas pada molekuler, tapi untuk yang lain-lain juga masih sangat terbatas," terangnya.
Dia pun menekankan, jika di negara lain saja, untuk membuat satu buah obat harus mengeluarkan biaya US$1,2 juta per tahun untuk riset. Kondisi itu telah membuktikan pemerintah yang bersangkutan memiliki komitmen dalam memberikan dukungannya.
"Beda di Indonesia, semuanya seperti tumpang tindih, pemerintah pun tidak fokus untuk mengembangkan riset dan teknologi mengenai kelapa sawit," ujarnya.
Darmono mencontohkan, Amerika Serikat saja sekarang dapat menghasilkan kentang transgenik, yang ketika digoreng tidak menimbulkan efek kanker dan kentangnya tanpa oksidasi.
Biaya yang dibutuhkan
Terkait dengan biaya, dia pun menyebutkan, selain untuk riset, aksi kampanye untuk kelapa sawit juga memerlukan biaya yang tidak sedikit.
"Tidak mungkin bisa berkembang, kalau tidak kampanye. Selain itu, biaya lainnya adalah untuk advokasi atau hukum," ungkap Darmono.
Sementara itu, dia memperkirakan, apabila untuk ekspor kelapa sawit bisa mendapatkan penghasilan sebesar US$15 juta, maka setidaknya lima persen dari jumlah tersebut diharapkan bisa didapatkan dari pemerintah.
"Kita tidak usah nuntut terlalu besar, lima persen saja dari US$15 juta bisa dapat dari pemerintah, itu sudah bagus sekali. Perlu diingat bahwa kurang lebih 10 persen pendapatan nasional itu berasal dari kelapa sawit," tambah Darmono.
BACA JUGA: