Cerita Musik Etnik Yangqin "Berkeringat" Ingin Bangkit Kembali
- Vivanews/Fajar Sodiq (Solo)
VIVAlife - Suara musik etnik, yangqin dan erhu berpadu manis dengan suara organ dan musik gamelan sebagaimana dimainkan oleh Karahyang Perkumpulan Masyarakat Surakarta (PMS). Permainan nada dari beragam musik etnik yang terdengar dalam pembukaan Solo Imlek Festival 2014, yang mensaratkan akulturasi budaya.
Tak hanya lagu mandarin seperti Ta Ti Huiw Jue, Kungfu Master dan Gong Xi Fa Cai, lagu Indonesia yang berjudul Bangun Pemuda-Pemudi serta Tanduk Majeng juga dimainkan perpaduan musik etnik ini. Menariknya lagi wujud akulturasi budaya itu menggema di salah satu peninggalan budaya Belanda, Benteng Vastenburg.
Musik memang merupakan bahasa yang universal. Lewatnya, akulturasi budaya pun bisa saling berpadu. Ironisnya, tak sedikit orang yang menyadari kontribusi besar dari musik etnik dalam membangun masyarakat yang harmonis. Kondisi itu diperparah dengan ketidakpedulian banyak masyarakat dengan musik etnik. Musik yangqin, misalnya.
Musik yangqin adalah musik gesek dan pukul asal Tiongkok. Alat musik diatonik ini menjadi instrumen penting dalam musik tradisi China. Merujuk pada ensiklopedia, sebelum abad pertengahan, di sejumlah negara Timur Tengah terdapat alat semacam yangqin. Lantas pada Dinasti Ming, alat musik itu mulai tersebar lewat jalan sutra.
Yangqin merupakan salah satu alat musik yang memiliki tingkat kesulitan tinggi dalam memainkannya. Selain harus menghafal tiap nada yang dihasilkan dari ratusan dawai, juga harus mengontrol ketukan dari alat pukul dalam menghasilkan musik dawai. Musik yangqin menjadi salah satu bagian dari satu alat musik orkestra musik tradiisional Tioghoa.
“Menggunakan alat musik ini harus sabar. Nggak bisa terbur-buru. Karena yangqin terdiri ratusan dawai senar dan berbagai jenis nada, “ jelas Mei Jiao Oen atau yang biasa dipanggil dengan Nyonya Bambang ini.
Ya, Mei Jiao Oen bersama dengan Shi Shung Liang merupakan dua seniman yang sudah uzur yang mahir memainkan yangqin. Mei bercerita jika awal mula kecintaannya dengan alat musik berdawai ini hanya coba-coba saja.
“Saya belajar yangqin sejak 12 tahun lalu di PMS ini. Tapi hingga saat ini temen saya yang belajar juga cuma dua. Kalau begini terus ya alat musik ini terancam musnah di Solo,” keluhnya.
Kekhawatiran Mei akan kemusnahan musik yangqin memang tak berlebihan. Hal itu diamini oleh Shi Shung Liang yang sudah lebih dari lima puluh tahun mengajar musik yangqin. Shi Shung berpendapat penyebab yangqin terlupakan lantaran musik ini sudah terdesak dengan hiruk pikuk dengan musik modern yang notabenenya dari Barat.
“Iya, anak-anak muda itu lebih senang dengan musik modern. Saya itu prihatin dengan pelestarian yangqin. Yang main musik yangqin ya itu-itu saja dan mayoritas pemainnya adalah dari kalangan tua. “ tutur Shi Sung Liang yang menguasai dua belas alat musik tradisional Tionghoa.
Sedikit bercerita, Shi Sung Liang menuturkan jika dirinya belajar musik ini sejak umur 13 tahun. Ia belajar secara otodidak. Umurnya yang sudah mencapai 80 tahun, tak menyurutkan niatnya untuk selalu setia dengan musik tradisi China, termasuk yangqin.
“Saya pernah ngajar di Magelang, Jogja, Pekalongan, Solo dan Semarang. Dan rata-rata memang sangat sedikit yang mau belajar musik ini, “ tuturnya.
Shi Sung Liang selalu setia memainkan musik yangqin. Baginya bermain musik ini selalu bisa meluapkan beragam emosi dan perasaan. “Saat saya kena stroke pun saya berusaha memainkannya. Meski yang kena stroke kaki. Tapi musik yangqin ini selalu bisa membantu saya dalam meluapkan ekpresi dan perasaan. Hasilnya, saat umur 80 tahun saya masih bisa memainkan musik yangqin. Bagi yang suka bermain musik tradisi pasti umurnya panjang, “ ujarnya dengan tersenyum.
Dengan umurnya yang mencapai delapan dekade ini jatuh bangun dalam melestarikan yangqin dialaminya. Pengalaman pahit dialaminya saat Orde Baru yang memberangus segala macam kesenian China. Ia mengaku riang, ketika keran reformasi dibuka. Budaya Tionghoa kembali mencuat ke permukaan.
Kembali membumikan budaya Tionghoa ternyata bukan hanya bermodalkan nilai-nilai kebebasan dalam reformasi. Lantaran musik yangqin tetap saja menjadi musik asing. Toh musik ini hanya ramai diperbincangkan saat Imlek tiba. “Di Kota Solo ini mereka yang bisa memainkan yangqin, bisa dihitung dengan jari, “ ujar Mei.
PMS telah membuka kesempatan selebar-lebarnya bagi khalayak umum yang ingin mengikuti pelatihan musik yangqin atau musik tradisional lainnya. Agar menarik minat, PMS menggratiskan biaya pelatihan.
“Setiap kali saya pentas, seperti di Solo Imlek Festival. Saya selalu mengumumkan bagi siapa saja yang ingin belajar yangqin, gratis karena akan dibiayai oleh PMS. Latihan dilakukan setiap hari Jumat sore dengan pelatih dari Salatiga,” katanya.
Di Kota Solo sendiri, yang membuka pelatihan musik yangqin adalah PMS dan Fu Qing. Tetapi tetap saja, pelatihan yang ditawarkan secara gratis ini tak berhasil menarik banyak orang untuk bersedia belajar yangqin.
“Sebenarnya musik yangqin itu bisa tetap lestari, asalkan mereka yang bermain tidak melulu memikirkan tentang bayarannya, “ pendapatnya. (eh)