Pekerja Seni asal Indonesia Mencoba Bertahan Hidup di Australia
Tiga seniman asal Indonesia di Australia menceritakan bagaimana mereka harus kehilangan sumber pendapatan, akibat larangan dan pembatasan jumlah kerumunan di saat Australia sedang mencoba menekan angka penularan virus corona.
Wabah virus corona telah berdampak luas di berbagai sektor di Australia, termasuk industri seni.
Pemerintah Australia mengakui signifikansi sektor seni bagi ekonomi, yang menyumbang AU$112 miliar, atau sekitar 6,4% dari nilai Produk Domestik Bruto untuk ekonomi Australia pada 2016-2017.
Jayanto Tan, yang pindah ke Australia di tengah kerusuhan 1998 dan menjadi warganegara Australia enam tahun kemudian, sekarang harus mengandalkan bantuan dari Centrelink yang merupakan program pendanaan Pemerintah Australia bagi warganegara mereka.
Sebagai pekerja seni penuh waktu, Jayanto mengandalkan bantuan dari Pemerintah Australia.
Supplied: Jayanto
"[Bantuan dari Centrelink] mencukupi untuk makan yang sederhana, roti dan kacang hitam atau telur goreng dan kacang hitam, pasta atau "chicken drumstick" [atau paha ayam]," kata Jayanto ketika diwawancarai via telepon.
"Untuk membayar sewa juga mencukupi. Sementara waktu memang harus hidup sederhana."
Jayanto yang bekerja sebagai seniman "full-time" atau penuh waktu sebelumnya mendapatkan penghasilan dari mengajar "workshop" dan mengadakan pameran seni menggunakan skema tunjangan dari organisasi kesenian di Australia.
Namun, sumber penghasilan seniman asal Tebing Tinggi, Sumatera Utara tersebut lenyap ketika gedung pagelaran, di mana ia biasa menggelar pelatihan ditutup.
Tak hanya itu dua pameran seninya diundur hingga tahun depan akibat pandemi COVID-19.
Jayanto di salah satu workshopnya. Sejak gedung tempat ia menggelar workshop ditutup, Jayanto otomatis kehilangan pemasukan.
Supplied: Jayanto
"Saat ini saya [hanya mengandalkan bantuan] Centrelink. Pendapatan saya semua ditahan sampai kapan tidak tahu," kata Jayanto.
"Dan saya kan juga memang seniman, tahu kan keadaan seniman bagaimana? Jadi apa-apa bersyukur saja."
Mengandalkan skema bantuan
Sebagai inisiatif membantu warga yang terancam kehilangan pekerjaan di tengah pandemi COVID-19, Pemerintah Australia telah meluncurkan dua skema program subsidi, yakni "JobSeeker" untuk mereka yang tidak memiliki pekerjaan, dan "JobKeeper" untuk mereka yang berstatus karyawan tetap.
Bantuan Centrelink yang diterima Jayanto masuk dalam skema "JobSeeker" karena untuk saat ini Jayanto dianggap tidak punya pekerjaan.
Tak hanya itu, ia juga sedang berusaha untuk mendapatkan bantuan dana, atau "grant" dari sejumlah organisasi seni di Sydney, namun ia harus bersaing dengan 50.000 seniman lainnya.
Jumlah seniman ini juga termasuk 600.000 pekerja lainnya di Australia yang juga mengakses bantuan pemerintah.
Salah satu karya seni Jayanto. Kini Jayanto berusaha menebarkan semangat positif melalui akun media sosialnya.
Supplied: Jayanto
"Sekarang lagi [mendaftar] banyak grant tapi susah mengharapkan dari sana. Saya mendaftar saja, kalau diterima syukur, kalau tidak juga tidak bisa marah," kata Jayanto kepada Natasya Salim dari ABC News.
Namun, bila dirinya menjadi salah satu yang beruntung dan berhasil menerima "grant", Jayanto tetap harus menunggu hingga tahun depan untuk dapat melangsungkan pamerannya.
Jayanto yang karya seninya bertema kisah keluarga, diaspora dan migran, sekarang hanya dapat berkarya di rumah sembari berbagi energi positif bagi para pengikutnya di media sosial.
"Saya sedang menyulam simbol double happiness [kebahagiaan ganda] untuk pameran tahun depan di University of Sydney. Semoga tidak dibatalkan," katanya.
"Saya juga sedang mencoba memasukkan karya masa lalu saya ke Instagram dua hari sekali ketika masih happy. Sekarang kan apa-apa sudah sedih, kelabu. Tapi ketika memasukkan karya saya ke Instagram banyak yang menunjukkan harapan indah."
