Sudjiono Timan Bebas, ICW Minta KPK Usut Mafia Peradilan
Jumat, 23 Agustus 2013 - 11:31 WIB
Sumber :
- ANTARA FOTO/Andika Wahyu
VIVAnews - Mahkamah Agung (MA) membebaskan mantan Direktur Utama PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI), Sudjiono Timan, terpidana kasus korupsi Rp369 miliar. Majelis Hakim yang dipimpin Suhadi mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan kuasa hukum pemohon.
Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch (ICW), Emerson Yuntho menilai, putusan bebas Sudjiono mencurigakan. Ia menganggap vonis bebas pada tingkat PK ini merupakan musibah dan preseden buruk bagi upaya pemberantasan korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun diminta ikut menyelidiki kasus ini.
"KPK juga sebaiknya melakukan penyelidikan, khususnya terhadap hakim-hakim agung yang membebaskan tersangka koruptor," kata Emerson di Jakarta, Jumat 23 Agustus 2013.
Selain itu, kata dia, Ketua MA ataupun Bagian Pengawasan MA serta Komisi Yudisial juga perlu melakukan pemeriksaan terhadap majelis hakim PK yang menjatuhkan vonis bebas terhadap Sudjiono Timan. Menurutnya vonis bebas Sudjiono Timan ditingkat PK layak dicurigai mengingat pada tingkat kasasi divonis bersalah dan dihukum 15 tahun penjara.
"Aneh dalam satu institusi yang sama menghasilkan dua putusan yang berbeda jauh," ujar Emerson.
Belum lagi dalam penanganan perkara ini, Sudjiono sempat dinyatakan buron dan masuk daftar pencarian orang oleh Kejaksaan Agung. Sikap pengadilan yang menerima permohonan PK terpidana koruptor yang melarikan diri lanjut Emerson juga patut dipertanyakan.
Dalam Surat Edaran MA (SEMA) Nomor 6 tahun 1988 yang ditandatangani Ali Said Ketua MA (waktu lalu), yang kemudian diperbarui pada tahun 2012 melalui SEMA No 1 Tahun 2012, menyebutkan bahwa pengadilan diminta menolak atau tidak melayani penasehat hukum atau pengacara yang menerima kuasa dari terdakwa/terpidana yang tidak hadir (in absentia) tanpa kecuali.
"Artinya permohonan dan atau pemeriksaan dipersidangan harus dilakukan sendiri oleh pemohon atau terdakwa," terangnya.
Meski begitu, dalam beberapa perkara, pengadilan tidak saja menerima pengajuan, namun MA juga mengabulkan permohonan PK dengan membebaskan terpidana koruptor yang pernah kabur dan dihukum bersalah di tingkat kasasi. Sebelum Sudjiono Timan Misalnya saja ada Lesmana Basuki, selaku Presiden Direktur PT. SBU yang menjadi terpidana perkara korupsi menjual surat-surat berharga berupa Commercial Paper (CP) dengan dugaan kerugian negara Rp209 miliar.
Pada tanggal 25 Juli 2000, MA menjatuhkan vonis 2 tahun penjara kepada Lesmana namun tidak bisa di eksekusi karena melarikan diri. Saat masuk DPO, terpidana mengajukan PK pada tahun 2004 dan dibebaskan pada tahun 2007.
Hal serupa juga dialami Obed Nego Depparinding, mantan Bupati Kabupaten Mamasa, yang terjerat kasus bersama sejumlah anggota DPRD ketika Obed menjadi ketua dewan Kabupaten itu. Pada tingkat kasasi, Obed dinyatakan bersalah dan divonis 20 bulan penjara dalam perkara korupsi anggaran Sekretariat DPRD Mamasa sebesar sekitar Rp1,2 miliar.
Proses eksekusi tidak berjalan dan kejaksaan menetapkan mereka sebagai buron dan ditetapkan sebagai DPO. Secara mengejutkan PK yang diajukan Obed saat masih DPO dikabulkan oleh MA dan akhirnya Obed dibebaskan bersama dengan sejumlah mantan anggota DPRD Mamasa lainnya.
Nah, belakangan kasus yang paling ramai dibicarakan orang adalah Sudjono Timan itu. Dia diputuskan bebas oleh Majelis Hakim Peninjauan Kembali (PK).
Baca Juga :
Putusan ini membatalkan putusan kasasi yang dimohonkan oleh pihak Jaksa. Majelis Kasasi yang diketuai Bagir Manan dengan anggota Artidjo Alkostar, Parman Suparman, Arbijoto, dan Iskandar Kamil menggantikan Abdul Rahman Saleh, yang menjatuhkan vonis 15 tahun dan denda Rp50 juta serta membayar uang pengganti Rp369 miliar kepada Sudjiono.
Sudjiono Timan telah diputuskan bersalah karena telah menyalahgunakan kewenangannya sebagai direktur utama BPUI dengan cara memberikan pinjaman kepada Festival Company Inc. sebesar 67 juta dolar AS, Penta Investment Ltd sebesar US$19 juta, KAFL sebesar 34 juta dolar AS dan dana pinjaman Pemerintah (RDI) Rp98,7 miliar sehingga negara mengalami kerugian keuangan sekitar Rp120 miliar dan US$98,7 juta.