Arief Budiman Meninggal, Universitas Melbourne Australia Turut Berduka
Salah satu universitas terbesar di Australia University of Melbourne telah memberikan penghormatan atas meninggalnya salah satu ilmuwan terkemuka Indonesia di jamannya Arief Budiman.
Arief Budiman meninggal di Ungaran (Jawa Tengah) hari Kamis (23/4/2020) di usia 79 tahun, meninggalkan istrinya Leila Chairani Budiman, seorang anak perempuan dan seorang anak laki-laki dan beberapa orang cucu.
Arief Budiman pernah menjadi tenaga pengajar di University of Melbourne dari tahun 1996-2008, demikian dikatakan oleh Prof Vedi Hadiz dalam pernyataan yang dikeluarkan Asia Institute atas nama universitas tersebut.
Menurut Vedi Hadiz yang juga berasal dari Indonesia, Prof Arief Budiman merupakan pendiri studi Indonesia di universitas tersebut dan mereka yang mengenalnya pasti mengenal dia dengan rasa bangga.
"Arief dikenal dengan seseorang yang memiliki integritas dan keberanian, hal yang membuatnya sering berurusan dengan pemerintah Indonesia di masa Orde Baru."
"Dia adalah seorang akademisi aktivis dalam arti sebenarnya, dan menjadi mentor bagi banyak akademisi, termasuk saya." tambah Vedi.
"Saya bangga bisa mengenal dia dengan baik. Saya juga senang bisa mengunjungi dia beberapa kali dalam tahun-tahun terakhir, selama dia menderita sakit yang panjang." kata Vedi lagi.
Kabar meninggalnya Arief Budiman juga disampaikan oleh salah seorang rekan lamanya, Prof Ariel Heryanto.
Ariel Heryanto mengabarkan meninggalnya Arief Budiman dalam postingan di Facebook. (Foto: Facebook)
"Selamat jalan kawan lama dan rekan sejawat Arief Budiman. Terima kasih atas semua yang kau sumbangkan untuk Indonesia." tulis Prof Ariel Heryanto yang baru saja menyelesaikan tugasnya bulan Maret lalu menjadi Direktur Herb Feith Indonesian Engagement Center di Monash University di Melbourne.
Di tahun 1990-an, Ariel Heryanto dan Arief Budiman pernah sama-sama menjadi tenaga pengajar di Universitas Kristen Satya Wacana di Salatiga, sebelum kemudian pindah ke luar negeri, setelah adanya konflik dengan pengelola universitas tersebut.
Dikenal juga sebagai kakak Soe Hok Gie
Bagi generasi muda Indonesia, Arief Budiman mungkin lebih dikenal dalam hubunganya dengan Soe Hok Gie, tokoh mahasiswa yang meninggal di tahun 1970-an yang kemudian kisah hidupnya difilmkan dengan judul Gie.
Arief Budiman sendiri di masanya terkenal dengan berbagai aktivitas yang dilakukannya baik ketika menjadi mahasiswa Universitas Indonesia maupun ketika kemudian sosiolog dalam memberikan berbagai pendapat mengenai dunia politik dan sosial di Indonesia lewat buku-buku yang ditulisnya maupun komentarnya di media massa.
Arief Budiman dilahirkan dengan nama Soe Hok Djin pada tanggal 3 Januari tahun 1941 di Jakarta.
Salah seorang yang mengenalnya sejak kecil adalah Dewi Anggraini, seorang penulis dan wartawan asal Indonesia yang sekarang tinggal di Melbourne.
"Waktu kecil/muda kami tinggal di kawasan yang sama. Arief selalu mengatakan kami bertetangga, tapi sebenarnya rumah kami berjarak kira-kira 500 meter. Ibu kami saling kenal." kata Dewi kepada wartawan ABC Indonesia Sastra Wijaya hari Kamis (23/4/2020).
"Waktu itu Arief tidak suka berbicara dengan perempuan muda, jadi kami jarang sekali mengobrol, cuma saling menyapa saja." kata Dewi lagi.
Dewi Anggraini yang pernah menjadi koresponden majalah Tempo di Australia tersebut kemudian bertemu lagi dengan Arief Budiman dan keluarganya ketika mereka tinggal di Melbourne.
"Pertama ketemu di Australia waktu ada konferensi-konferensi di Melbourne dan Monash, kalau tidak salah. Lalu waktu dia diangkat menjadi professor di Melbourne Uni, mulai mengambil posisinya pada 1997 kami sering ketemu, dengan Leila (istrinya) juga tentunya." kata Dewi lagi.
Apa yang dikenang Dewi soal Arief Budiman dari sisi keilmuwanan?
"Tidak mudah memasukkan Arief Budiman dalam kotak, sisi, atau kategori. Dia melihat suatu situasi dengan intelek dan intuisinya"
"Arief adalah seorang intelektual yang paling tidak menonjolkan diri, dan tidak memandang rendah orang lain, meskipun mereka berbeda pandangan.""
"Orang yang segera teringat yang dapat saya bandingkan dengannya ialah Herbert Feith (ilmuwan Australia yang banyak melakukan penelitian mengenai Indonesia)." kata Dewi Anggraini.
Dalam dunia pergerakan mahasiswa Arief dikenal sebagai bagian dari Gerakan 66 yang menentang pemerintahan Soekarno di tahun 1960-an.
Setelah menamatkan pendidikan sarjana dari UI di tahun 1968 dari jurusan psikologi, Arief mendapatkan gelar Doktor dari universitas terkenal di Amerika Serikat Harvard University di bidang sosiologi di tahun 1980.
Sekembalinya dia ke Indonesia, Arief Budiman mengajar di Universitas Satya Wacana, sebelum kemudian sejak tahun 1996 pindah ke University of Melbourne.
Setelah pensiun di tahun 2008, Arief Budiman masih tinggal di Melbourne, dan bolak balik Indonesia-Australia, setelah dia kemudian terkena Parkinson.
Istrinya Leila Ch Budiman juga dikenal luas oleh masyarakat sebagai pengasuh Ruang Konsultasi Psikologi di harian Kompas selama bertahun-tahun.
Ucapan duka dari Jepang
Setelah beredarnya kabar meninggalnya Arief Budiman di media sosial maupun di media massa, ucapan duka bermunculan dari mereka yang mengenalnya.
Di halaman Facebook Ariel Heryanto ratusan orang sudah menyampaikan bela sungkawa.
Salah seorang diantaranya bernama Natsuko Saeki daari Jepang yang menulis "Turut berduka cita. RIP. Beliaulah yang membuat kami di Jepang untuk membangun solidaritas dengan teman-teman aktivis demokratisasi di Indonesia pada akhir 90-an."
Yang lainnya Handry Tim menulis "Indonesia kehilangan partner diskusi yang keras namun lembut pikiran. Selamat jalan, Pak Arief."
Dan aktivis Nug Katjasungkana menulis "Rest in Power, Bung Arief... Dukacita dari Timor-Leste kepada keluarga dan para sahabat yang ditinggalkan."