Perang Batu di Lapangan Banteng
Jakarta, 18 Maret 1982. Pada mulanya kampanye masih berjalan tenang. Massa Golkar yang menguningkan Lapangan Banteng masih menunggu kedatangan juru kampanye Golkar, Ali Murtopo. Tapi situasi berubah seketika pada saat massa beratribut PPP melintasi Lapangan Banteng. Saling cela antara massa Golkar dengan massa PPP pun semakin menjadi-jadi. Batu-batu berterbangan. Massa pendukung Golkar berhamburan ke jalan, mengejar massa PPP. Mereka segera saja terlibat dalam baku hantam. Insiden yang kemudian dikenal sebagai Insiden Lapangan Banteng itu secara cepat meluas ke beberapa titik di Jakarta.
Ketika kejadian itu berlangsung, Bathi Mulyono (61) berada di dalam kerumunan massa PPP. “Saya ada di sana, pake baju kuning di luar, kaos hijau di dalam,” ujar Bathi mengenang insiden 26 tahun lampau. Ia bersama beberapa kawannya berangkat dari Semarang menuju Jakarta dan sudah berada di Lapangan Banteng sejak semalam sebelum kejadian.
Bathi adalah Ketua Yayasan Fajar Menyingsing, satu organisasi yang menampung mantan narapidana di wilayah Jawa Tengah. Organisasi ini didirikan atas restu Gubernur Jawa Tengah saat itu, Soepardjo Roestam. Bathi juga aktif di dalam kepengurusan DPP Golkar Jawa Tengah. Beberapa hari sebelum kampanye di Lapangan Banteng itu dimulai, ia sudah menerima “order” untuk memprovokasi insiden tersebut.
“Kami sudah mendapatkan petunjuk untuk operasi di Jakarta, perintah itu datang dari number one melalui jaringan saya,” ujar Bathi. Number one yang dimaksud Bathi adalah Ali Murtopo, petinggi di era Orde Baru yang terkenal dengan operasi-operasi klandestinnya.
Operasi itu memang “berhasil.” Paling tidak ada korban jiwa yang jatuh dan banyak aktivis yang ditangkap. Ali Sadikin dan KH. Yusuf Hasyim dituduh berada di balik penyerangan aktivis PPP terhadap massa pendukung Golkar. “Padahal yang menyulut kejadian itu ya kami juga,” kata Bathi. Pemberitaan yang mengungkapkan ihwal kejadian itu diharuskan menandatangani surat pernyataan bersedia bekerjasama dengan pemerintah, termasuk pula Majalah Tempo yang terkenal kritis dalam pemberitaannya.
Rekayasa insiden itu tidak lain ditujukan untuk meraih simpati massa pada Golkar yang pada pemilu 1977, untuk beberapa wilayah, berhasil dikalahkan oleh PPP. Insiden itu juga disebut-sebut untuk menjegal Ali Sadikin yang digosipkan akan menyalonkan diri sebagai presiden. Rekayasa kerusuhan Lapangan Banten itu tampak dari keterlambatan Ali Sadikin untuk datang ke Lapangan Banteng, tempat di mana ia akan berbicara sebagai juru kampanye Golkar.
Ali kemudian turut memberikan keterangan pers yang dilakukannya bersama-sama Pangkobkamtib Soedomo, di hadapan petinggi media massa dan pejabat negara. Dalam konferensi pers itu Soedomo mengatakan jika kerusuhan itu dipicu oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab.
Setelah melewati masa kampanye yang penuh ketegangan, akhirnya hari pencoblosan diselenggarakan serentak pada 4 Mei 1982. Seperti pada Pemilu-Pemilu sebelumnya di era Orde Baru, Golkar meraup suara terbanyak di tingkat nasional namun kembali gagal mendapatkan posisi pertama di Aceh. Warga Aceh yang mayoritas muslim lebih banyak memilih PPP.
Daerah pemilihan DKI Jakarta dan Kalimantan Selatan yang semula dikuasai PPP, kali itu berhasil direbut oleh Golkar. Secara nasional Golkar berhasil merebut tambahan 10 kursi dan itu berarti kehilangan masing-masing 5 kursi bagi PPP dan PDI Golkar meraih 48.334.724 suara atau 242 kursi. Adapun cara pembagian kursi pada Pemilu ini tetap mengacu pada ketentuan Pemilu 1971.
Lagi-lagi, drama pemilihan presiden berlangsung seperti biasanya: rakyat masih percaya pada Soeharto untuk kembali dipercaya jadi presiden.