Virus Corona: Kisah Tunawisma Dipindahkan ke Hotel Berbintang
Pemerintah negara bagian New South Wales, Australia memindahkan ribuan warga tunawisma di negara bagiannya untuk tinggal di hotel berbintang. Bagaimana pemerintah daerah dengan ibukota Sydney ini bisa melakukannya dan apakah bisa diterapkan di kota-kota besar dunia lainnya, seperti Jakarta?
Upaya pemindahan tunawisma ke hotel bintang tiga, empat, dan lima, dilakukan setelah melihat para tunawisma yang tidak lagi mungkin melakukan kebijakan "social distancing" di jalanan dan rumah penampungan.
Matthew, adalah salah satu warga tunawisma yang dipindahkan ke hotel berbintang selama 30 hari, karena memiliki daya tahan tubuh yang lemah sehingga beresiko tinggi tertular virus corona.
Kepada ABC ia mengatakan merasa senang karena bisa mengisolasi diri di hotel, setelah hampir 22 tahun tidur di jalanan dan tempat penampungan.
Tapi tetap saja ada kekhawatiran, karena ia mengaku tidak mau merasa sendirian.
Untuk dapat tetap berhubungan dengan teman-temannya yang belum berkesempatan untuk pindah ke hotel, Matthew yang tinggal di rumah penampungan "Haymarket Foundation", mencatat nomor telepon mereka.
Ketika sampai di hotel, Matthew dilayani manajer hotel untuk check-in, dan disambut oleh petugas hotel yang membantu membawakan barangnya ke kamar.
Reaksi positif dikeluarkan Matthew melihat kondisi kamar hotelnya yang berbeda 180 derajat dengan akomodasi yang biasa ia tinggali.
"Saya terkejut. Biasanya, saya ditempatkan di akomodasi sementara berbintang satu yang terlihat seperti "dump" [tempat pembuangan]," kata dia.
"[Kamar ini] tentu saja lebih baik dari yang biasa saya tinggali."
Kesempatan mengubah nasib tunawisma
Pemindahan Matthew dan empat belas warga yang tak memiliki tempat tinggal ini membuka kemungkinan bagi Pemerintah Australia untuk mengubah sistem penanganan tunawisma di Australia.
Seperti yang dikatakan oleh Grace Rullis, manajer layanan tuna wisma di "Haymarket Foundation", ada hal baik yang muncul karena pandemi COVID-19.
"Munculnya kesetaraan dan [gambaran] bahwa semua orang memiliki hak yang sama," kata Grace.
"Mungkinkah akan ada perubahan permanen yang dapat mengakhiri ketunawismaan?"
Walaupun kesempatan untuk tinggal di hotel adalah hal yang menyenangkan, perubahan kehidupan drastis yang dialami para tunawisma ini tetap bisa menimbulkan masalah, seperti yang memiliki gangguan kesehatan mental atau menderita penyakit parah.
Untuk menangani hal tersebut, Grace dan timnya berusaha menemukan hotel yang sesuai dengan kebutuhan warga tunawisma.
"Salah satu warga tunawisma, misalnya, ingin agar pintu senantiasa terbuka, karena sudah terbiasa tidur di luar dan mendengar hiruk-pikuk," katanya.
Namun, dari pengamatan seorang polisi yang baru-baru ini berpatroli di sebuah taman di Sydney, tidak semua warga tunawisma mau tinggal di hotel berbintang lima.
"Kami telah menyediakan 300 kamar di hotel bintang empat dan lima," kata anggota polisi Jacob Connor kepada Ravi, seorang tunawisma yang sudah tinggal di taman selama tiga tahun.
"Karena hotel bintang empat dan lima, tentu saja akan lebih nyaman untuk ditinggali dibandingkan di taman. Apakah anda tertarik?"
Ajakkan ini ditolak mentah-mentah oleh Ravi, karena ia khawatir harus kembali tinggal di luar setelah masa tinggal di hotel ini berakhir.
"Ini adalah hotel bintang lima saya," katanya, merujuk kepada kursi taman tempat tidurnya setiap hari.
"Lagipula, akomodasi 30 hari tidak akan menjauhkan saya dari kemungkinan untuk kembali hidup di luar dan tidur diguyur hujan."
Sementara itu, ada seorang tunawisma lain yang bahkan tidak tahu apa-apa tentang COVID-19, wabah telah menewaskan ratusan ribu jiwa di seluruh dunia.
Daniel Cray, dari Department of Communities and Justice, yang juga melakukan patroli di taman-taman di Sydney, sedang berusaha mengedarkan informasi soal COVID-19 dan berhasil membujuk sebagian warga tunawisma untuk pindah ke hotel.
Bagaimana nasib tunawisma di Jakarta?
Di Tanah Abang Jakarta, puluhan orang dilaporkan kehilangan tempat tinggal, setelah mereka tak mampu lagi membayar uang sewa akibat kehilangan pendapatan di tengah pandemi virus corona
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebelumnya telah membuka GOR Karet Tengsin, Tanah Abang, untuk tempat tinggal sementara warga tunawisma tersebut.
Namun, menurut keterangan Wakil Ketua Fraksi PSI DPRD DKI Jakarta Justin Adrian, yang turun ke lapangan di hari Sabtu (25/04), warga tunawisma hanya menghabiskan satu malam di sana.
"Setelah Pak Anies pergi, mereka kembali ke jalanan karena tidak disediakan kebutuhan dasar mereka oleh Pemda," kata Justin, seperti yang dikutip dari Kumparan.
Namun, menurut Kepala Suku Dinas Sosial Jakarta Pusat, Ngapuli Parangin Angin hampir setengah dari mereka bukan kembali ke jalan, melainkan dijemput pihak keluarga dan teman yang memiliki tempat tinggal.
"Kita kembalikan dan buat pernyataan [agar mereka] tidak kembali ke jalan," ujar Ngapuli, Senin siang kepada Detik.com.
Tentunya Jakarta tak perlu meniru langkah Sydney dengan mengirim tunawsima ke hotel berbintang.
Puluhan tunawisma di kawasan Tanah Abang, Jakarta sudah meninggalkan lokasi penampungan dengan dijemput keluarga atau temannya.
Sejumlah organisasi layanan tunawisma di Sydney sendiri mempertanyakan apa selanjutnya yang akan dilakukan oleh pemerintah setelah 30 hari.
Menteri Keluarga, Komunitas dan Layanan Difabel di NSW, Gareth Ward mengatakan saat ini sedang ada proyek pembangunan 3.400 tempat tinggal dan sudah selesai 60 persen.
"Kami sadar diperlukan lebih banyak rumah dengan harga terjangkau dan inilah mengapa kami sedang membangunnya," kata menteri Gareth.
Gareth mengatakan wabah COVID-19 memang telah membangkitkan kesadaran pentingnya menemukan solusi cepat bagi tunawisma.
Mungkin ini juga yang perlu ditiru oleh kota-kota besar lain di dunia, yakni menyediakan lebih banyak rumah dengan harga terjangkau.