Perlukah Angka Kematian PDP dengan Gejala COVID-19 Akut Diumumkan?
Dalam konferensi pers yang digelar di Graha Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Jakarta, Selasa (28/04), Juru Bicara pemerintah dalam penanganan wabah COVID-19 di Indonesia, Achmad Yurianto mengatakan bahwa akuntabilitas dan transparansi informasi menjadi panduan bagi pemerintah dalam menghadapi COVID-19. Namun pertanyaannya, apakah pemerintah sudah sepenuhnya transparan terkait data COVID-19 di tanah air?
Pekan lalu, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) meminta pemerintah untuk mengumumkan jumlah Pasien Dalam Pengawasan (PDP) COVID-19 yang meninggal dunia untuk dijadikan bahan evaluasi kebijakan, salah satunya untuk evaluasi pemeriksaan PCR yang dinilai perlu ada percepatan.
IDI mengungkap bahwa angka kematian terkait COVID-19 di Indonesia sejatinya mencapai 1.000 orang. Jumlah ini merupakan akumulasi dari PDP yang sudah meninggal dunia – yang masih menunggu hasil pemeriksaan atau mungkin belum sempat diperiksa, ditambah pasien meninggal dunia yang dikonfirmasi positif COVID-19.
Tidak hanya itu, Reuters dalam laporan terbarunya juga mengungkap bahwa ada lebih dari 2.200 PDP dengan gejala COVID-19 akut yang meninggal dunia, namun tidak dicatat sebagai korban meninggal dunia dalam laporan resmi pemerintah. Seperti dikutip dari Reuters, data ini dikumpulkan dari 16 provinsi di Indonesia. Ahli kesehatan menilai angka-angka ini mengindikasikan bahwa angka kematian nasional akibat COVID-19 bisa jadi jauh lebih tinggi dari angka resmi yang dilaporkan pemerintah.
Data terbaru satuan gugus tugas penanganan COVID-19, menyebutkan bahwa sampai Selasa (28/04), ada sekitar 772 pasien yang meninggal dunia akibat COVID-19 di Indonesia.
Jubir COVID-19: Tidak Perlu!
Juru bicara pemerintah dalam penanganan COVID-19, Achmad Yurianto, pada pekan lalu telah menyatakan bahwa data PDP yang meninggal dunia tidak perlu dibuka ke publik. Menurutnya, data yang disampaikan pemerintah sudah sesuai dengan ketentuan WHO.
Sementara, Ketua Tim Pakar Gugus Tugas Penanganan COVID-19, Wiku Adisasmito, juga tidak membantah temuan Reuters. Ia justru mengungkap bahwa 19.897 orang yang diduga mengidap COVID-19 di Indonesia masih belum menjalani tes COVID-19 karena panjangnya antrian uji spesimen yang harus diproses di laboratorium yang juga kekurangan SDM. Akibatnya, beberapa orang meninggal dunia sebelum hasil tesnya keluar.
"Jika mereka punya ribuan atau ratusan sampel yang harus diperiksa, mana yang akan menjadi prioritas mereka? Mereka akan memprioritaskan sampel pasien yang masih hidup,” kata Wiku kepada Reuters.
Kenapa PDP meninggal dunia perlu dibuka ke publik?
Epidemiolog dari Universitas Indonesia, Pandu Riono mengatakan bahwa meski dalam situasi keterbatasan sarana laboratorium, pemerintah seharusnya fleksibel melaporkan angka kematian PDP agar memberikan kepastian kepada masyarakat.
Ia menilai semua kematian PDP dengan gejala akut COVID-19 harus diperiksa untuk memastikan apakah pasien memang meninggal karena COVID-19 atau tidak. Dengan demikian, masyarakat tidak dibingungkan dengan protokol pemakaman yang harus dijalankan.
"Supaya keluarga (yang meninggal dunia) juga tahu, kalau keluarganya tahu dia kontak sama yang COVID-19 positif, dia harus juga diperiksa supaya diyakini tidak menular pada keluarganya, kalau ternyata keluarganya positif ya harus diisolasi,” kata Pandu kepada DW Indonesia, Selasa (28/04).
Pandu juga menyatakan bahwa hal ini sejatinya memperlihatkan kapasitas laboratorium pengujian COVID-19 di Indonesia yang sangat terbatas, sehingga menyebabkan data pemerintah pusat dengan data di daerah menjadi tidak konsisten.