Menjawab panggilan hati di bidang tarik suara
Jika Jayanto menjalani profesi sebagai seniman secara penuh waktu, tidak demikian halnya dengan Nadira Farid.
Pertama kali menjejakkan kaki di Australia pada tahun 1999, Nadira sebenarnya sudah berprofesi sebagai perawat dan berstatus sebagai staf permanen pada tahun 2016.
Tetapi karena panggilan hatinya di bidang tarik suara, perempuan asal Jakarta ini memutuskan menjadi perawat "casual", supaya bisa lebih serius melakoni "ensemble" beraliran jazz "Nadira and Friends" yang dirintisnya sejak tahun 2014.
Sudah aktif menyanyi sejak di Indonesia, bagi Nadira menyanyi adalah panggilan jiwanya.
Supplied: Facebook Nadira and Friends
"Sejak tahun lalu karena aku bertambah sibuk urusan gig [penampilan musik], aku memang selalu mengutamakan gig karena itu passion-ku, singing is my passion, dan aku rencananya ke depan memang ingin mengutamakan [bidang] ini, makanya aku switched status perawatnya menjadi casual" kata Nadira.
"Sok dan berani-beraninya jadi casual, padahal tahu sendiri kan risikonya. Enggak dapet cuti tahunan, enggak ada cuti sakit," tambah Nadira setengah tertawa saat berbicara dengan Hellena Souisa dari ABC News.
Keputusan Nadira sepertinya cukup beralasan karena sejak tahun 2015, ia bisa melakukan rata-rata 35 penampilan musik per tahun.
"Memang enggak sama setiap bulan karena job lebih banyak saat musim panas. Tetapi angkanya rata-rata segitu," ucap Nadira.
Sambil menjalani pilihannya antara menyanyi dan merawat orang sakit, ia membagi hidupnya dengan tinggal di dua kota, yakni Melbourne dan Hobart, di Tasmania.
Pandemi menghilangkan sumber pemasukan terbesarnya
Nadira memahami betul konsekuensi pilihan yang ia ambil, termasuk di saat wabah corona memaksanya tinggal di rumah.
Semua jadwal penampilan musiknya, baik di Melbourne dan Hobart, dibatalkan.
"Sampai bulan Mei sudah batal. Jadwal bulan Juni belum [dibatalkan], sepertinya pihak venue masih mau melihat situasi, berharap di bulan Juni keadaan sudah berubah," kata Nadira.
Akibatnya, Nadira yang kini tinggal di Hobart kehilangan sumber pemasukan terbesarnya.
Setidaknya 70 persen dari pendapatan Nadira dihasilkannya dari menyanyi.
Supplied: Facebook Nadira and Friends
"Pemasukan saya dari menyanyi itu kira-kira 75 persen dari total pemasukan saya per bulan, jadi memang [pendapatan saya] turun drastis sekarang," tutur Nadira.
Pekerjaannya sebagai perawat casual pun tidak sesibuk yang ia bayangkan, karena sejak pandemi corona, banyak orang yang memilih untuk tidak datang ke rumah sakit kalau memang bukan untuk situasi yang sangat darurat.
Selain itu, karena peraturan larangan terbang dan bepergian di Australia, perawat yang berstatus permanen memilih tidak ke mana-mana dan bekerja dengan normal.
Akibatnya, perawat casual seperti Nadira yang biasanya dibutuhkan untuk mengisi kekosongan perawat lain yang mengambil cuti, kini tidak mendapat jadwal kerja.
Tidak menyesal dan terus berusaha
Meski mengaku menghadapi situasi yang tidak mudah, ia mengaku pekerjaannya sebagai perawat, walaupun dengan jadwal kerja yang tidak menentu, masih bisa menghidupinya saat ini.
"Ya saya harus menyesuaikan saja. Semuanya diirit-irit," kata Nadira.
"Sampai saat ini rata-rata saya masih kebagian 2 sampai 3 shift [jadwal kerja] per minggu di rumah sakit dan saya bersyukur, mortgage [cicilan rumah] masih terbayar, bills [tagihan bulanan] ya telat-telat dikitlah," sambungnya.
Nadira menambahkan, meskipun bank menawarkan banyak keringanan seperti penundaan cicilan rumah selama enam bulan ke depan, ia memilih tidak berutang bila tidak benar-benar terpaksa.
Selain itu, sama seperti Jayanto, Nadira juga mengupayakan berbagai grant yang tersedia untuk melanjutkan karya seninya.
