Profesi Akuntan Terancam, RUU Ditolak

Tax amnesty.
Sumber :

VIVAnews - Akuntan publik yang tergabung dalam Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI) menolak materi yang tercantum dalam Rancangan Undang-undang (RUU) Akuntan Publik. Materi RUU tersebut dianggap dapat mengancam keberadaan profesi akuntan publik di masa mendatang.

Setidaknya terdapat tiga hal yang dikritisi IAPI, berdasarkan hasil Rapat Umum Anggota Luar Biasa (RUALB), dalam RUU yang tengah dibahas Pemerintah dan Komisi Keuangan dan Perbankan DPR, yakni mengenai aspek pengenaan sanksi pidana, pengaturan perizinan, dan kewenangan pengaturan profesi oleh Menteri Keuangan, serta liberalisasi akuntan asing.

“Pengaturan sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 63 dan Pasal 64 RUU Akuntan Publik akan berdampak munculnya duplikasi aturan, tumpang tindih, dan berpotensi menimbulkan perbedaan interpretasi atas suatu permasalahan sehingga menimbulkan ketidakpastian,” kata Ketua Umum IAPI Tya Adityasih dalam keterangannya, Minggu 22 Agustus 2010.

Selain itu, pengaturan tersebut tidak sesuai dengan karakteristik profesi akuntan publik, mengingat seorang akuntan publik bukanlah kuasi negara atau pejabat publik yang diberikan kewenangan atas nama publik atau negara. Dengan demikian, produk akuntan publik bukan merupakan legal binding sehingga tidak sebanding apabila dikenakan sanksi pidana.

“Selain itu, produk dari pekerjaan akuntan publik adalah suatu opini yang merupakan suatu bentuk keyakinan memadai (reasonable assurance) dan bukan merupakan suatu pernyataan kebenaran absolut (mutlak) atas laporan keuangan atau informasi keuangan lainnya,” tuturnya.

Dengan demikian, kata Tya, produk akuntan publik tersebut bukan akta otentik sebagaimana dikeluarkan oleh pejabat publik.

Pengenaan sanksi tersebut dikhawatirkan akan rawan menimbulkan kriminalisasi terhadap profesi akuntan publik yang pada akhirnya akan menimbulkan meningkatnya risiko profesi dan bisnis akuntan publik sehingga akan mengurangi minat dan tidak mendorong pertumbuhan profesi akuntan publik.

IAPI menilai, ketidakpatuhan terhadap standar profesi dan kode etik cukup diatur melalui pengenaan sanksi profesi, yaitu pengenaan sanksi terhadap perizinan, dan hal itu sudah tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan nomor 17 tahun 2008.

IAPI juga keberatan terhadap pengaturan akuntan publik asing sebagaimana diatur dalam Pasal 7 dan Pasal 13 ayat (4) RUU Akuntan Publik, karena dinilai hanya mengakomodasi  kepentingan untuk memenuhi kesepakatan WTO dan kesepakatan liberalisasi jasa akuntansi di kawasan ASEAN 2015, ketimbang memberikan perlindungan terhadap akuntan publik lokal.

“Data menunjukkan bahwa jumlah akuntan publik di Indonesia saat ini hanya 920 orang yang bergabung di 501 kantor akuntan publik. Dari jumlah tersebut, sebanyak 64 persen telah berusia di atas 51 tahun dan 11 persen berusia kurang dari 40 tahun,” ungkap Sekretaris Umum IAPI Tarkosunaryo.

Selain itu dari jumlah tersebut, sebanyak 55 persen berdomisili di Wilayah Jabodetabek dan sisanya menyebar di seluruh Indonesia.

Apabila dibandingkan dengan negara tetangga di kawasan ASEAN, jumlah akuntan publik di Indonesia yang berpenduduk 230 juta jiwa relatif sedikit. Singapura dengan jumlah penduduk sekitar 5 juta jiwa mempunyai akuntan publik sekitar 15.000 orang, Philipina dengan jumlah penduduk 88 juta jiwa mempunyai akuntan publik sebanyak 15.000 orang, Thailand dengan jumlah penduduk 66 juta jiwa mempunyai akuntan publik sebanyak 6.000 orang, Malaysia dengan jumlah penduduk 25 juta jiwa mempunyai Akuntan Publik 2.500 orang, Vietnam dengan jumlah penduduk 85 juta jiwa mempunyai akuntan publik 1.500 orang.

“Data tersebut menunjukkan bahwa rasio jumlah akuntan publik di Indonesia sangat kecil apabila dibandingkan dengan rasio di negara-negara tetangga di kawasan ASEAN,” ujarnya.

Pengaturan mengenai akuntan publik dalam RUU selain akan menggusur keberadaan akuntan publik lokal juga dapat berpotensi menimbulkan ancaman terhadap kepentingan dan keamanan negara, mengingat akuntan publik asing dapat mengakses aspek strategis dan kerahasiaan negara melalui pemberian jasa kepada instansi pemerintah, BUMN, atau entitas strategis lainnya. Apalagi potensi tersebut akan bertambah ketika akuntan publik dapat melakukan audit atas laporan keuangan pemerintah untuk dan atas nama BPK.

RUU Akuntan Publik juga dinilai tidak  mencerminkan good governance yang baik, yang mengedepankan prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas, independensi dan kesetaraan. Pasalnya,  dari 69 pasal dalam RUU terdapat 28 Pasal yang memberikan kewenangan pengaturan lebih lanjut kepada pemerintah.

Selain itu penarikan kewenangan sertifikasi profesi, pendidikan profesi berkelanjutan (PPL), penyusunan standar profesi termasuk kode etik dan review mutu/pemeriksaan yang selama ini telah dilaksanakan oleh profesi akuntan publik melalui IAPI ditarik menjadi wewenang Pemerintah sepenuhnya.

Menurut IAPI, semestinya pemeriksaan yang dilakukan terhadap akuntan publik dengan cakupan sesuai dengan UU haruslah dilakukan oleh pihak yang mengerti profesi dan mempunyai keahlian sebagai akuntan publik, sehingga tujuan pemeriksaan tercapai. (hs)