Ine Febriyanti: Teater Adalah Sekolah Saya

Ine Febriyanti dalam Repertoar Gandamayu
Sumber :
  • VIVAnews/Ikhwan Yanuar

VIVAlife - Nama Ine Febriyanti mungkin tak banyak didengar anak muda zaman sekarang. Sebagai artis yang pernah eksis di tahun 1990-an, Ine memang tergolong cepat ‘mengundurkan diri’ dari layar kaca. Sejak 13 tahun lalu, ia justru sibuk mengasah kemampuan perannya di dunia teater. Kalaupun berurusan dengan film, ia memilih berperan di balik layar menjadi sutradara.

Wajah ayu perempuan kelahiran Semarang, 18 Februari 1976 itu mulai dikenal sejak ia menjadi cover girl Majalah Mode tahun 1992. Rekam jejaknya di bidang sinetron dan perfilman pun dimulai. Ine pernah membintangi sinetron Darah Biru bersama Sophan Sophiaan. Setelah itu, Ine juga ikut bermain dalam telesinema berjudul Siluet dan sinetron Dewi Selebriti. Di layar lebar, ia pernah berperan dalam sebuah film indie karya sutradara Aria Kusumadewa berjudul Beth.

Keterlibatannya dalam sebuah teater lakon Miss Julie karya dramawan Swedia, Johan August Strindberg di TMII, Jakarta, tahun 1999 lah yang menjadi tonggak peralihan minat Ine pada dunia teater. Sejak itu, ia lebih banyak memainkan lakon-lakon teater. Seperti menjadi Miss Kedjora dalam Opera Primadona, Kentut, dan Nyai Ontosoroh. Kemampuan aktingnya juga pernah membawa Ine terlibat dalam pementasan teater berjudul The Whale on The South Sea di Jepang.

Istri kamerawan Yudi Datau itu memang telah memutuskan, teater sebagai sarana mengeksplor potensi dirinya. “Di teater, saya dapat proses yang lebih lengkap dibanding disiplin yang lain. Dari nol sampai akhir, saya bisa menyerap atmosfer yang lengkap, dan itu bisa saya aplikasikan ketika membuat film. Teater itu sekolah saya,” tuturnya.

Ia memang menganggap teater sebagai ‘sekolah gratis’ saking banyaknya pelajaran yang bisa ia ambil dari kegiatan itu. Perempuan yang pernah dinobatkan sebagai Duta ASI dan Duta Peduli Kemanusiaan itu menyebut teater adalah ladang investasinya. “Investasi tidak selalu berupa uang. Di teater memang tidak dapat uang, tapi ilmu. Saya dapat banyak pelajaran dan kebahagiaan,” ungkapnya.

Ia bersyukur, keputusannya memilih dunia teater tidak pernah salah. Buktinya, selama ia bermain teater, ia tidak pernah menjumpai kursi penonton yang kosong meski lakon yang diperankannya bukan lakon populer. Baginya, sebuah bangsa yang menghargai teater, akan menjadi bangsa yang maju.

“Saya pernah ke Jepang, auditorium-nya selalu penuh dengan teater, penontonnya juga. Memang sebuah bangsa yang teaternya maju, bangsanya juga akan maju. Saya nggak tahu kenapa, tapi Jepang bisa jadi buktinya,” ia menegaskan.

Keseriusan Ine berteater, memang berdampak pada kematangannya menjalani hidup, termasuk menjadi sutradara seperti yang ia impikan. Dalam waktu dekat, ia mendapat beasiswa belajar menjadi sutradara handal dari Asian Film Academy Bussan, selama tiga minggu. Dari ratusan orang di Asia yang melamar, Ine terpilih menjadi salah satunya.

“Dari Indonesia hanya ada dua, dan saya adalah satu dari empat perempuan se-Asia yang terpilih. Total pesertanya 24 orang,” ujarnya bangga. Ia akan berangkat 27 Oktober mendatang ke Korea.

Passion Ine menyutradarai film memang terlihat dalam karya-karyanya, seperti film Cinderella, Tuhan pada Jam 10 Malam, dan Selamat Siang, Risa! yang menjadi salah satu bagian dari omnibus Kita vs Korupsi.

Dukungan Keluarga

Kesuksesan Ine melakoni obsesi demi obsesinya, memang tak lepas dari seratus persen dukungan keluarga. Ia bersyukur memiliki suami yang juga berkiprah di bidang seni, sehingga memahami ‘kegilaannya’. Sejak awal menikah dengan Yudi Datau pada 2003 lalu, ia bahkan telah membuat komitmen soal mengurus anak.

“Kami sepakat, saya tidak akan berhenti melakukan apapun yang saya lakukan. Kalau ibunya sedang tidak di rumah, bapaknya yang di rumah, dan sebaliknya. Jadi saling support,” beber Ine.

Dengan profesi ia dan suaminya yang sangat mencintai seni, perempuan pemilik tinggi 167 cm ini maklum saat ketiga anaknya mulai menunjukkan bakat mereka di bidang yang sama. Fa Aisha Nurra Datau, Zeyn Aabdullah Datau, dan Amanina Aliyya Datau, sering bermain-main dengan kamera atau tiba-tiba menjajal akting dengan mencontoh ibunya.

“Saya memang mengajak anak-anak nonton teater. Mereka selalu melihat saya latihan di pendopo rumah, jadi saya ajak mereka ke pertunjukan untuk membuktikan hasil dari yang mereka tonton setiap hari,” kata Ine.

Ia juga sering mengajak anak-anaknya menghadiri acara seni seperti pameran lukisan atau bahkan ke tempat-tempat yang memiliki suasana alam. “Saya mencoba tidak membolehkan mereka menonton televisi dan sinetron, karena bagi saya tidak baik,” imbuh pecinta alam pegunungan ini.

Selain membiasakan anak-anaknya mengenal dunia seni, ia juga kerapkali menerapkan kemandirian dalam diri ketiganya. Misalnya, pada anak sulungnya yang tampaknya tertarik bidang bisnis, ia selalu mengajarkan agar ia berusaha keras jika menginginkan sesuatu. Untuk membeli mainan contohnya, Aisha harus berjualan lebih dulu. Sedangkan pada si bungsu, Aliyya, Ine tidak pernah membelikan mainan, melainkan mencoba membuatnya secara kreatif dari kardus atau bahan-bahan lain. Demikian pula dengan anak tengahnya, yang mulai terbiasa memegang kamera.

“Saya tidak mengarahkan dan menjejali apa-apa pada mereka. Saya hanya ingin mereka jadi orang yang bermanfaat dan bertanggung jawab atas pilihan mereka. Saya menempa mereka dengan sesuatu yang bukan materi,” urai Ine mantap.