"Saya mencoba mengakses small business grant dari pemerintah, karena usaha ensemble ini sebenarnya masuk ke kategori usaha kecil karena saya mempekerjakan musisi-musisi lain," imbuh Nadira yang juga sudah memikirkan kemungkinan melakukan penampilan musik secara online.
"Kalau kita mau fokus ke masalah dan tantangan kayaknya memang berat ya, tapi kalau bisa jangan biarkan kesulitan keuangan menghentikan kita."
"Take your time. Saya pikir wajar kita sedih, tapi jangan lama-lama. Dan mungkin jalani saja, kayaknya bisa kok meski mungkin uang kita sekarang terbatas. Toh pengeluaran kita juga berkurang," pungkasnya.
Merelakan uang deposit diminta kembali oleh klien
Keterbatasan dan penyesuaian juga dilakukan pria asal Bali, Budi Bone, yang sudah sepuluh tahun belakangan menjadi musisi penuh waktu di Central Coast, New South Wales, Australia.
Sampai pertengahan Maret 2020, jadwal kegiatannya, baik sebagai pengisi acara reguler di cafe atau "wedding singer", penuh terisi.
Budi Bone yang kehilangan pendapatannya sejak bulan Maret 2020, tetapi masih optimistis bisa bekerja dengan metode lain.
Supplied: Budi Bone
"Tapi karena kondisi [pandemi] ini, event di minggu terakhir Maret terpaksa batal," ujar musisi beraliran latin blues ini.
"Sebenarnya sesuai kontrak awal, karena bukan saya yang membatalkan, uang deposit yang sudah dibayarkan hangus," kata Budi yang mensyaratkan pembayaran deposit 50 persen di muka.
Namun kliennya tetap meminta pengembalian uang deposit yang sudah dibayar.
"Ya mungkin kami sama-sama kesulitan uang. Saya sudah tawarkan apakah depositnya mau digunakan saja nanti kalau kondisi sudah normal, tapi mereka menolak," tutur Budi kepada Hellena Souisa dari ABC News.
Akhirnya demi menjaga hubungan baik dengan klien dan reputasi bisnis yang sejak 2010 dijalankannya, Budi mengembalikan uang deposit tersebut.
"Padahal saya juga nggak ada uang lagi waktu itu, bingung sekali rasanya. Saya sempat kalut juga, tapi untungnya kemudian ada pembayaran yang masuk dari klien yang lain."
Prihatin namun tetap bersyukur
Sebagai musisi penuh waktu, penghasilan Budi biasanya lebih dari cukup untuk menghidupinya dan kedua anaknya.
Budi menjelaskan, penghasilannya per jam kira-kira sekitar tiga sampai empat kali upah minimum pekerja tanpa keterampilan khusus, yang di Australia dikenal dengan istilah "unskilled".
Selain tampil solo, Budi Bone kerap tampil duo di bawah bendera 'Kuta Groove Party Band'.
Supplied: Budi Bone
Sementara di acara-acara seperti pesta pernikahan atau ulang tahun, Budi bisa tampil lima sampai sembilan kali dalam sebulan.
"Sekarang pendapatan saya nol. Hidup saya sehari-hari mengandalkan pembayaran-pembayaran klien yang baru masuk dan tunjangan dari pemerintah," ujar Budi yang juga memanfaatkan subsidi "JobSeeker" dari Pemerintah Australia.
"Saya juga sudah minta keringanan dari landlord saya untuk pembayaran sewa rumah bulanan, juga untuk pembayaran bills. Mungkin pada akhirnya saya harus memakai uang tabungan."
Namun di balik keprihatinan situasi hidupnya sekarang, ia masih bersyukur karena setidaknya di Australia ada skema bantuan untuk musisi.
"Jadi rencana saya dalam waktu dekat saya mau konser online dengan menyertakan nomor paypal untuk donasi. Nanti sebagian saya salurkan juga untuk musisi di Bali," kata Budi
Budi Bone, yang memiliki nama lengkap Buditamtama Lamabelawa mengingatkan agar musisi asal Indonesia yang mengadu untung di Australia untuk mematuhi peraturan yang ada.
"Please, do the right thing. Kalau memang harus membuka akun ABN, lakukanlah. Ini bermanfaat dan terasa sekali sekarang di saat situasi seperti ini."
Menurut Budi, pajak yang selama ini ia bayarkan dan tercatat resmilah yang akhirnya menolong dirinya melalui skema-skema subsidi pemerintah.
"Memang mungkin kita harus berhadapan dengan paperwork yang banyak. Tapi nggak apa-apa, jalani saja. Jangan hanya mau cari uang, tetapi tidak taat aturan," pungkasnya.