Seperti di DKI Jakarta, Data dari Dinas Pertamanan dan Hutan Kota Pemprov DKI Jakarta dalam paparan Gubernur DKI Jakarta yang diterima DW, menunjukkan bahwa sejak 6 Maret 2020 hingga 26 April 2020, telah dilakukan 1.472 pemakaman jenazah dengan kategori penyakit menular dan dengan protap COVID-19. Jumlah ini lebih besar dari angka resmi pemerintah tentang kematian akibat COVID-19 di DKI Jakarta, yaitu sebanyak 370 kematian.
Dalam paparan itu, disebutkan bahwa dua faktor menjadi penyebabnya, yaitu pasien sudah meninggal dunia sebelum sempat dilakukan tes, atau korban sudah dites tapi meninggal dunia sebelum hasil tes definitifnya keluar.
Tes COVID-19 Indonesia salah satu yang paling rendah di dunia
Terkait data tes COVID-19 di Indonesia, satuan gugus tugas dalam laporan hariannya memang hanya memasukkan data pengujian antigen berbasis real time Polymerase Chain Reaction (RT-PCR) saja.
Sampai pada 28 April 2020, Indonesia dilaporkan baru melakukan uji RT-PCR terhadap 79.618 orang di 46 laboratorium. Sebanyak 62.544 kasus spesimen yang diperiksa didapatkan data 9.511 positif dan 53.033 negatif.
Merujuk pada data Worldometers.info yang menampilkan data pandemi COVID-19 di seluruh dunia, Indonesia, negara dengan populasi lebih dari 250 juta penduduk menjadi salah satu negara dengan tingkat pengujian COVID-19 terendah di dunia, yaitu sekitar 291 per 1 juta populasi dengan total pengujian sejauh ini sekitar 79.618.
Sebagai perbandingan, Singapura memiliki tingkat pengujian sebanyak 20.815 per 1 juta populasinya dengan total pengujian sejauh ini sebanyak 121.774. Amerika Serikat menjadi negara dengan total pengujian terbanyak yaitu lebih dari 5 juta pengujian dengan tingkat pengujian sebesar 17.211 per 1 juta populasi.
Meskipun pemerintah telah mendistribusikan lebih dari 436 ribu reagen RT-PCR ke seluruh daerah di Indonesia untuk mempercepat pengujian sampel secara masif, Pandu menilai kebutuhan tersebut masih kurang. Menurutnya, arus logistik terkait kebutuhan reagen ini perlu dijamin agar tidak terjadi kelangkaan yang menyebabkan laboratorium tidak berfungsi.
"Penduduk Indonesia kan 250 juta, PDP seluruh Indonesia berapa? Tiap hari nambah terus,” pungkas Pandu.
"Kita tidak bisa memperkirakan tapi kira-kira untuk Jawa Barat itu minimal harus tersedia 400.000 kita pernah hitung kebutuhannya,” tambahnya.
Tak hanya itu, Pandu juga menilai rapid test yang dilakukan pemerintah tidak sesuai dengan wabah yang saat ini terjadi karena tingkat akurasinya yang rendah.
Kemenkes: Data tidak ditutup-tutupi
Sementara itu, Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan Didik Budijanto menjamin bahwa data yang disampaikan oleh Jurus Bicara Pemerintah untuk Penanganan COVID-19 setiap hari adalah data yang telah diverifikasi, divalidasi berkali-kali dan tidak ada yang ditutup-tutupi.
Menurutnya, data yang berbeda antara daerah dengan data yang disampaikan oleh Jubir Pemerintah, bisa terjadi karena perhitungan waktu penutupan perhitungan yang disepakati tidak sama oleh beberapa instansi atau kementerian-lembaga.
Ketua Tim Pakar Gugus Tugas Nasional Wiku Adisasmito juga sebelumnya telah menyampaikan bahwa pemerintah tengah menyempurnakan sebuah sistem informasi terpadu bernama Bersatu Lawan COVID (BLC), yang akan digunakan sebagai navigator dalam pembuatan suatu kebijakan di pemerintah.
Sistem ini menurutnya akan berfungsi mempercepat alur pencatatan data pada tingkat puskesmas, rumah sakit, laboratorium dan dinas kesehatan dari daerah. Ia juga berharap sistem ini dapat bermanfaat untuk menjamin keterbukaan data dan informasi bagi masyarakat. (gtp/vlz)