Gejala Epilepsi Selain Kejang: Bengong
- inmagine
VIVAnews - Epilepsi terjadi akibat aktivitas listrik berlebihan di otak. Meski gejala paling jamak berupa kejang atau bangkitan berulang tanpa penyebab dengan interval waktu lebih 24 jam, sejumlah kasus justru menunjukkan gejala bengong.
Spesialis saraf, dr Endang Kustiowati, SpS (K), Msi.Med, mengatakan bahwa penyandang epilepsi tipe absence yang biasa menunjukkan gejala bengong.
"Bengongnya beda dengan melamun, karena kalau diperhatikan seringkali disertai gerakan berkedip cepat, bisa tiga kali dalam semenit," kata dr Endang saat seminar 'Patuh pada Pengobatan Epilepsi Terkontrol', menjelang 'Purple Day', Rabu, 21 Maret 2012.
Serangan bengong biasanya terjadi mendadak. Berlangsung sekitar 5-20 detik. Namun, bisa berulang hingga puluhan kali dalam sehari.
Saat serangan terjadi, mereka umumnya tidak sadar dengan lingkungan sekitar. Seperti tidak mendengar ketika dipanggil, atau merasa saat disentuh. Dan setelah serangan selesai, mereka akan meneruskan aktivitas kembali tanpa menyadari apa yang terjadi.
Kasus epilepsi absence lebih banyak ditemukan pada anak-anak usia 4-14 tahun. Meski umumnya normal secara fisik dan inteligen, namun anak-anak penyandang epilepsi ini rentan mengalami masalah perilaku, pendidikan dan sosial.
Jika kerap mendapati anak mendadak bengong, dr Endang memberi tips melakukan uji epilepsi absence. "Minta anak melakukan gerakan meniup dengan cepat, jika tiba-tiba anak bengong, segera konsultasi ke dokter," ujarnya.
Setelah uji sederhana itu, dokter akan menindaklanjuti dengan perekaman aktivitas listrik di otak dengan Electroencephalography (EEG). "Dengan alat ini akan terlihat jelas grafik aktivitas di otak, apakah anak itu epilepsi atau tidak."
Epilepsi Terkontrol
Dokter anak dari RSCM, dr Irawan Mangunatmadja, SpA (K), mengatakan bahwa kepatuhan terhadap pengobatan merupakan kunci utama bagi penyandang epilepsi untuk memiliki kualitas hidup yang baik.
Jangan sampai menghentikan asupan obat atau mengubah obat paten menjadi obat substitusi di tengah jalan, tanpa konsultasi dengan dokter.
Artinya, kandungan hayati obat epilepsi harus stabil dari waktu ke waktu, mengingat manajemen pengobatannya berlangsung bertahun-tahun. Peningkatan kandungan hayati berisiko meracuni tubuh, sementara penurunan kandungan hayati berisiko memicu kekambuhan hingga 80 persen.
"Serangan berulang akibat ketidakpatuhan pengobatan bisa menyebabkan jaringan otak rusak sehingga menyulitkan terapi, bahkan memperparah kondisi sehingga berisiko membahayakan keselamatan pasien," ujar dr Irawan.
Karenanya, perlu dukungan moral bagi penyandang di tengah stigma negatif masyarakat terhadap epilepsi. Bangkitkan semangatnya untuk melakukan pengobatan dengan patuh agar terhindar status epileptikus, serangan beruntun lebih 30 menit yang berdampak kematian.